disabilitas

Majalahnabawi.com – Terpatri di benak kaum Muslim, bahwasanya Islam adalah agama yang menyeru kepada nilai al-Musāwā (kesetaraan/equality) di antara manusia. Pada dasarnya, kita sebagai anak Adam mempunyai derajat yang sama di sisi Allah Swt.. Yang membedakan kita hanya kadar ketakwaan saja. Konsep itu bisa kita dapati dalam Q.S Al-Hujurat [49]:13.

Dengan gagasan al-Musāwā ini, seseorang harus berbuat baik kepada selainnya (Q.S Al-Isra’ [17]: 7) dan tidak boleh menyakiti maupun saling melukai (Lā Ḏarar Wa Lā Ḏirār). Tidak boleh ada penindasan dan diskriminasi di tubuh umat manusia. Hal itu bertujuan untuk memperoleh masalahat dan menolak mara bahaya (Jalb al-Maṣālih Wa Dar’ al-Mafāsid). Ide al-Musāwā ini juga berlaku di dalam hubungan antara penyandang disabilitas dengan non-disabilitas.

Disabilitas Dijamin dalam HAM

Definisi disabilitas dalam Pasal 1 UU No. 8 Tahun 2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Walaupun mempunyai keterbatasan, HAM disabilitas juga dijamin oleh negara pihak, sebagaiamana individu pada umumnya. Hal ini sebagaiman dijelaskan di dalam Pasal 10 Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD).

Selain Undang-undang dan konvensi di atas, Islam juga hadir merangkul para penyandang disabilitas. Contohnya ketika Allah Swt. memberikan keringanan kepada penyandang disabilitas netra dan daksa dalam Q.S Al-Fath [48]: 17. Syekh Ahmad bin Mustafa al-Maraghi menafsirkan ayat tersebut, bahwa Allah Swt. meberikan keringanan berupa tidak ada pemberian dosa kepada seseorang yang mempunyai halangan, seperti penyandang tunanetra dan tunadaksa, untuk meniggalkan jihad. Selain itu, Allah Swt. juga pernah menegur Nabi Muhammad Saw. yang mengabaikan Abdullah Ibn Umi Maktum, seorang sahabat penyandang disabilitas netra. Ia menemui Rasulullah Saw. untuk meminta bimbingan Islam. Akan tetapi karena sang Nabi sedang sibuk mengadakan rapat dengan para petinggi kaum Quraisy, beliau mengabaikan sahabat tersebut. Akhirnya, Allah Swt. menegur Rasulullah Saw., dengan menurunkan Q.S ‘Abasa [80]: 1-11, sebagi bentuk peringatan kepada beliau.

Islam mengakui kehadiran disabilitas di dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Islam juga mengakomodasi kebutuhan kelompok ini. Salah satu bentuknya adalah memberikan Taysīr (Kemudahan) kepada mereka. Bahwasannya, Islam memberikan kemudahan di setiap kesulitan (Q.S Al-Insyirah [93]: 5-6), membebani seseorang sesuai dengan kadar kemampuanya (Q.S Al-Bqarah [2]: 286), dan tidak menciptakan kesulitan (Q.S Al-Hajj [22]: 78). Tentunya, Taysīr ini juga didapatkan oleh para penyandang disabilitas, mengingat mereka memiliki keterbatasan dan kesulitan.

al-Musawa Bagi Penyandang Disabilitas

Sebagaimana yang disinggung di paragraf sebelumnya, konsep al-Musāwā juga berjalan antara penyandang disabilitas dengan non-disabilitas. Untuk menggapai hal tersebut, sekiranya para non-disabilitas ini menciptakan Taysīr untuk mereka. Kemudahan itu bisa kita bentuk dari langkah yang kecil, yaitu penghilangan stigma terhadap para penyandang disabilitas. Dari hal itu, sekiranya kita bisa menjadikan Islam yang ramah bagi para penyandang disabilitas

Dini Widinarsih dalam tulisanya yang berjudul Penyandang Disabilitas di Indonesia: Perkembangan Istilah dan Definisi menjelaskan, bahwa kelompok ini mengalami perilaku diskriminatif di dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat secara umum memandang mereka dengan pandangan negatif. Hal itu berangkat dari pola pikir yang didominasi oleh konsep kenormalan. Dini menjelaskan lebih lanjut, jika ada seorang yang dipandang berbeda dari yang dianggap sebagai normatif/normalitas oleh masyarakat, maka ia akan dainggap sebagai yang tidak dapat diterima dan tidak diinginkan.

Menghilangkan Stigma Negatif Terhadap Disabilitas

Tim penyusun buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas dalam pengantarnya menerangkan, para penyandang disabilitas dianggap sedang mengemban sebuah aib, sehingga masyarakat cenderung menjauhi mereka. Selain itu, kelompok terdiskrimasi ini sering diasosiasikan sebagai golongan yang harus “dikasihani” saja, tanpa adanya pengembangan potensi yang dimilikinya.

Dengan stigma ini, para penyang disabilitas semakin terpuruk di tengah berkembangnya masyarakat. Rasanya sulit menjadikan mereka sebagai golongan yang memiliki potensi, jika pola pikir tersebut masih ada. Oleh karena itu, perlu adanya penghilangan pandangan negatif tersebut, dengan menggalakan edukasi kepada masyarakat luas. Dengan hilanganya sentimen negatif itu, diharapkan para penyandang disabilitas mendapatkan Taysīr dalam mengembangkan potensinya, sehingga mereka menjadi insan yang bermanfaat.