Ustadz Ali Hudaibi bersama Syekh Slimi di Sayeda Khadija Centre Kanada

Setelah tiba dari perjalanan panjang, kami tidak keluar kamar kecuali untuk mengimami salat fardlu dan menyalami para jamaah. Ini menjadi tanda bahwa kami sudah sampai di Toronto memenuhi undangan mereka. Setelah itu kami lanjutkan istirahat.

Selepas Magrib kami mendapat undangan dari salah satu sesepuh MIIT (Masyarakat Islam Indonesia Toronto) untuk bertandang, beramah tamah di kediaman beliau. Kami pun langsung memenuhi undangan tersebut diantar oleh Imam Slimi dan beberapa khadim-nya dari Sayeda Khadija Centre. Rupanya di lokasi undangan sudah hadir beberapa warga MIIT.
Rasanya seperti di negeri sendiri kala bertemu mereka. Makanan yang dihidangkan pun ala-ala Indonesia. Alhamdulillah.

Benar kata orang tua, jangan pernah takut berhijrah atau berdakwah ke negeri orang meskipun sendiri. Yakinlah di sana pasti akan ditemukan orang-orang yang akan saling memerhatikan. Dalam kebaikan, petunjuk, perhatian, dan hal-hal positif lainnya akan ditemukan di sana.

Esoknya, kami memulai Tarawih pada Jumat malam dengan jumlah rakaat 20 plus witir 3 rakaat ala Mazhab Hanafi. Sebelum mengimami tarawih Imam Slimi mengatakan kepada kami agar membaca al-Qur’an setengah juz saja di dalam salat. Setengahnya dilanjut setelah tarawih dengan tadarus bersama.

Imam Slimi senang dengan tradisi khas muslim Indonesia ini dan ingin tetap melestarikannya. Saran demikian pernah kami sampaikan pada Ramadhan tahun lalu, dengan alasan waktu yang sangat pendek antara selesainya tarawih dengan Subuh, yaitu hanya 3 jam. Sementara di pagi harinya para jamaah harus bekerja dalam keadaan berpuasa selama 17 jam.

Kami berpikir, dalam hal ini Rasulullah pernah mengatakan, “Apabila kalian menjadi imam maka ringankanlah.” Maksudnya jangan memberatkan jamaah.

Teringat kisah, pada suatu hari Rasulullah menegur orang yang dicintainya, yaitu Sayyidina Mua’dz karena terlalu panjang mengimami salat Isya yang berujung pada protes jamaahnya yang resah.

Rasulullah mengatakan, ‘Afattanun Anta (Apakah kamu ingin menjadi orang yang suka membuat fitnah)? Demikian Rasul menegur Mua’dz.

Apa makna teguran tersebut? Maknanya adalah bahwa menyampaikan kebaikan saja tidak cukup tanpa diiringi dengan pemahaman akan kondisi sekitarnya. Dakwah kebaikan yang kurang tepat konteksnya bisa berubah menjadi keburukan, atau bahasa Rasul menjadi fitnah ketika tidak muqtadhal hal (selaras dengan keadaan).

Dari sekilas kisah itu, apa yang buruk dari Sayidina Mua’dz? Sekilas sebenarnya tidak ada. Justru semakin banyak membaca al-Qur’an, itu semakin baik dan mendapat pahala yang banyak. Anda tahu, setiap huruf Al Quran diganjar 10 kebaikan. Tapi hal positif itu malah menjadi buruk ketika tidak selaras dengan kondisi jamaah. Kecuali, bila sebelumnya ada kesepakatan dengan jamaah, maka agaknya memanjangkan bacaan pun tidak masalah.

Sebagai seorang pemuka agama yang sudah 3 kali berturut-turut mendapat penghargaan salah satu di antara 500 orang berpengaruh di dunia, serta sudah puluhan tahun tinggal di Kanada, tentu Imam Hamid Slimi sangat mengerti keadaan jamaahnya. Keputusan tersebut menurut kami sangat tepat karena melihat kompleksnya kebutuhan jamaah.

Qari Cilik Hapal 30 Juz

Di Sayeda Khadeja Centre, selain ditemani Imam Slimi, kami juga dibantu oleh seorang Qari keturunan Pakistan bernama Musa yang sudah hafal 30 Juz di usianya yang masih 9 tahun. Selain hafal 30 Juz, ia juga diberi anugerah suara yang indah dan bacaan yang fasih. Subhanallah.

Anda tahu, Al-Qur’an itu indah dan bertambah keindahannya ketika disampaikan dengan cara yang indah; salah satunya dengan suara yang merdu. Membaca al-Quran dengan suara yang indah adalah perintah Nabi. Bila keindahan itu menjadi sesuatu yang penting, maka mempelajarinya pun adalah keniscayaan.

Terkadang melalui keindahan suara membaca Al Quran, seseorang mendapat hidayah. Sebaliknya, seseorang menjadi malas beribadah karena mendengar suara yang tidak indah. Ini salah satu utamanya estetika dalam membaca al-Qur’an menjadi penting.

Membaca al-Quran dengan suara indah bukanlah suatu sikap sombong, karena sombong, takabbur , adalah perasaan diri lebih baik dari orang lain, atau meremehkan dan memandang rendah mereka (ghamth an-nas). Selain itu, sikap takabur itu juga enggan diberi nasehat (bathar al-haqq) ketika melakukan kesalahan karena merasa lebih baik tadi.

Keindahan itu datangnya dari Allah. Bila seseorang mengetahui bahwa Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, maka ia pun akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan sesuatu yang indah untuk-Nya. Insyaallah, dengan tetap menjaga hati dari penyakit riya’, ujub, takabbur, dan sebagainya.

Baca Juga: Safar itu Sebagian dari Siksa

By Ali Mohammad al Hudhaibi

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences