dakwah

Majalahnabawi.com – Tulisan ini terinspirasi dari pengajian rutinan kami dalam mengkaji kitab al-Khoridah al-Bahiyyah. Kitab yang dikarang oleh Syekh Ahmad ad-Dardir (w. 1201 H) seorang ulama mazhab Maliki yang hidup dan mengembangkan ilmunya di Mesir. Kitab yang membahas ilmu-ilmu tauhid dan dikemas dalam bentuk nadzom, totalnya yaitu 64 bait. Kitab tauhid yang cukup populer dipelajari dan diajarkan di seluruh pondok pesantren di Indonesia.

Sebagai salah satu kitab tauhid dasar, materi yang diangkat dalam kitab ini relatif mudah untuk dipahami oleh seorang santri. Namun, ada beberapa bait dalam karangan ini yang sekiranya untuk dibaca berulang kali.

Salah satu bait yang menarik dalam karangan ini yang kiranya perlu dibahas adalah sebagai berikut:

إرسالهم تفضل ورحمة # للعالمين جلّ مؤلي النعمة

Jika ditarik maksud Syekh ad-Dardir, sepertinya beliau hendak menyampaikan, bahwa para nabi itu diutus tidak lain adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dilihat dari sisi makna, kalimat di atas serasi dengan firman-firman Allah, salah satunya  kandungan QS. al-Bayyinah ayat 107:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”

Sekilas tidak ada yang aneh dalam bait di atas. Para nabi dan rasul diutus oleh Allah SWT memang bertugas untuk menyampaikan dakwah dan wahyu dari-Nya. Berisi tentang iman kepada Allah (an-Nisa: 136). Sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang khalifah (al-Baqarah: 30). Wahyu yang menjadi tolak ukur dalam melakukan kebaikan (al-Ahzab: 21). Sebagai kabar gembira sekaligus ancaman bagi manusia (al-Anam: 48).

Namun ada pertanyaan yang menarik dari pengajian kami pagi itu. “Mengapa masih ada manusia yang melakukan kemaksiatan dari zaman ke zaman? Padahal setiap zamannya Allah telah menitipkan utusannya kepada manusia. Apakah Allah benar-benar telah mengutus Para Rasul yang tepat?”

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin tidak terlihat titik kesalahannya. Padahal sebenarnya telah melemahkan dan meragukan posisi nabi dan rasul sebagai pembawa risalah ketuhanan. Namun bagaimanapun, tidak menutup kemungkinan bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini ada di benak masyarakat awam. Dilema memang, tapi harus dihadapi dan dijawab.

Dari hasil diskusi kami saat itu, setidaknya terdapat dua jawaban yang kami sepakati dari pertanyaan di atas. Dua faktor ini yang selalu menjerumuskan manusia dalam keburukan.

Dua Faktor Utama

Pertama, manusia adalah satu-satunya makhluk yang tercipta dengan dibekali akal dan nafsu, nafsu inilah yang selalu membuat manusia terkecoh dalam melakukan aktivitasnya. Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, nafsu manusia terbagi ke dalam tujuh tingkatan dikenal dengan istilah Maratib al-Nafs, antara lain adalah Nafsu Ammarah, Nafsu Lawwamah, Nafsu Mulhamah, Nafsu Mutmainnah, Nafsu Radhiyah, Nafsu Mardhiyyah dan Nafsu Kamilah.

Nafsu Ammarah dan Nafsu Lawwamah yang sangat berperan menjerumuskan manusia dalam kesesatan. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan kedua nafsu ini adalah bentuk jihad yang paling besar, seperti dalam sabda Rasulullah Saw:

أفضلُ المؤمنينَ إسلامًا من سَلِمَ المسلمونَ من لسانِه و يدِه ، وأفضلُ المؤمنينَ إيمانًا أحسنُهم خُلقًا ؛ وأفضلُ المهاجرين من هجر ما نهى اللهُ تعالى عنه ، و أفضلُ الجهادِ من جاهد نفسَه في ذاتِ اللهِ عزَّ و جلَّ

Mukmin yang paling utama keislamannya adalah umat Islam selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Mukmin paling utama keimanannya adalah yang paling baik perilakunya. Muhajirin paling utama adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. Jihad paling utama adalah jihad melawan nafsu sendiri karena Allah” (at-Tirmidzi)

Dalam kitab al-Kasyif ‘an Haqaiq as-Sunan Syarh Misykat al-Mashabih, at-Thaibi mengomentari hadis di atas,

يعنى المجاهد ليس من قاتل الكفار فقط، بل المجاهد من حارب نفسه وحملها وأكرهها على طاعة الله تعالى؛ لأن نفس الرجل أشد عداوة معه من الكفار؛ لأن الكفار أبعد منه، ولا يتفق التلاحق والتقابل معهم إلا حينا بعد حين، وأما نفسه فأبدا تلازمه، وتمنعه من الخير والطاعة، ولا شك أن القتال مع العدو الذي يلازم الرجل أهم من القتال مع العدو الذي هو بغيد منه،

Mujahid bukanlah orang yang berperang dengan orang-orang musuh orang kafir saja. Tetapi, mujahid yang sejati adalah orang yang memerangi nafsunya, mendorongnya dan memaksanya agar taat kepada Allah. Hal itu karena nafsu seseorang adalah musuh yang lebih kuat dibanding kaum kafir yang memusuhi. Karena, orang kafir yang memusuhi berada pada posisi yang jauh. Tidak akan bertemu dan berhadapan dengan mereka kecuali jika ada kondisi tertentu (perang). Sedang nafsu seseorang, maka ia akan selamanya bertemu dengannya, nafsu akan menghalangi orang melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Tidak diragukan lagi, berperang dengan musuh dekat lebih utama dibanding berperang dengan musuh jauh.”

Kedua, faktor yang mempengaruhi manusia selalu terjerumus dalam perilaku buruk adalah bisikan setan. Janji setan yang akan menyesatkan manusia diabadikan oleh Allah Swt. salah satunya dalam QS. as-Sad ayat 82,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ

“(Iblis) menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”

Janji setan ini bukan sekedar janji biasa, buktinya, para rasul yang telah diutus oleh Allah tak menjamin akan lurusnya sifat seluruh umat manusia. Kemampuan iblis dalam menghasut manusia sangat luar biasa mulai dari hasutan dari berbagai arah (al-Araf: 16-17). Membisikkan kejahatan menjadi perbuatan yang indah (al-Hijr: 39-40). Menakut-nakuti kemiskinan (al-Baqarah: 268). Hingga menjadi pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman (al-Araf: 20)

Menyadari kedua faktor di atas adalah salah satu tameng yang menyelamatkan manusia dalam kesesatan. Sedangkan mengkaji Alquran dan Hadis adalah senjata untuk melawannya. Tidak ada manusia yang luput dari hawa nafsu dan bisikan setan. Keduanya – nafsu dan godaan setan – tidak bisa lepas dari perjalanan dan peradaban manusia. Apakah kita bisa menghilangkan keduanya? Jawabannya, tidak. Tugas kita hanya mengendalikannya. Maka bersyukurlah umat muslim yang mempunyai Alquran dan Hadis sebagai sebuah legal standing dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

By Fahrul Fahran

Membaca dan menulis merupakan pembeda antara manusia dengan hewan