Majalahnabawi.com – Istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yaitu ibnu dan sabil. Kalimat tersebut menggunakan susunan idlofah yang secara harfiah berarti “anak manusia yang berada di jalan”.
Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa arti yang melekat pada ibnu sabil berdasarkan paparan para ulama, diantaranya:
1. Jumhur ulama, ibnu sabil adalah lafadz kinayah dari musafir yakni orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan untuk maksiat, dan dalam perjalan itu mereka kehabisan bekal.
2. Ibnu Qudamah, Ibnu sabil adalah seseorang yang melakukan perjalan (musafir) yang tidak memiliki kemampuan untuk kembali ke negerinya, dan untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju negerinya. maka dia mendapat pemberian sesuai kebutuhan untuk kembali ke negerinya.
Selain itu, ulama empat mazhab juga berbeda pendapat dalam mendefinisikan ibnu sabil, antara lain:
1. Syafi’iyyah, ibnu sabil adalah orang yang kehabisan bekal ketika melakukan perjalanan dan juga termasuk orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang mana ia tidak mempunyai bekal. Oleh karena itu kedua orang tersebut berhak mendapat zakat untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Hanafiyyah, ibnu sabil adalah orang asing yang kehabisan bekal, dan dia boleh mendapat pemberian zakat sesuai kebutuhannya.
3. Malikiyah, ibnu sabil adalah orang asing yang membutuhkan bantuan seseorang untuk mengantarkannya kembali ke tempatnya.
4. Hanabilah, orang asing yang kehabisan biaya dalam perjalanan yang bersifat mubah, atau bersifat haram namun dia bertaubat

Substansi Ibnu Sabil


Dari berbagai penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa ibnu sabil memiliki substansi seseorang yang kehabisan bekal akibat dari perjalanan yang ia lakukan dari suatu negeri ke negeri lainnya demi kemaslahatan. Esensi yang terkandung dalam pengertian ibnu sabil ini adalah bahwa orang yang dalam perjalanan tidak memiliki batasan kriteria status ekonomi, ibnu sabil dapat berasal dari golongan apapun, tidak harus miskin. Orang kaya yang kehabisan bekal dalam perjalanannya dan terputus dari harta bendaya di negerinya juga dapat termasuk kedalam kelompok ibnu sabil.
Di samping itu, jumhur ulama berpendapat bahwasanya orang yang memulai perjalanan dan ia terputus di tengah jalan mereka tidak termasuk ibnu sabil, karena dua alasan :
Lafadz sabil mempunyai makna jalan, sehinnga ibnu sabil adalah orang yang selalu menetap di jalan, dimana jalan adalah ibu dan bapaknya. Oleh karena itu, orang yang berdiam diri di negerinya tentu tidak akan berada di jalan. Hal ini sebagaimana yang telah ibnu lail katakan untuk orang yang keluar di malam hari.
Ibnu sabil adalah orang asing, bukan orang yang di negerinya atau di rumahnya, walaupun maksud dan tujuannya sudah selesai.

Dasar Hukum dan Hikmah

Lafadz ibnu sabil dalam Al-Quran tercantum 8 kali sebagai posisi ihsan kepada musafir, dan juga sebagai kelompok yang memiliki hak untuk menerima pemberian sedekah. Di antaranya terdapat dalam surah makkiah ( al-Isra’:26, dan ar-Rum: 38) dan surah madaniah ( al-Baqoroh: 177 dan 215, an-Nisa’:36, al-Anfal:41, Al- hasr:57, dan at-Taubah:60).
Tercantum sebanyak 8 kali tak lain sebagai bentuk perhatian besar Allah terhadap ibnu sabil. Sehingga pada waktu itu juga, Islam menganjurkan kepada kita untuk melakukan perjalanan sebagaiaman yang musafir lakukan , yang mana anjuran tersebut terdiri dari beberapa hal:
1. Berpergian untuk mencari nafkah (pendapatan), sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al- Mulk ayat 15
Maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah dari rezekinya”.
2. Berpergian dalam rangka untuk mencari ilmu dan melihat tanda kekuasaan Allah di muka bumi, penjelasan ini sebagaimana firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat 20 “ Katakanlah, berpejalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya” .
3. Berpergian atau perjalanan dalam rangka melakukan jihad fisabilillah untuk mengamankan dakwah dan membela umat Islam, sebagaiamana yang difirmankan Allah dalam surah at-Taubah ayat 41 ”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan atau berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebik baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
4. Berpergian untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji, sebagaiaman yang sudah tercantum dalam surah al-Imron ayat 97 “Barang siapa memasukinya (baitullah) menjadi amanlah dia: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”.
Adanya anjuran melakukan perjalanan adalah untuk merealisasikan target-target yang mulia di antaranya untuk memperkokoh Islam. Dan al-Quran sangat memberi perhatian terhadap orang-orang yang melakukan perjalanan khususnya bagi orang yang kehabisan bekal. Oleh karena itu, Allah memerintahkan umat islam untuk menolong ibnu sabil dengan cara memberikan zakat mal kepadanya.

Kriteria Ibnu Sabil

Para ulama’ menetapkan bahwa ibnu sabil berhak menerima zakat dengan beberapa kriteria, di antaranya:
1. Orang yang memerlukan bantuan agar bisa kembali ke tempat asal (kampung halamannya). Beda halnya jika musafir masih mempunyai biaya untuk kembali, maka tidak wajib untuk mendapat zakat.
2. Bukan perjalanan yang maksiat, seperti: melakukan jihad, mencari ilmu, berdagang dan lain-lainnya. Namun jika tujuannya untuk melakukan bisnis illegal, membunuh maka tidak boleh menerima zakat, karena tujuan memberikan zakat adalah untuk membantu target perjalanannya.
Sementara itu safar yang bukan maksiat itu terbagi menjadi tiga:
a). Safar tho’at (berpergian untuk ketaatan) contoh: melakukan perjalanan semisal haji, jihad, mencari ilmu dan melakukan ziarah yang telah menjadi sunnah.
b). Safar duniawi adalah melakukan perjalanan untuk perkara dunia saja. Contoh: perjalanan untuk berbisnis dan lain-lainnya. Dimana mereka diberi zakat jika sudah kehabisan bekal di perjalanan.
c). Safar nuzhah atau furjah (tamasya atau untuk show up). Mengenai safar ini ulama berbeda pendapat, antara lain:
Menurut sebagian ulama’ bahwa orang yang melakukan safar tersebut ketika kehabisan bekal wajib untuk mendapat zakat.
Menurut imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab tidak membolehkan untuk mendapat zakat karena perjalanan yang ia lakukan tidak ada kepentingan apapun.

Ketentuan Ulama dalam Memberi Pinjaman

Ketika tidak menemukan orang atau pihak yang membantu untuk memberi pinjaman hutang, dimana musafir ini tidak mempunyai biaya yang cukup untuk melunasi hutangnya. Ketentuan ini adalah syarat yang sebagian ulama Malikiah dan Syafi’iyah sepakati. Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak perlu syarat tersebut, di antara ulama’ yang mengatakan:
1). Hanafiyah, hanya mendapat sesuai kebutuhannya
2). Ibnu Arobi dan Qurtubi, dalam tafsirnya mengatakan bahwa orang yang melakukan perjalanan dan ketika dipertengah perjalanannya mengalami kehabisan bekal maka ia berhak untuk mendapat zakat sekalipun ada orang yang memberi pinjaman hutang kepadanya.
3). Menurut imam Nawawi bahwa orang yang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal di pertengahan jalan boleh mendapat zakat dan tidak wajib untuk memberi pinjaman hutang kepadanya.