Seekor singa tak buas memangsa bila ia tetap di sarangnya,

Anak panah pun tak akan mengena bila ia tetap di busurnya,

Bila sang surya tetap terdiam di ufuq timur tidak bergerak,

Semua orang di atas dunia merasa bosan, jenuh dan runyam,

Gumpalan emas di tempat asalnya bagai onggokan tanah tiada makna,

Kayu cendana di tengan belukar, sama nilainya dengan kayu bakar.

Bait-bait puisi di atas adalah terjemah bebas dari syair- syair imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H). Dalam kitab kumpulan syairnya yang populer dengan sebutan Diwan al- Imam al-Syafi’i. Dalam syair-syair itu Imam al- Syafi’i memberikan gambaran betapa pentingnya seseorang itu meninggalkan  negerinya, merantau, hijrah dan sebagainya. Tanpa meninggalkan kampung halaman, seseorang tidak akan mendapat kehormatan apa-apa.  Karenanya, al-Imam al-Syafi’i menganjurkan kepada anak-anak muda yang berakal dan berbudaya untuk meninggalkan negerinya, merantau di negeri orang, berhijrah, untuk memperoleh kemulyaan dan kejayaan. Dan itulah kira-kira sebagian dari hikmah-hikmah atau falsafah hijrah.

Strategi Dakwah

Apakah hijrah Nabi   Muhammad Saw. dari Makkah ke Yatsrib. Yastrib yang sekarang kita sebut Madinah- dalam rangka memperoleh kemulyaan dan kejayaan itu? Jawabannya adalah tidak semata- mata untuk itu. Apalagi bila yang dimaksud dengan kemulyaan dan kejayaan itu bersifat pribadi Nabi Saw sendiri. Apabila yang dimaksud dengan kemulyaan dan kejayaan itu adalah untuk umat Islam dan pemeluknya, maka falsafah hijrah Nabi Saw. itu sudah tercapai. Namun bagaimanapun, hijrah Nabi Saw. itu bukanlah kehendak beliau sendiri. Akan tetapi atas perintah Allah SWT sebab Nabi Saw., sebagai putra asli Makkah sebenarnya lebih mencintai kota suci itu. Tetapi karena ulah kaumnya yang selalu meneror Nabi Saw., beliau diperintahkan bersama umat islam meninggalkan Makkah dan pindah ke Madinah.

Hijrah Nabi Saw. Bukanlah semata-mata pindah tempat, tetapi ia lebih merupakan strategi beliau dalam berdakwah sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang islami meskipun bukan di kampung halaman sendiri. Dan setelah kurang lebih delapan tahun beliau mewujudkan masyarakat itu, pada tahun ke-8 hijri itulah beliau dapat menguasai kembali kota Makkah untuk di ”Islam” kan. Ibarat perang, hijrah adalah mundur selangkah untuk menyusun kekuatan kembali guna melakukan penyerangan besar- besaran. Namun bagaimanapun, karena yang menjalankan hijrah itu Nabi Muhammad Saw., maka segala langkah beliau sangat sarat dengan makna dan pesan-pesan spiritual. Karenanya, di samping kita akan mencoba menapaktilasi perjalanan hijrah beliau secara pisik, kita juga akan mencoba menapaktilasi pesan- pesan spiritual dalam  perjalanan hijrah itu.

Mengelabuhi Lawan

Sebagai seorang utusan Allah  yang mengemban tugas yang suci, Nabi Saw. tentulah sudah meyakini bahwa beliau akan selalu dilindungi Alah dalam menjalankan tugasnya. Namun demikian, sekurang – kurangnya ada dua peristiwa dalam perjalanan hijrah beliau itu, di mana beliau telah berusaha untuk mengecoh lawan-lawan beliau kaum musyrikin Makkah.

Pertama, ketika beliau hendak keluar rumah untuk selanjutnya meninggalkan kota kelahiran beliau Makkah al-Mukarramah menuju ke Yatsrib. Rumah beliau pada saat itu sudah dikepung oleh pemuda- pemuda suku Quraisy. Mereka dalam keadaan siap, begitu Nabi Saw. keluar dari rumah, mereka akan ramai-ramai menangkap Nabi Saw., kemudian membunuh beliau. Meskipun Nabi Saw. tidak merasa takut kepada ancaman teror pembunuhan seperti itu, namun beliau tetap membuat upaya agar para pemuda Quraisy itu terkecoh. Maka disuruhnya pemuda Ali bin Abu Thalib untuk tidur di tempat tidur Nabi Saw. seraya memakai selimut yang biasa dipakai Nabi Saw., sementara para pemuda  Quraisy yang sejak sore tadi mengintai Nabi Saw. merasa tenagng-tenag saja karena musuh mereka belum keluar dari rumah, dan masih berada di tempat tidur.

Kemudian Nabi Saw. dengan  membaca ayat 9 Surah Yasin, yang artinya, “Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat”, dan menaburkan debu kepada mereka, beliau ke luar dengan tenang, sedangkan para pemuda Quraisy itu  tertidur lena. Dan begitu mereka terbangun, mereka merasa terkecoh, karena melihat pintu rumah Nabi Saw. sudah terbuka, sementara Nabi Saw. tidak ada di rumah.

Pengecohan kedua adalah rute  perjalanan hijrah Nabi Saw. Posisi kota Yatsrib adalah di sebelah utara kota makkah. Tetapi Nabi Saw., begitu keluar dari rumah bersama Abu Bakar justru menuju ke arah selatan di mana terletak Gua Tsur. Gua Tsur yang berada di gugusan gunung Tsur itu cukup jauh dari Makkah. Di samping jauh, tempatnya cukup menyulitkan, di gunung yang terjal dan berbatu. Karena para pemuda Quraisy telah mengetahui bahwa Nabi Saw. akan hijrah ke Yatsrib, maka tentu saja para pemuda Quraisy itu mengejar Nabi Saw., ke arah utara, dan ternyata mereka tidak menemukan beliau.

Usaha dan Doa

Sekiranya tidak meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat  tidur Nabi Saw., dan memakai selimut beliau, dan sekiranya Nabi Saw., langsung menuju arah utara tidak ke arah selatan, tentulah Nabi akan tetap dilindungi oleh Allah Swt dari teror pemuda Quraisy. Namun, ternyata Nabi Saw. tidak meninggalkan usaha lahiriyah untuk menyelamatkan diri. Hal ini terlihat sekali ketika para pemuda Quraisy itu mengejar Nabi Saw., sampai di Gua Tsur. Dalam persembunyian beliau bersama Abu Bakar itu Nabi Saw., tinggal selama tiga hari. Dan ketika para pemuda Quraisy berada di mulut gua, Abu Bakar membisiki Nabi Saw., “Sekiranya salah satu di antara mereka itu melihat ke arah bawah, niscaya ia akan melihat kita.” Saat itulah Abu Bakar merasa ketakutan. Namun Nabi Saw., meyakinkannya, “Hai Abu Bakar, Anda jangan mengira kita ini hanya berdua. Kita bertiga, Allah yang ketiga.”

Meski sudah yakin akan perlindungan Allah, Nabi Saw. tetap melakukan upaya-upaya lahiriyah, di samping berdoa. Maka, di sini Nabi Saw. ingin memberikan contoh kepada umatnya, agar dalam segala masalah tidak meninggalkan dua hal itu, yaitu usaha dan doa. Begitu pula, Nabi Saw. bersembunyi di Gua Tsur itu bukan lantaran beliau takut akan teror kaum musyrikin, melainkan semata-mata dalam rangka memberikan contoh untuk melakukan upaya lahiriyah dan membuat sebab-sebab material.

Perencanaan Yang Matang

Dalam rangka menggabungkan antara usaha dan doa ini, perjalanan hijrah Nabi Saw. tampaknya memang melaluli perencanaan yang matang. Betapa tidak, sejak awal semuanya telah Nabi siapkan secara cermat. Ketika Abu Bakar minta izin dari Nabi Saw. untuk berangkat ke Yatsrib bersama orang-orang lain lebih dulu, Nabi Saw. tidak mengizinkan. Abu Bakar tampaknya memang diberi peran yang besar oleh Nabi Saw. dalam proses perjalanan hijrah. Abu Bakar-lah yang kemudian menyiapkan dua ekor unta untuk ‘transportasi’ hijrah Nabi Saw. Sementara putri Abu Bakar, Asma namanya, menyiapkan bekal makanan untuk perjalanan suci itu. Bekal itu ia ikatkan di punggung unta, namun karena tidak ada tali, maka ikat pinggangnya ia sobek menjadi dua. Maka Asma kemudian mendapat sebutan sebagai wanita dzatu al- nitaqain (si empunya dua ikat pinggang).

Abu Bakar juga menyuruh  putranya, Abdullah namanya, untuk selalu memonitor apa yang terjadi di Makkah. Malam hari Abdullah ke Gua Tsur, memberikan perkembangan terakhir di Makkah, dan menjelang fajar Abdullah kembali ke Makkah, sehingga orang- orang Quraisy mengira Abdullah tidak pergi ke mana-mana. Dan untuk menghilangkan jejak bekas kaki Abdullah di padang pasir, Abu Bakar menyuruh hamba sahayanya, ‘ Amr bin Fuhairah’, untuk menggembalakan kambing-kambingnya di sekitar gunung Tsur pada siang hari. Sore harinya kambing-kambing itu istirahat dekat gua Tsur dan diperah susunya untuk Nabi Saw dan Abu Bakar minum. Sementara Asma setiap petang menghantarkan makanan ke Gua Tsur.

Bantuan Orang Kafir

Meskipun Nabi Saw dan Abu Bakar “bersembunyi” di gua Tsur, namun melalui Abdullah putra Abu Bakar mereka tidak kehilangan kontak dengan situasi dan keadaan kota Makkah. Maka setelah tiga hari berada di gua itu dan menganggap keadaan sudah aman, Nabi Saw. bersiap- siap untuk meninggalkan gua dan menuju Yatsrib. Untuk penunjuk jalan ke Yatsrib, Nabi memilih seorang yang bernama Abdullah bin Uraiqit yang kebetulan tidak muslim. Ia seorang musyrik, tetapi Nabi menganggap tidak berbahaya. Ia seorang musyrik, tetapi Nabi anggap tidak berbahaya. Ia akan menunjukkan jalan “yang aman” bagi Nabi Saw. menuju ke Yatsrib, dan untuk itu dia mendapat imbalan dari Nabi Saw.

Bantuan Abdullah bin Uraiqit ini kemudian para ulama jadikan dalil. Bahwa umat Islam boleh meminta bantuan apa saja dari orang kafir, selama hal itu tidak membahayakan umat Islam dan umat islam tetap menjadi “komando” atas orang-orang kafir itu. Begitulah, dan sesuai dengan perjanjian Abdullah bin Uraiqit tidak mengambil arah lurus dari Gunung Tsur ke arah Yatsrib, melainkan mengambil ke arah barat, menuju kawasan pantai, dan mencari jalan yang tidak biasa orang-orang pergi ke Yatsrib lalui. Hal ini juga merupakan upaya pengecohan kepada orang-orang kafir Quraisy agar jejak perjalanan Nabi Saw. tidak mereka ketahui.

Nabi meninggalkan rumah beliau untuk menuju Gua Tsur pada malam Jum’at, 2 Rabiul Awal, bertepatan dengan tanggal 20 September 622 M, dan meninggalkan gua Tsur pada malam Senin, tanggal 4 Rabiul Awal, dan tiba di Yatsrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul Awal. Oleh kaum muslimin yang sudah lebih dahulu tiba di Madinah, menilai perjalanan Nabi Saw ini lama. Masalahnya di samping juga ‘transit’ di gua Tsur selama tiga hari. Jalan yang Nabi tempuh bukanlah jalan  yang biasa di tempuh oleh orang- orang yang biasa menuju Yatsrib.

Mendahulukan Kepentingan Rakyat

Perjalanan hijrah Nabi Saw. memang sarat dengan makna dan hikmah-hikmah. Maklum, yang melakukan adalah seorang Nabi di mana segala bentuk dan ucapannya menjadi sumber hukum dan moral dalam agama Islam.

Meskipun sudah lolos dari kepungan orang-orang Quraisy di Makkah maupun  Gua Tsur, Nabi Saw. belum berarti bebas dari ancaman teror. Sebab setelah beliau meninggalkan gua Tsur menuju Yatsrib, ternyata ada juga yang mengetahui kepergian Nabi Saw. Akhirnya kaum musyrikin Makkah berembug kembali untuk menugaskan seorang pemuda guna memburu dann membunuh Nabi Saw. Tersebutlah nama pemuda itu adalah Suraqah bin Malik. Dengan menunggang kuda ia memburu Nabi Saw. Namun setelah mendekati  Nabi Saw. Kaki kudanya ambles di bumi, sehingga ia gagal untuk membunuh Nabi Saw.

Peristiwa ini terjadi setelah Nabi Saw melewati tempat yang bernama Qudaid. Tempat atau kota ini belakangan  menjadi tempat membeli hewan- hewan kurban maupun dam. Ketika Nabi Saw. dan para Sahabat pergi untuk beribadah haji dari Madinah ke Makkah.

Peristiwa Di Tengah Perjalanan Hijrah Nabi

Ada suatu peristiwa penting dalam perjalanan hijrah itu, yaitu  ketika Nabi Saw. bersama tiga orang  yang lain. Abu Bakar, ‘Amir bin Fuhairah, dan Abdullah bin Uraiqit singgah di kemah seorang wanita bernama Ummu Ma’bad yang tinggal bersama suaminya, Abu Ma’bad. Ummu Ma’bad al- Khuzaiyah adalah wanita yang berwatak keras dan lugu, namun ia sangat miskin. Nabi Saw. singgah di situ untuk membeli kurma atau daging, namun barang-barang itu tidak ada sama sekali. Sementara suaminya pada saat itu sedang tidak di rumah.

Nabi kemudian melihat ada seekor kambing betina yang kurus. Nabi Saw. bertanya, “Hai Ummu Ma’bad, apakah kambing itu ada air susunya? ” , “Apalagi air susu, ia sendiri kurus kering, dan kelihatan payah,” jawab Ummu Ma’bad. “Bolehkah saya memerah susunya?” tanya Nabi Saw. lagi “Silakan saja kalau memang ada air susunya,” jawab Ummu Ma’bad.

Nabi Saw. kemudian  memegang susu kambing itu seraya membaca basmalah, kemudian nabi berdoa, “Wahai Allah, berkahilah wanita itu melalui kambingnya,” ternyata air susu kambing itu memancar deras, sampai Nabi Saw. minta sebuah bejana untuk menampungnya. Dari air susu itu, Nabi mempersilahkan Ummu Ma’bad untuk meminumnya kemudian Nabi Saw. mempersilahkan Abu Bakar dan lain-lain untuk minum. Setelah itu baru Nabi Saw. sendiri minum, seraya berkata, “Orang yang memberi minum kepada orang-orang lain itu hendaknya ia minum paling akhir.”

Moralitas Seorang Pemimpin Umat

Makna dari sabda Nabi ini adalah, orang yang menjadi pemimpin, di mana di antara lain tugasnya membuat rakyat sejahtera. Seyogyanya ia tidak lebih dahulu memikirkan diri sendiri, tetapi pikirkanlah dahulu kesejahteraan rakyat. Apabila rakyat sudah sejahtera dan makmur, barulah ia boleh menikmati sisa-sisa kesejahteraan rakyat itu. Inilah perilaku dan moralitas seorang pemimpin umat seperti yang Nabi Saw. contohkan.

Begitulah, tidak lama setelah Nabi Saw. minum susu kambing itu, beliau melanjutkan perjalanan ke Yatsrib. Dan tak lama kemudian suami Ummu Ma’bad pulang dengan menggiring seekor anak kambing. Ia sangat terkejut, begitu melihat di rumah banyak air susu kambing. Setelah istrinya menceritakan hal itu, Abu Ma’bad menyadari yang datang tadi adalah seorang Nabi yang orang- orang Quraisy sebut. Akhirnya suami Ummu Ma’bad menyusul Nabi Saw. ikut hijrah ke Madinah, dan masuk Islam.