Membongkar Julukan-Julukan dan Istilah Khusus Ulama

Majalahnabawi.com – Di dunia ilmu pengetahuan agama, mengenal para ulama dan istilah khusus yang mereka gunakan adalah langkah awal yang tak terhindarkan bagi seorang thalib ilmu. Tulisan ini mengajak pembaca untuk merenung tentang betapa pentingnya memahami julukan-julukan dan istilah-istilah yang digunakan oleh ulama dalam berbagai cabang ilmu agama. Dari penggunaan istilah dalam kitab-kitab klasik hingga pemahaman akan konteks dan situasi yang melingkupi tulisan-tulisan ulama.

Beberapa Istilah & Julukan Ulama

  1. Julukan Al-Imam = Imam al-Haramain, Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini. ‌Ketika disebut di kitab-kitab Syafi’iyyah
  1. Al-Imam = Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi. ‌Ketika disebut di kitab-kitab Ushul
  1. Jukukan As-Syaarih / As-Syaarih al-Muhaqqiq = Imam Jalaal bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (Pensyarah Minhaj ath-Thalibin Imam Nawawi). ‌Sekiranya tidak ada istilah lain yang kebetulan dipakai dikitab tertentu, jika begitu maka pakai istilah tersebut.
  1. As-Syaikh = Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori. Bila yang mengucapkannya adalah Imam Jamal ar-Ramli
  1. Julukan yaikhuna = Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori. Bila yang mengucapkannya adalah Imam Khatib dan Imam Ibnu Hajar
  1. Syaikhi = Syaikh Syihab Ahmad bin Hamzah ar-Ramli al-Kabiir. Bila yang mengucapkannya adalah imam Khatib
  1. As-Syaikhaani = Sayyiduna Abu Bakar & Sayyidina Umar. Jika konteksnya adalah para sahabat
  1. As-Syaikhaani = Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari & Imam Muslim bin Hajjaaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi. Jika konteksnya adalah para muhadditsin
  1. As-Syaikhaani = al-Imam Abul Qasim Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i & al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. ‌Jika diucapkan pada masaail fiqh Syafi’iyyah
  1. As-Syuyukh = Imam Rafi’i, Imam Nawawi & imam Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subki. Masail fiqh Syafi’iyyah
  1. Jukukan Al-Qadhi = Imam Abu Hamid al-Marwazi (pengarang al-Jaami’ dan syarh mukhtasar al-Muzanni). Jika diucapkan pada kitab-kitab mutaqaddimin Syafi’iyyah
  1. Al-Qadhi = Imam Abu ‘Ali Husain bin Muhammad al-Marwazi. Jika diucapkan pada kitab-kitab mutaakhirin Syafi’iyyah
  1. Al-Qadhi = Qadhi Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahsubi. Jika pada kitab-kitab hadits
  1. Al-Qadhi = Qadhi Naashiruddin Abdullah bin Umar al-Baidhawi. Jika tertulis pada kitab-kitab tafsir
  1. Al-Qadhi = Qadhi Abu Bakar Muhammad bin ath-Thayyib bin Muhammad bin Ja’far al-Baaqilaani. ‌Jika tertulis pada kitab-kitab Ushul
  1. Jukukan Al-Qadhiyani = imam Abul Mahaasin Abdul Wahib bin Ismail ar-Ruyani & imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bishri.

Istilah Masyhur lainnya

  1. Julukan ujjatul Islam = Imam al-Ghazali, muhammad bin muhammad bin muhammad al-Ghazali
  2. Syaikhul Islam, dua:
    • Syafi’iyyah = imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshori
    • Hanabilah = imam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah
  3. Julukan hulthanul Ulama = Syaikh Izzuddin bin Abdis Salaam
  4. Malikul Ulama = Syaikh Alauddin al-Kasaanu al-Faqih al-Hanafi (pengarang kitab بدائع الصنائع)
  5. As-Syaikhul Akbar = Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabii al-Haatimi (pengarang kitab الفتوحات المكية)
  6. Dan banyak lagi.

Dari sini kita mengetahui betapa pentingnya thalib ngaji kepada para ahli setiap fan atau cabang ilmu atau setidaknya membaca muqaddimah kitab-kitab bacaannya terlebih dahulu.

Kenapa? Biar kita tahu istilah-istilah khusus yang kiranya terdapat pada cabang ilmu atau kitab tersebut.

Barusan kita baru mengenal nama-nama ulama dan julukannya, belum lagi istilah lain yang nantinya juga kerap digunakan oleh para ulama, fuqaha, muallifin guna membedah atau menguraikan sebuah permasalahan.

Belum lagi memahami konteks, situasi dan kondisi maklumat tsb tertulis juga sederet permasalahan besar lainnya yang jelas turut mempengaruhi kesempurnaan paham pembaca dari apapun kitab bacaannya.

Tata Cara Menuntut Ilmu

Sebenarnya berulang kali aku pernah sampaikan, kalau kewajiban pertama seorang muslim itu bukan saja cari ilmu. Tapi dalam artian juga mencari guru, guru yang akan membimbing dan menunjukkannya dalam menggapai hakikat ilmu tersebut. Hadits nabi “thalabul ilmu faridhatun.. “,

Jangan heran kalau sebagian pensyarah ada yang memahami kata ilmu bukan layaknya hakikat, tapi diarahkan pada jenis majaz mursal dengan menyebutkan masdar tapi sejatinya yang dimaksud adalah isim fail, maksudnya memang yang disebut adalah wajib cari ilmu tapi yang kandungan makna yang dimaksud adalah mencari ” AHLI ILMU”.

أطلق العلم الذي هو المصدر وأريد به العالم الذي هو اسم الفاعل إرادة مجازية مجازا مرسلا من باب إطلاق المصدر وإرادة اسم الفاعل

Beruntung teman-teman yang sudah punya guru dan mursyid, yang alim yang faqih yang wira’i. Jika belum cepat-cepat cari, hidup sekali-kalinya awas salah guru.

Aku perhatikan kadang ada sebagian thullaab yang berpotensi besar menjadi ulama tapi malah tidak maksimal hasilnya. Kenapa? Usut punya usut ternyata mereka belum mukim di pesantren yang tepat, kurikulum nya ternyata masih coba-coba, guru-gurunya masih magang, peraturan dan kebijakan nya tiap seminggu sekali berubah, kyainya juga masih sibuk keliling ngisi ceramah di luar.

Manfaat Mengenal Julukan Para Ulama

Kembali kebahasan inti, mengenal nama-nama, thabaqat, peranan para ulama itu penting. Selain jadi pecut semangat untuk santri sekaligus tabarrukan, tak ketinggalan juga membuka gembok pintu mahabbah, orang bilang tak kenal maka tak sayang.

Jauh lebih penting lagi, jangan lupa sertakan beliau-beliau semua di dalam doa dan tawassul kalian, kirimkan juga bacaan al-Quran, shalawat dsb. Mungkin dan mungkin itu malah yang jadi sebab kamu di beri futuh oleh Allah Swt.

Apalagi kamu yang punya leluhur wali dan alim ulama, trus hujani dengan hadharah, InsyaAllah sebelum beliau2 memberi syafaat bagi yang lain, tentu turun duluan ke anak cucunya yang soleh yang sedang mencari ilmu.

Coba lihat di kitab Siraajut thalibinnya Syaikh Ihsan Jampes:

وممن صرح بذلك قطب الإرشاد سيدي عبد الله بن علوى الحداد فإنه قال رضي الله عنه الولي يكون اعتناؤه بقرابته واللائذين به بعد موته أكثر من اعتنائه بهم في حياته لأنه كان في حياته مشغولا بالتكليف وبعد موته طرح عنه الأعباء والحي فيه خصوصية وبشرية وربما غلبت إحداهما الأخرى وخصوصا في هذا الزمان فإنها تغلب البشرية والميت ما فيه إلا الخصوصية فقط

“di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah Quthbul Irsyad Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Ia mengatakan:

bahwa perhatian seorang wali setelah beliau wafat terhadap kerabat dan orang-orang yang ‘bersandar’ kepadanya LEBIH BESAR dari pada perhatiannya terhadap mereka seketika ia hidup.

Hal demikian terjadi karena ia saat hidup sibuk menunaikan pelbagai kewajiban. Sementara setelah wafat, beban kewajiban itu sudah turu dari pundaknya. Wali yang hidup memiliki keistimewaan dan memiliki sisi manusiawi. Bahkan terkadang salah satunya lebih dominan dari sisi lainnya. Terlebih lagi di zaman sekarang ini, sisi manusiawinya lebih dominan. Sementara seorang wali yang telah meninggal dunia hanya memiliki sisi keistimewaan,”

Semoga bermanfaat
29.04.24

Similar Posts