Menangkal Stigma Jawara di Tanah Banten

Oleh: Hasby as-Shidqy

Berbicara tentang Banten, kita tidak akan lepas dari bayangan para Jawara dengan kekebalan yang mistis dan keberanian yang terkadang di luar nalar kita. Namun, Banten juga tidak bisa lepas dari dunia ulama dan para santrinya. Jawara dan santri adalah kekuatan besar dalam masyarakat banten. Kata Jawara berarti juara atau jagoan yang berarti pemenang yang ingin dipandang paling hebat.

Di sisi lain menurut tradisi lisan, kataJawara diartikan sebagai tukang pukul dan seorang yang suka berkelahi serta gemar dengan keributan. Istilah Jawara juga sering disebut banditisme pada masa kolonial Belanda. Jawara disebut sebagai kependekan dari kata: ja(hat), wa(ni) dan ra(pog) yang artinya jahat dan berani merampok. Dengan adanya kependekan tersebut, akhirnya muncul stigma tentang Jawara di kalangan masyarakat luar banten bahwa Jawara adalah orang yang suka merampok atau saat ini bisa kita sebut begal.

Dalam buku “Pemberontakan Petani Banten”, Sartono Kartodirdjo mendefinisikan Jawara sebagai suatu golongan sosial yang terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap namun seringkali melakukan kegiatan-kegiatan kriminal.

Jika ditinjau dari segi sosio-historis agar dapat menggambarkan sejarah kelahiran dan perkembangan jawara, istilah jawara baru dikenal pada tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian barat, yaitu: masa kerajaan sunda, kesultanan banten, dan masa kolonial belanda. Dan selanjutnya, istilah jawara muncul dan sering kita dengar hingga saat ini.

Sejarah sosial Banten tidak bisa dilepaskan dari persoalan kaum Jawara. Pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat Indonesia semakin besar, muncul perlawanan-perlawanan yang melibatkan para kyai. Para kyai umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuannya. Pertama adalah yang mempunyai kemampuan di bidang keagamaan, dan yang kedua adalah para santri yang mempunyai kemampuan di bidang bela diri. Golongan santri kedua inilah yang kemudian di juluki Jawara.

Selanjutnya, ada pendapat bahwa kaum Jawara ini terbagi dua kelompok. Pertama mereka yang masih memegang teguh ilmu agama yang disebut “Jawara Ulama”, dan yang kedua, kelompok yang menggunakan ilmu hitam dalam artian ilmu yang diperoleh tidak berdasarkan ajaran Islam.

Ketika terjadi wabah gerakan sosial di banten pada abad ke-19, pemerintah kolonial belanda berupaya untuk memaknai jawara sebagai kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum jawara disamakan dengan kelompok bandit sosial. Kemudian setelah kesultanan Banten runtuh, keadaan semakin menjadi-jadi. Seluruh tatanan sosial ambruk. Pada situasi kritis saat itulah para Ulama’ dan Jawara maupun elite pedesaan lainya tidak tinggal diam. Mereka turut memimpin berbagai bentuk perlawanan. Mereka membangkitkan semangat perlawanan terhadap penguasa asing.

Dan pada saat itu juga muncul pula perampokan, penyamunan, pembegalan dan perbuatan-perbuatan di luar hukum lainnya. Untuk melakukan aksinya, para perampok ini menggabungkan diri dengan kelompok perlawanan yang pada akhirnya mereka inilah yang membuat kaum Jawara terstigmakan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial untuk meruntuhkan citra para pejuang dengan memberikan stigma terhadap kaum Jawara sebagai bandit sehingga perlawan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajah asing dianggap sebagai keonaran, pemberontakan, kekacauan dan ketidakamanan.

Skandal inilah yang sampai saat ini masih melekat di benak masyarakat kita. Padahal Jawara prespektif masyarakat Banten adalah perwujudan dari tiga sifat mulia yang terangkai dalam kata ‘Jawara’. Ketiga sifat mulia itu adalah ja-jagoan, wa-wanian (berani), ra-wara (rendah diri). Seorang yang memiliki ilmu bela diri bahkan ilmu yang bersifat magis atau ilmu kebatinan namun tidak rendah diri tidaklah dikatakan Jawara.

Oleh sebab itu tidak sembarang orang yang dapat menyandang gelar Jawara. Umumnya ciri khas Jawara adalah selalu disimbolkan dengan membawa golok. Karena golok dalam masyarakat Banten adalah warisan budaya yang harus dipertahankan dan juga tanda keberanian seorang lelaki Banten.

*Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ketua Ikatan Mahasantri Darus-Sunnah (IMDAR) 2016-2017 asal Banten.

Similar Posts