Meneladani Rutinitas Ulama; Membaca, Mengajar, Menulis

majalahnabawi.com – Di saat tertentu, saya kerap membayangkan bagaimana sebuah kehidupan ideal yang dapat saya jalani hari ini, esok, hingga hari tua. Ada banyak pilihan untuk menjadi “apa” dan “siapa” dalam rotasi hidup yang serba ramai dan penuh kompetisi ini. Barangkali pulang ke kampung halaman, menghabiskan separuh waktu dengan memancing dan berkebun merupakan dua opsi yang paling mendekati. Ah, indah sekali membayangkan hobi masa kecil itu.

Tetapi, tentu saja hobi tersebut tidak dapat sepenuhnya dilakoni (baca: dijalankan) setiap hari. Ada banyak kebutuhan lain yang tentu mendesak. Kebutuhan wajib yang menuntut saya harus tetap bekerja, memberikan kontribusi kepada masyarakat, serta memiliki penghasilan untuk sekadar hidup. Setelah berulang kali coba merenungkan, membayangkan kemungkinan-kemungkinan, dan melihat realita yang tengah dijalani saat ini, akhirnya saya memutuskan agar tidak jauh dari tiga rutinitas utama yang dapat mewujudkan aktualisasi diri sekaligus dapat menopang kebutuhan hidup sehari-hari, yakni: Membaca, Mengajar, dan Menulis.

Mungkin ini terkesan agak sesumbar. Saya memimpikan dapat menjalani hidup serta laku lampah (baca: perilaku) sebagaimana para ulama maupun cendekiawan terdahulu; menghabiskan banyak waktu sendiri dengan kontemplasi, membaca beragam buku, menambah wawasan baru, sekaligus menulis gagasan dan pemikiran dalam sebuah karya. Di luar kegiatan “kamar” itu, dalam kehidupan sosial sehari-hari, saya sangat menikmati turut terlibat dalam kesibukan belajar dan mengajar di dua lembaga pesantren seperti yang saya jalani beberapa tahun terakhir.

Menjalani kehidupan dengan ketiga rutinitas semacam itu, bukan berarti tanpa alasan. Ada banyak sekali berbilang ayat, hadis, nasihat bijak bestari yang menerangkan betapa mulia dan bermanfaatnya kegiatan produktif tersebut. Karena dorongan itulah, para ulama terdahulu memilih jalan panjang menuju Tuhan dengan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Dan, saya berharap dapat mengambil bagian dalam hal ini.

Usia Tidak Mampu Mengejar Produktivitas Mereka

Setidaknya, saya bisa meneladani semangat berkarya dari dua tokoh ulama, mahaguru inspiratif dalam hidup saya; Kiai Ali Mustafa Yaqub dan Prof. Quraish Shihab.

Di sela kesibukan keduanya mengayomi serta mendidik umat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengisi ceramah, kuliah, atau kajian, keduanya meluangkan separuh waktu lainnya untuk membaca dan menulis. Kiai Ali Mustafa Yaqub misalnya, tidak kurang menerbitkan 50 karya buku selama hidupnya. Untuk mendorong para santri produktif dalam menghasilkan karya, Beliau seringkali mengutip sebuah syair yang terpampang di perpustakaan Universitas Malik Saud, tempat Beliau kuliah di Arab Saudi dahulu:

الخَطُّ يَبْقَى زَمَانًا بَعْدَ كَاتِبِهِ
وَكَاتِبُ الخَطِّ تَحْتَ الأَرْضِ مَدْفُونٌ
Sebuah karya akan senantiasa kekal setelah penulisnya tiada
Sebab penulisnya sendiri telah dimakamkan di dalam tanah

Selain syair tersebut, Beliau memiliki satu nasihat populer yang di-iqtibas[1] dari surah Ali Imran ayat; 102. Nasihat pamungkas ini selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan. Nasihat yang membekas dan menjadi pemecut semangat para santrinya:

وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم كاَتِبُوْنَ
Pantang wafat sebelum menjadi penulis

Begitu pun Prof. Quraish Shihab, penulis tafsir Al-Mishbah, hari-hari beliau senantiasa diisi dengan membaca dan menulis buku. Najwa shihab, pernah mengunggah sebuah video laman di media sosialnya tentang kegiatan sehari-hari beliau menulis di salah satu sudut rumahnya. “Inilah kegiatan yang Abi lakukan ketika di rumah,” imbuhnya.

Belakangan, berdasarkan kesaksian sesama rekan pengajar di Darus-Sunnah sekaligus Editor buku Beliau, Ustaz Ulin Nuha, Prof. Quraish Shihab kini lebih banyak menghabiskan waktunya di Pusat Studi Quran (lembaga pengkajian al-Quran yang ia dirikan) untuk membaca buku serta mencari rujukan atas karya yang sedang ditulisnya. Kini, setidaknya sudah 66 buku yang diterbitkan dan itu belum cukup, sebab beliau masih aktif menulis karya terbarunya.

Dalam sebuah wawancara, Prof. Quraish Shihab ditanya soal rahasia produktivitas dalam menulis meski sudah sepuh. “Pertama, menyalurkan hobi. Tetapi yang lebih penting dari itu, ingin punya kenangan atau peninggalan untuk generasi yang akan datang,” terangnya. Bahkan selama pandemi, Beliau merampungkan 7 buku, masing-masing buku diselesaikan dalam kurun waktu 3 bulan, dan setiap hari rata-rata bisa menghabiskan waktu selama 6-7 jam sehari untuk membaca dan menulis.[2]

Beliau menjelaskan bahwasa aktivitas yang dilakukan secara terus-menerus menciptakan sebuah kebiasaan, sehingga menimbulkan kecanduan atau kesenangan. “Mengapa orang kuat menonton bola berjam-jam? Karena ia merasakan kesenangan di dalamnya. Demikian pula saya! Saya merasakan kesenangan ketika menulis.”[3]

Rasanya, tidak cukup jika hanya membicarakan keduanya. Sosok ulama Indonesia lain yang tidak kalah produktif berkarya selama hidupnya adalah: Buya Hamka. Saya banyak terinspirasi dari Beliau; mengenai keluasan pengetahuan agama, prinsip dan idealisme yang dianutnya, serta penghayatan terhadap karya sastra.

Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar selama mendekam dalam penjara. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Tidak juga berlaku depresif sehingga melakukan sesuatu tanpa manfaat. Bahkan, tidak hanya menulis karya bertemakan agama saja, Beliau juga menyelingi kesehariannya dengan menulis karya sastra, di antaranya: Novel.

Suatu hal yang menunjukkan betapa kompleksnya Beliau: Ulama sekaligus Sastrawan. Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk merupakan dua di antara sekian banyak karya sastra novel yang mendapat apresiasi luas oleh publik, menjadi perhatian para kritikus sastra, dan beruntung sekali masih dapat kita baca sampai hari ini.

***

Dari nama-nama yang telah disebutkan, tentu masih belum seberapa. Para ulama terdahulu justru lebih menakjubkan lagi. Usia seolah tidak mampu mengejar semangat dan produktivitas mereka. Sebut saja di antaranya, Ibnu Jarir at-Thabari, Beliau merupakan sosok yang amat produktif. Sehari, mampu menulis hingga 40 halaman. Seorang karib dekat Beliau pernah menghitung jumlah lembar dan mengkonversikan sejak Beliau lahir hingga usianya 80 tahun. Setiap hari, Beliau menghasilkan tulisan sebanyak 14 halaman secara berturut-turut.

Pada kisah yang lain, Ibnu Jarir at-Thabari pernah menawarkan kepada para santrinya untuk mendiktekan Tafsir Al-Quran sebanyak 30.000 halaman. Mendengar hal tersebut, tidak ada satu pun santri yang menyanggupinya. Lalu, akhirnya Beliau meringkasnya menjadi 3.000 halaman dan mendiktekannya secara bertahap selama 7 tahun.

Menurut kesaksian salah satu murid Ibnu Jarir sendiri, al-Qadhi Abi Bakar bin Kamil, mengisahkan bahwa Ibnu Jarir mempunyai waktu khusus untuk menulis dari setelah Zuhur hingga Asar. Bahkan, menjelang meninggal pun ia menyempatkan diri untuk mencatat ilmu.

Khatib al-Baghdadi, Sejarawan penulis Tarikh al-Baghdadi, mengagumi dan mengakui kehebatan Ibnu Jarir at-Thabari, “Dia merupakan ulama besar yang menjadi rujukan umat. Luas pengetahuan serta luhur budi pekertinya. Ia ahli dalam banyak hal: Al-Quran, Fikih, Hadis, serta pengetahuannya tentang sejarah bangsa-bangsa sangatlah luas.”[4]

Sampai di sini, kita semakin dibuat kagum dan takjub.

Begitu pun dengan Ibnu Rusyd, Averroes, sosok yang digelari oleh dunia barat sebagai The Commentator. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, bahwa kecintaan Ibnu Rusyd dalam membaca buku dan menulis, dirinya disebut tidak pernah meninggalkan membaca buku setiap malamnya kecuali saat ayahnya meninggal dan saat malam pengantin.[5] Hal ini menggambarkan betapa sosoknya begitu menyukai rutinitas membaca sehingga menghasilkan karya besar dalam berbagai bidang. Karya-karyanya hingga hari ini masih dijadikan rujukan baik dari kalangan pesantren maupun cendekiawan dunia.

Untuk melengkapi bagian ini, saya rangkumkan ulama lain dengan semangat besar yang patut diteladani, semisal: Muhammad bin Hasan (132-189 H), murid Imam Abu Hanifah, tidak tidur malam kecuali hanya sedikit dan di sampingnya selalu ada buku. Jika bosan dengan satu buku, ia akan membaca buku yang lain. Ulama lain, Al-Baqilani, beliau tidak tidur malam hingga selesai menulis 35 lembar. Berikutnya, Ibnu Abi ad-Duniya meninggalkan karya 1000 karangan. Ibnu Asakir menulis sejarah sebanyak 80 jilid. Ibnu Hazam menulis 400 jilid. Ibnu Abi Hatim menulis buku fiqh, hadis, dan sejarah sebanyak lebih dari 1000 juz.[6]

Lantas, bagaimana dengan semangat kita?


[1] Iqtibas adalah mengutip sebagian kalimat dari Al-Qur’an atau Hadis, lalu disematkan ke dalam prosa atau puisi tanpa adanya penjelasan bahwa kutipan tersebut sebenarnya berasal dari ayat Al-Qur’an atau Hadis Nabi (Al-Balaghah Al-Wadhihah, hlm. 148)
[2] Transkrip wawancara yang penulis kutip dari kanal Panrita ID, diunggah pada 21 Agustus 2022 di laman Youtube dengan judul, “Produktivitas Menulis Quraish Shihab.”
[3] Romandhon MK, Rahasia di Balik Quraish Shihab Produktif Menulis, Hidayatuna.com
[4] Abdu al-Fattah Abu Ghuddah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Maktab al-Matbu’at al-Islamiyah, Cetakan ke-10, hlm. 44—45
[5] Rāghib al-Sirjāni, Kaifa Tushbihu `Āliman, Maktabah Syamilah, hlm. 13
[6] Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, hlm. 87—88

Similar Posts