Oleh: Subkhan Mahsuni

Agaknya pada peradaban masa kini, sebagaimana disebutkan oleh KH. Mustofa Bisri dalam suatu dialognya, “Kita adalah generasi yang mulai mementingkan kulit, daripada isi. Kulit yang terbalut indah, atau tampak jelek, itulah yang dengan mudah kita hukumi. Kita lupa bahwa di balik setiap kulit, ada hal-hal yang bisa dinilai hanya dengan hati yang jernih,”.

Tak ada salahnya untuk memahami pesan itu, kajian-kajian Hadis Nabi Muhammad SAW akan mempunyai peran penting untuk menjadi ibrah, pelajaran. Hadis merupakan sumber hukum yang kedua dalam agama Islam. Pada zaman sekarang, kajian Hadis telah diklasifikasikan menjadi tiga ranah, pertama tentang mustholahul hadits, kedua tentang cara mentakhrij Hadis, dan terakhir tentang pemahaman teks Hadis.

Terkadang Hadis Nabi SAW berupa perintah, larangan-larangan ataupun yang semakna dengan perintah atau larangan. Perintah dan larangan tersebut biasanya disebutkan di dalam redaksi Hadisnya secara langsung dan sering pula tidak disebutkan. Bentuk perintah atau larangan itu disebut al-‘Illah.Illah ini, bisa terdapat di dalam redaksinya, dan ia disebut al-‘Illah al-Manshushah dan jika tidak maka disebut al-‘Illah al-Mustanbathah.

Memahami perintah atau larangan Nabi tanpa perangkat pemahaman yang memadai, akan menjerumuskan seseorang pada sikap ketergesaan yang barangkali kurang pantas. Sikap cepat menghukumi orang lain, pemahaman teks hukum yang kelewat kaku, pandangan yang fanatik pada tafsir pribadi atau satu pihak saja, tentu tidak menampakkan semangat Islam yang penuh penghargaan atas usaha pemahaman orang lain.

Al-‘Illah yang dimaksud di sini bukanlah al-‘Illah seperti yang kerap kita dengar dalam syarat-syarat Hadis sahih yaitu sesuatu yang dapat menyebabkan Hadis menjadi dlo’if. Al-‘Illah dalam pembahasan ini adalah al-‘Illah yang ada dalam ilmu ushul fikih. Para ahli ushul fikih mendefinisikan al-‘Illah sebagai sifat yang nampak jelas dan dapat menjadi suatu hukum. Dalam kata lain, ia dapat menghasilkan juga menjelaskan hukum dengan keberadaannya dalam sebuah redaksi teks. Ia juga merupakan salah satu perangkat penetapan hukum yang perlu dijelaskan.

Sebagaimana telah disebutkan, al-‘Illah dibagi menjadi dua. Pertama, al-‘Illah al-Manshushah yaitu al-‘Illah yang telah ditetapkan secara langsung oleh Allah di dalam al-Qur’ān ataupun oleh Nabi SAW di dalam Hadisnya. Kedua, al-‘Illah al-Mustanbathah yaitu ‘illah yang ditetapkan oleh para mujtahid melalui proses ijtihad mereka.

Secara umum, al-‘Illah al-Manshushah tidak menyebabkan banyak perbedaan pandangan di antara ulama, berbeda halnya dengan al-‘Illah al-Mustanbathah yang menyebabkan banyak diskusi di antara mereka dalam memahami maksud dan makna suatu Hadis.

Hemat penulis, kiranya perspektif ini penting. Kembali ke pembicaraan awal: agar kita tetap memahami bahwa Nabi memerintahkan atau menganjurkan sesuatu, tidak terlepas dari konteks. Serta, tak lupa, bahwa tampak luar yang biasanya dipahami dengan kaku lewat teks, perlu dilihat dengan lebih teliti agar kita mendapat “isinya”.

 

Membicarakan Penyerupaan dengan Kaum Kafir

روى الإمام البخاري والإمام مسلم في صحيحيهما عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: خالفوا المشركين. أحفوا الشوارب وأوفوا اللّحى.

Hadis ini menegaskan bahwa Rasul SAW memerintahkan orang-orang mukmin untuk membedakan dirinya dengan orang-orang musyrik, yaitu dengan cara mencukur kumis dan memelihara jenggot. Karena kalimat yang kedua ((أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى)) sebagaimana dikutip dari Imam Ibnu Taimiyah merupakan badal dari kalimat yang pertama ((خالفوا المشركين)) . Jika memang demikian, maka kalimat kedua tersebut merupakan badal al-Ba‘ḍlu minal-Kull yang berarti bahwa Rasul Saw memerintahkan orang-orang mukmin untuk tidak menyamai orang-orang musyrik, salah satunya dengan cara mencukur kumis dan memelihara jenggot.

Jika benar bahwa membedakan diri dengan orang-orang musyrik merupakan suatu ‘Illah, maka itu adalah al-‘Illah al-Manshushah, karena disebutkan secara eksplisit. Rasul Saw. sendiri menyebutkannya dalam matan Hadis tersebut. Dan jika demikian pula, maka sudah pasti tidak ada perbedaan diantara ulama tentang kewajiban membedakan diri dengan orang-orang musyrik. Namun, mereka berbeda pendapat tentang keharusan mencukur kumis dan memelihara jenggot, karena hal itu bisa dilakukan dengan cara yang lain tergantung daerah dan zaman dimana orang-orang musyrik itu hidup.

Nabi memerintahkan umat mukmin untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot karena orang-orang musyrik pada zamannya tidak mencukur kumis dan mencukur jenggot. Hal itu tidak sama dengan orang-orang musyrik pada zaman sekarang, banyak dari mereka yang mencukur kumis dan memelihara jenggot. Maka jelaslah bahwa yang diperintahkan Nabi Saw. adalah membedakan diri dari orang-orang musyrik, dalam perilaku yang bisa merusak iman, bukan mencukur kumis dan memelihara jenggot.

Ada juga sebagian ulama yang beranggapan bahwa yang diwajibkan Rasul Saw adalah mencukur kumis dan memelihara jenggot, atas dasar riwayat Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya:

قال رسول لله صلى الله عليه وسلم: قصّوا الشوارب وأعفوا اللحى.

Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa ini adalah Hadis sahih. Tetapi Nabi Saw. tidak mengatakannya untuk membedakan diri dari orang musyrik. Dan tidak ada hubungan antara Hadis ini dengan Hadis di atas. Dalam ilmu Hadis pemaknaan seperti ini dinamakan dengan ath-Thariqah al-Lafzhiyyah, karena bersandarkan pada kata-kata dalam Hadis tersebut.

Lain halnya dengan al-‘Illah al-Manshushah yang secara terang-terangan diucapkan dengan tegas oleh Allah dalam al-Qur’ān ataupun oleh Nabi SAW dalam Hadisnya, al-‘Illah al-Mustanbathah adalah ‘Illah yang ditemukan oleh para mujtahid ketika mereka berijtihad dalam al-Qur’ān ataupun al-Hadīṡ yang merupakan sumber hukum Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran ketika para mujtahid banyak berbeda pendapat karena bisa saja seorang mujtahid melihat adanya ‘Illah yang tidak dilihat oleh mujtahid lain. Perbedaan paham ini didapat dari beberapa sebab:

Pertama, karena makna suatu teks dapat berupa tekstual (Dilālah Al-Manthuq) dan kontekstual (Dilalah Al-Mafhūm). Dilālah Al-Manthuq adalah pemahaman teks berdasarkan lafaznya saja, sedangkan Dilālah Al-Mafhūm adalah pemahaman teks berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedua, bahwa dasar hukum yang lebih jelas telah disebutkan Nabi Saw. dalam Hadis lain.

Contoh yang menarik soal perbedaan ini, adalah perbedaan hukum perempuan yang pergi ke masjid. Sebagian ulama berangkat dari dasar teks, bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk pergi ke masijd, sebagaimana pria. Imam Al-Nawawi dalam hal ini telah berkata bahwa wanita boleh saja pergi ke masjid jika tidak memakai parfum, berhias, memakai baju yang mewah, bercampur dengan laki-laki, masih gadis dan sebagainya yang dapat menimbulkan fitnah. Tidak dapat diragukan lagi bahwa demikianlah keadaan para wanita pada zaman Nabi Saw. Apabila keadaan mereka sebaliknya, maka Nabi Saw tidak mengizinkannya.

Kembali soal ciri-ciri muslim, yang dilarang menyerupai seorang musyrik – dengan cara memanjangkan jenggot, dan mencukur kumis. Barangkali doktrin semacam ini telah merebak di kalangan umat muslim. Tentu ini adalah anjuran rasul, bagaimanapun juga. Tapi yang menjadi perhatian kita adalah jika ternyata jenggot itu menjadi simbol yang kaku, dan lucunya akan timbul persepsi, “Barangsiapa yang tidak berjenggot, maka ia bukan muslim!”.

Maka pemahaman yang baik, dakwah yang santun disertai ilmu yang luas, akan menjadi media komunikasi umat Islam yang lebih luas. Sehingga di balik keelokan paras dan “kulit”, umat muslim tidak melupakan “isi”. Tentu pemahaman Hadis Nabi bisa membantu menghantarkan kita pada taraf itu. Wallahu a’lam.

 

*Penulis adalah mahasantri semester delapan di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, asal Brebes , dan mahasiswa semester delapan Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

By Admin

Media Keilmuan dan Keislaman