Memakai Batik Mengikuti Jejak Rasul
Tidak ada salahnya mengikuti Rasulullah apa adanya sampai-sampai menduplikat cara berpakaian Rasul dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Dengan memakai serban, jubah, dan pakaian tradisi Arab lainnya sebagai simbol betapa kita mencintai Rasul saw.
Dahulu, Rasul mengenakan jubah dan imamah (serban yang dililit di kepala) sebagai daily fashion atau gaya berpakaian sehari-hari. Gaya berpakaian seperti ini umum oleh masyarakat awam disebut sebagai pakaian sunnah, pakaiannya Nabi, selain model pakaian tersebut tidak dianggap pakaian yang mengikuti jejak Rasul. Benarkah?.
Ulama Nusantara seperti Prof. Kyai Ali Mustafa Yaqub dan Kyai Mustafa Bisri atau lebih dikenal Gus Mus memiliki pandangan lebih luas mengenai cara berpakaian yang dianggap sebagai sunnah. Dalam penjelasan, kala itu Rasul memakai jubah karena memang jubah merupakan pakaian tradisi Arab waktu itu. Baik Nabi atau masyarakat Arab pada umumnya memakai jubah, mau orang yang beriman atau tidak, baik muslim atau pun orang musyrik. Buktinya, pakaian Nabi sama persis dengan pakaiannya Abu Jahal.
Menurut Kyai Ali Mustafa Yaqub, gaya berpakaian Nabi yang mengikuti trend masyarakat Arab pada waktu itu, boleh diikuti boleh tidak. Yang mau mengikuti ya monggo, tidak juga tidak apa-apa. Kalau keukeuh ingin mengikuti gaya pakaian Nabi sama persis, anda sekalian harus berhati-hati karena gaya pakaian tersebut untuk konteks masyarakat Indonesia pasti akan mencolok, apalagi jika dipakai oleh masyarakat biasa yang bukan seorang tokoh agama, pasti akan menimbulkan perasaan wah dan tentu saja cetar membahana.
Gaya berpakaian mencolok seperti ini, diistilahkan Nabi sebagai tsaubu syuhroh atau baju yang tidak lazim dikenakan masyarakat setempat sehingga mengundang rasa ingin populer dan rasa takabbur merasa lebih nyunnah dibanding orang lain.
Bagaimana tidak, jubah dan serban yang dililit di kepala bukanlah pakaian yang lazim dipakai masyarakat Indonesia, sehingga biasanya orang yang memakai pakaian seperti ini akan menjadi pusat perhatian. Kecuali tokoh agama yang memang sudah tidak aneh bagi mereka memakai pakaian seperti ini.
Dalam hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dikatakan, Rasululllah saw. Bersabda :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا
“Seseorang yang memakai pakaian syuhrah di dunia, kelak di akhirat dia akan diberi pakaian kehinaan oleh Allah, lalu pakaian itu dibakar api neraka”
Akan tetapi, jika si pemakai jubah dan serban ini semata-mata ingin mengikuti Rasullah karena saking cintanya kepada beliau, meskipun orang biasa dan bukan tokoh agama, maka tidaklah masalah bagi dia untuk memakai jubah dan serban yang tidak lazim dipakai oleh masyarakat Indonesia.
Namun begini, jika direnungkan secara mendalam soal cara berpakaian Nabi, akan terlintas di benak handai taulan bahwa Nabi mengenakan jubah karena beliau orang Arab. Beliau hanya mengikuti gaya berpakaian yang lazim dikenakan masyarakat Arab waktu itu.
Hebatnya, meskipun beliau Nabi, beliau tidak membuat baju kebesaran Nabi sendiri yang tidak lazim dikenakan masyarakat Arab pada waktu itu.
Nabi mencintai pakaian bangsanya sendiri yang menjadi identitas dan kebesaran orang Arab. Maka menurut kedua tokoh ulama Nusantara di atas yakni Prof. Kyai Ali Mustafa Yaqub dan Gus Mus, seseorang yang mengenakan pakaian yang menjadi identitas dan sekaligus pakaian khas bangsanya, dia telah mengikuti jejak Rasulullah saw. Karena beliau (Nabi) juga melakukan hal demikian.
Untuk konteks Indonesia, mengenakan batik dan peci bludru hitam itulah sunnah bagi bangsa Indonesia. Dia mengikuti jejak Rasul dari segi cinta budaya bangsa sendiri.
Bahkan, Kyai Ali menyebutkan inilah bentuk universalitas Islam, agama ini bukan hanya ditujukan bagi orang Arab akan tetapi bagi seluruh manusia di jagat raya.
Lebih menariknya, Kyai Ali Mustafa Yaqub adalah sarjana lulusan Universitas Imam Muhammad bin Saud, Riyadh dan Universitas King Saud, Riyadh. Tetapi, beliau tidak serta merta menjadi orang Arab meskipun telah lama mengenyam pendidikan di sana. Beliau tidak kehilangan identitasnya, beliau tetap menjadi orang Indonesia, terbukti dengan pemikiran beliau yang menganggap orang Indonesia yang mengenakan peci bludru hitam dan pakaian batik telah menjalankan sunnah Rasul dan berhak mendapat pahala mengikuti Rasul.
Jadi, predikat dan pahala sunnah atau mengikuti jejak Rasul dalam cara berpakaian, tidak hanya untuk mereka yang meniru pakaian luaran Rasul sama persis dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Akan tetapi predikat dan pahala sunnah juga layak disematkan bagi orang-orang yang berpakaian dengan pakaian yang menjadi ciri khas, identitas, dan kebanggaan bangsanya sendiri. Untuk konteks Indonesia, dengan mengenakan peci bludru hitam dan pakaian batik.
Wallahu A’lam