Memahami Hikmah Yas’alunaka dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran, ada 15 kata “yasalunaka” yang artinya “mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad)”. Kata ini tersebar di 8 surah, yaitu di al-Baqarah ayat 189, 215, 217, 219 (ada dua), 220, 222, al-Maidah ayat 4, al-A’raf ayat 187 (ada dua), al-Anfal ayat 1, al-Isra ayat 85, al-Kahf ayat 83, Thaha 105, dan al-Nazi’at ayat 42.

Ada banyak hikmah di balik penggunaan kata yasalunaka ini, di antaranya adalah bahwa untuk mendapatkan ilmu seseorang haruslah mau bertanya apa-apa yang ia tidak ketahui; Kemudian shighah (ungkapan) yang digunakan berbentuk jamak untuk mengesankan bahwa proses pembelajaran harus dilakukan secara bersama-sama; dan bahwa menjadi pintar itu hak kolektif masyarakat bukan hak individual kaum elit atau golongan tertentu saja.

Dilihat dari sisi gramatikal bahasa, ungkapan yasalunaka menggunakan bentuk mudhari’ (present dan future tense) yang bermakna pembelajaran itu dilakukan secara istimrar/berkelanjutan sampai ajal menjemput. Bentuk mudhari’ ini juga mengesankan bahwa pendidikan harus direncanakan secara visioner. Yakni, untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.

Dalam konteks pendidikan nasional, kurikulum pendidikan hendaknya disusun secara koheren dan berkesinambungan dari mulai pendidikan usia dini hingga jenjang perkuliahan strata 3 (doktoral).

Dari 15 pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad, 14 di antaranya dijawab dengan kata “qul” yang artinya “katakanlah/jawablah (wahai Muhammad)”. Kata “qul” yang berbentuk “amar” alias perintah, menegaskan bahwa orang yang ditanya itu wajib menjawab dan tidak boleh menyembunyikan kebenaran dan ilmu yang ia ketahui. Jika jawaban dari pertanyaan itu tidak diketahui, orang yang ditanya tetap wajib memberikan jawaban berupa “saya tidak tahu” seperti saat Rasulullah ditanya tentang esensi ruh (lihat ayat 58 surah al-Isra).

Di satu ayat lain, ada yang menggunakan kata “faqul” dengan tambahan huruf “fa”, yaitu pada ayat 105 surah Thaha tentang “gunung-gunung” di mana pertanyaan itu sebenarnya belum diajukan oleh siapapun. Seakan-akan Al-Quran menyatakan “jika nanti ada di antara mereka yang bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka jawablah begini…”.

Pada ayat 186 surah al-Baqarah, ada juga pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad namun dengan bentuk “saalaka” bukan “yasalunaka”. Pada ayat ini tidak ada kata “qul”, yang mengesankan bahwa jika ada di antara hamba-hamba Allah yang bertanya tentang-Nya, Nabi Muhammad tidak perlu memberikan jawaban karena Allah sendiri yang akan menjawab. Ia Maha Ada dan Dia sangat dekat dengan hamba-Nya, sehingga segala pertanyaan dan permohonan akan dijawab dan dikabulkan langsung oleh-Nya tanpa perlu melalui perantara.

Seluruh pertanyaan di atas ditujukan kepada nabi Muhammad, karena pada saat itu hanya beliaulah manusia yang memiliki ilmu, pengetahuan, dan wahyu yang memungkinkannya bisa menjawab pertanyaan termasuk hal ghaib yang terkait dengan masa lampau atau masa yang akan datang. Memang seharusnya demikian, bahwa pertanyaan itu diajukan kepada orang yang mengetahui, bukan diajukan kepada orang yang tidak mengetahui.

Belakangan ini sering kita lihat di televisi, orang yang bacaan Al-Qurannya saja masih salah tetapi ia berfatwa dan menjawab segala macam pertanyaan tentang Agama layaknya seorang mufti. Hal ini tentu tidak baik. Orang bodoh yang menjawab tanpa ilmu akan sesat dan menyesatkan. Orang bodoh yang berfatwa itu ibarat dokter gigi melakukan operasi mata, atau bahkan seperti mahasiswa jurusan tehnik sipil yang meracik obat: Malpraktek!!

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam ayat yasalunaka itu bervariasi. Tidak melulu masalah halal-haram. Nampaknya Al-Quran ingin menegaskan bahwa orang yang beriman harus mempelajari ilmu agama dan ilmu sains yang biasa disebut ilmu duniawi. Bahwa seorang kiai dituntut memahami dan mengatahui ilmu sosial dan ilmu eksakta sehingga ia bisa mengaktualisasikan pesan-pesan Al-Quran dalam konteks kekinian. Secara implisit, Al-Quran tidak menghendaki adanya dikotomi antara ilmu Agama dengan ilmu umum. Semua ilmu berasal dari Allah al-‘Alim Yang Maha Berilmu.

Berdasarkan riwayat asbab al-nuzul (kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat) dari ayat-ayat yasalunaka, kita dapati bahwa orang atau pihak yang bertanya kepada Rasulullah tidak melulu orang yang beriman. Beberapa ayat tersebut ada yang menjawab pertanyaan kafir ahli kitab dan orang musyrik yang tinggal di kota Mekkah. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa ajaran Islam boleh diajarkan kepada orang kafir, dalam rangka menjelaskan kebenaran Islam atau membantah tuduhan jahat dari mereka.

 

Yasalunaka ‘An al-Ahillah

Al-Quran itu sangat menakjubkan. Setiap kali dibaca, ia memberikan ketenangan, ilmu dan pengetahuan yang baru. Ia adalah petunjuk bukan saja diperuntukkan bagi orang yang beriman, tetapi  bagi semua orang termasuk mereka yang kafir dan mengingkarinya (QS. Al-Baqarah ayat 185 dan Alu Imran ayat 4). Hal ini, tentunya, jika orang yang membacanya mau sedikit merenung dan berpikir (QS. Ghafir ayat 54).

Al-Quran mengisahkan penciptaan alam semesta. Jauh sebelum ilmu astronomi menyibakkan banyak fakta kosmik, Kitab suci ini telah menerangkan bahwa matahari dan bulan diperjalankan pada porosnya agar manusia bisa menetapkan penanggalan (QS. Yunus ayat 5 dan al-Isra ayat 12). Fakta yang kita dapati adalah bahwa semua kalender dan penanggalan yang ada di dunia ini basisnya adalah peredaran matahari atau peredaran bulan. Fakta selanjutnya adalah, bahwa matahari lebih “konsisten” dibandingkan bulan, sehingga penanggalan matahari sifatnya statis.

Dalam satu milenium, kita hanya perlu mengoreksi beberapa detik saja pada penanggalan matahari. Sementara siklus sinodik bulan bervariasi sehingga penanggalan bulan sifatnya dinamis karena usia bulan berubah-ubah. Baik penanggalan matahari maupun bulan, kedua memiliki jumlah bulan yang sama yaitu ada dua belas (QS. Al-Taubah ayat 36).

Namun demikian, Al-Quran menegaskan bahwa penanggalan yang digunakan dalam peribadatan adalah yang berbasis bulan. Dalam ayat 189 surah al-Baqarah dinyatakan “yasalunaka ‘an al-ahillah”, bahwa banyak orang bertanya tentang hilal (bulan sabit). Berbeda dengan matahari yang bentuknya selalu sama setiap hari, bulan bentuknya berubah dari sabit, membesar, hingga terjadi purnama. Pertanyaan ini dijawab dengan jawaban yang komprehensif. Daripada menjelaskan fenomena astronomi yang ilmunya tidak dikuasai orang Arab saat itu, Al-Quran menjawab bahwa bentuk bulan berubah-ubah agar bisa dijadikan patokan dalam penentuan waktu ibadah. Bukan hanya menjelaskan bahwa Ramadhan untuk berpuasa (QS. Al-Baqarah ayat 185) atau Dzulhijjah untuk berhaji (QS. Al-Baqarah ayat 197), penghitungan pergerakan bulan juga dijadikan patokan lama waktu beriddah (QS. Al-Baqarah ayat 234 dan al-Thalaq ayat 4), membayar kaffarah Zhihar (QS. Al-Mujadilah ayat 4) dan pembunuhan yang dimaafkan (QS. Al-Nisa ayat 92).

Salah satu hikmah dari penetapan kalender atau penanggalan bulan sebagai standar waktu untuk beribadah, adalah kita bisa menikmati ibadah itu dengan kondisi yang berbeda-beda. Ketika tahun ini Ramadhan jatuh pada musim kemarau, maka delapan tahun kemudian kita akan berpuasa di bulan Ramadhan pada saat musim hujan. Ada beberapa negara yang tahun ini berpuasa lebih dari 8 jam, di waktu yang lain lama puasanya akan kurang dari 8 jam.

Al-Quran menetapkan peredaran bulan sebagai standar penetapan kalender tanpa menetapkan kapan penanggalan itu dimulai. Khalifah Umar bin al-Khathablah yang kemudian mengeluarkan keputusan bahwa umat Islam harus memiliki penanggalan sendiri yang kemudian kita kenal sebagai kalender hijriyah. Sebelumnya, orang Arab hanya mengenal bulan dan menyebut tahunnya dengan mengasosiasikannya kepada sebuah peristiwa, misalnya waktu kelahiran Rasulullah adalah 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah, di mana saat itu ada peristiwa penyerangan pasukan gajah terhadap Ka’bah.

Kita wajib bersyukur dengan ditetapkannya penanggalan hijriyah. Caranya? Silahkan tentukan sendiri. Tidak ada ajaran yang spesifik dari Rasulullah terkait bagaimana kita menyukuri penanggalan hijryah. Semua hadis tentang keutamaan awal tahun dan ibadah khusus di awal atau akhir tahun adalah palsu karena penanggalan hijriyah itu sendiri baru ditetapkan 6 tahun pasca wafatnya beliau, dan 17 tahun setelah peristiwa hijrah itu sendiri. Allah A’lam.

*Artikel ini pernah dimuat di majalah Nabawi edisi 101

Similar Posts