Ibadah haji sebagai rukun Islam ke-lima, tidak pernah melunturkan semangat muslim untuk menunaikannya, sekalipun harus mengarungi luasnya samudera. Jauh berbeda dari sekarang, pada permulaan abad 20 M, Nusantara belum memiliki akses transportasi menggunakan pesawat terbang. Pemilik kapal laut pun masih didominasi para kolonial dan pendatang asing. Kapal-kapal yang dimiliki masyarakat Nusantara pun tidak secanggih sebagaiamana kapal asing yang mampu mengarungi lautan dari satu benua ke benua lain.

Pada masa ini, hanya ada dua jalur yang dapat ditempuh menuju Makkah, yaitu jalur darat dan laut. Berkenaan dengan itu, Nusantara sebagai negara kepulauan memiliki letak geografis yang dikelilingi oleh lautan. Sehingga, jalur laut adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh menuju Makkah.

Perjalanan menuju Tanah Haram melalui jalur laut, sesunggunya dikelompokkan menjadi tiga rute pelayaran besar, yaitu; (1) Jamaah dari Hindia Belanda, British, India, Afganistan, Persia, dll melalui Selat Bab el-Mandab; (2) Jamaah dari Mesir, Sudan, Somalia, Perancis dan Yaman dapat melalui jalur Laut Merah; (3) Sedangkan jamaah haji yang berasal dari wilayah Nusantara dapat menempuh jalur pelayaran melalui Selat Malaka. Dengan begitu, maka kapal jamaah haji dari Nusantara akan melewati Selat Malaka, Aden, Colombo hingga tiba di Laut Merah dan berlabuh di pelabuhan Jeddah.

Pulau Onrust, salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu menjadi saksi bisu perjalanan jamaah haji Nusantara melewati jalur laut. Para calon jamaah haji dari berbagai daerah datang dan berkumpul di Pulau Onrust untuk memulai pelayaran ke Tanah Suci.

Berkenaan dengan kapal yang ditumpangi jamaah haji tidaklah senyaman seperti yang kita bayangkan. Banyak kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh maskapai-maskapai kapal. Terlebih lagi, tidak jarang ditemukan keadaan buruk yang terjadi di atas kapal. Seperti halnya jamaah haji yang meninggal kelaparan dan kelelahan di kapal. Karena memaksakan kehendaknya pergi haji, ia sampai tidak memiliki uang untuk menyambung hidup di kapal yang perjalanannya memakan waktu hingga berbulan-bulan bahkan dalam hitungan tahun.

Jenis kapal yang digunakan jamaah haji Nusantara adalah Kapal Kongsi Tiga, yaitu Nederland, Rotterdamsche Lloyd dan Ocean Matschapaij. Ketiga kapal ini merupakan kapal dagang yang biasa digunakan untuk mengangkut muatan barang maupun hewan ternak, yang terkadang keadaan kapal sebenarnya tidak cukup layak untuk dihuni oleh manusia. Akan tetapi hal tersebut tidak mematahkan semangat umat muslim untuk melaksanakan ibadah haji.

Kongsi ini sengaja ditunjuk pemerintah Hindia Belanda untuk menangani pelaksanaan pemberangkatan hingga pemulangan jamaah haji dari Makkah. Meski kongsi ini yang terkenal untuk mengangkut jamaah haji, adapun kapal milik India dan Arab yang sering ditumpangi untuk menyebrangi samudera, karena kapal-kapal ini sering mondar-mandir di perairan Nusantara.

Berlayar mengarungi lautan nan luas, tentu tidak akan memakan waktu pelayaran yang sedikit. Waktu yang ditempuh jamaah haji Nusantara untuk tiba di Makkah adalah sekitar 5-6 bulan. Ini adalah waktu pelayaran normal sebelum Terusan Suez dibuka pada tahun 1869 M. Setelah Terusan Suez dibuka, peminat haji pun semakin bertambah tiap tahunnya diiringi perkembangan teknologi yang memudahkan akses transportasi ke Tanah Suci.

Memakan waktu tempuh berbulan-bulan, banyak jamaah haji asal Indonesia yang singgah di negeri asing, karena kurangnya perbekalan menuju Makkah. Salah satunya adalah Singapura. Biasa dijuluki dengan The Lion City, Singapura menjadi salah satu negara yang sering disinggahi jamaah haji asal Nusantara, bahkan dalam jumlah yang banyak. Bukan sekedar mencari bekal, adapun jamaah yang terpaksa harus bekerja berbulan-bulan di Singapura untuk membayar ongkos kembali ke Tanah Air. Hal-hal ini lah yang mengakibatkan berhaji pada zaman dahulu memakan waktu yang cukup lama.

Wallahu a’’lam bishowab.

Sumber: M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008).