Majalahnabawi.comDalam menafsirkan al-Quran hendaknya para mufassir perlu merujuk kepada sumber yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama.

Tafsir merupakan hasil ijtihad manusia dalam memahami makna-makna yang tertulis dalam al-Quran. Sehingga tafsir merupakan hal yang profan, bukan sesuatu yang sakral dan absolut.

Seperti perbedaan ulama dalam menafsirkan ayat tertentu merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari. Penafsiran yang bermacam-macam itu tetap dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang telah menjadi konsensus ulama.

Namun dalam menafsirkan al-Quran hendaknya para mufassir perlu merujuk kepada sumber-sumber yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama. Hal ini sebagai upaya kehati-hatian dalam mengungkap makna firman-firman Allah.

Pendek kata, tulisan ini tidak akan membahas mengenai perhelatan yang terjadi di dunia modern saat ini, misalnya tentang menjadikan buku-buku Barat sebagai sumber dalam menafsirkan al-Quran. Akan tetapi lebih memfokuskan pada konsep hirarkis yang telah dibangun oleh ulama klasik dalam menafsirkan al-Quran.

Pengertian Tafsir al-Quran

Sebelum lebih jauh membahas sumber penafsiran al-Quran. Saya ingin lebih dulu mendudukan pembahasan ini dengan memulai dari pengertian tafsir itu sendiri. Guna menyatukan persepsi mengenai apa yang nantinya kita bahas di sub-bab selanjutnya.  

Secara etimologi ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna tafsir. Misalnya dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumi al-Tafsir dijelaskan bahwa tafsir adalah penjelasan (al-Tabyin). Adapun dalam kitab Mabahits karya Mana’ al-Qathan Tafsir diartikan sebagai pengungkapan suatu makna (al-Ibanah, al-Kasf, wa Izhar al-Ma’na).

Namun dari kedua perbedaan tersebut, kiranya pendapat yang diutarakan oleh Prof. Quraish Shihab dapat mencakup kedua makna di atas. Bahwa tafsir ialah penjelasan atau penampakan makna. Terdiri dari tasinra mengandung makna “keterbukaan dan kejelasan”. Tafsir berasal dari kata فسر yang bermakna “kesunguhan membuka” atau “mengulang melakukan upaya membuka”.

Sedangkan secara terminologi adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. {baca: Kaidah Tafsir, hal 9}.

Perilaku menafsirkan al-Quran tidaklah mudah. Seorang mufassir di antaranya perlu untuk berhati-hati dalam menafsirkan firman-Nya, agar penafsiran tersebut tidak jauh dari makna yang sebenarnya. Demikian para mufassir sangat disarankan untuk melihat sumber-sumber tafsir yang nantinya akan membimbing mereka dalam mengungkap makna di balik firman-Nya.

Berikut ini 4 sumber tafsir yang dapat dijadikan rujukan bagi para mufassir.

Sumber-sumber Tafsir

Para ulama telah memberikan tuntunan kepada masyarakat ketika hendak menafsirkan firman-firman Allah. Setidaknya ada empat sumber yang menjadi rujukan bagi para mufassir dalam mengungkap firman-firman-Nya.

Pertama ialah al-Quran. kedudukan al-Quran sebagai rujukan tafsir menempati puncak teratas, karena dianggap sebagai sumber yang paling baik dan afsah. Ini juga merupakan hal yang wajar dan logis, sebab tidaklah orang yang berkata (al-Qa’il) itu lebih mengetahui makna dari perkataannya sendiri (al-Ma’qul) dari pada orang lain.

Adapun contohnya ada dalam surat al-Fatihah ayat 4 yang menurut ulama ditafsirkan dengan surat al-Infitar ayat 15-19. Dalam penafsiran tersebut dijelaskan bahwa Allah adalah raja pada hari akhir, tidak ada seseorang pun yang memiliki kuasa dikarenakan seluruh urusan ada di tangannya.

Kedua ialah Sunnah. Meskipun al-Quran menempati puncak pertama sebagai rujukan tafsir, hanya saja tidak semua ayat dapat ditafsirkan dengan ayat al-Quran itu sendiri. Dengan demikian perlu mencari penjelasannya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi. Hal ini tentu logis, dikarenakan sunnah merupakan eksponen faktual dari Nabi yang secara langsung berdialektika dengan al-Quran.

Penjelasan ini diperkuat oleh firman-Nya dalam surat al-Nahl ayat 44.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنُ لِلنَّاسِ مَا نَزَّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

dan kami turunkan al-Dzikra (al-Quran) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”

Contohnya ayat yang memerintahkan manusia untuk mendirikan salat. Ayat tersebut ditafsirkan dengan hadis Nabi yang berbunyi “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat” {HR. Bukhari}.

Perkataan Sahabat Terkait Tafsir

Ketiga Qoul Sahabat (perkataan sahabat). Ketika sebuah ayat tidak ditemukan tafsirnya dalam ayat yang lain atau tidak terdapat dalam sunnah nabi. Maka perkataan sahabat dapat menjadi sumber yang ketiga dalam menafsirkan al-Quran.

Ini berdasarkan kedekatan sahabat dengan Nabi. Mereka termasuk orang-orang yang ahli dalam bidang bahasa dan sastra, serta menjadi saksi langsung atas asbabun al-Nuzul dari ayat al-Quran. sehingga para sahabat termasuk orang-orang yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Quran.

Misalnya ketika menafriskan surat an-Nisa ayat 42  (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ)bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Salah satu pendapat tersebut menyebutkan bahwa hal itu merupakan kinayah dari jima. Ibnu Kasir menjelaskan bahwa riwayat ini berasal dari Ibnu Abbas.

Adapun sumber yang terakhir ini masih menjadi perdebatan, yakni Isra’iliyyat. Maksud Israiliyyat di sini bukan dimaksudkan terhadap periwayatan anak-anak Nabi Ya’qub. Melainkan orang-orang yang berasal dari agama Nasrani dan Yahudi.

Sedikit banyak al-Quran menceritakan tentang kisah-kisah orang-orang terdahulu. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang dijelaskan dalam surat al-Kahfi. Namun al-Quran tidak memberikan cerita tersebut secara spesifik, dikarenakan al-Quran lebih memfokuskan kepada hikmah dari certia tersebut, agar manusia setelahnya dapat mengambil pelajaran yang baik.

Namun bagi orang-orang yang mengetahui secara spesifik cerita tersebut, semua itu didapatkan dari taurat dan injil. Seperti sebagian ulama menjelaskan bahwa nama anjing ashabul Kahfi adalah Qitmir. Ini salah satu kisah yang termasuk boleh diriwayatkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Demikian beberapa macam sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam menafsirkan al-Quran. Semua pembagian ini dapat dilihat dalam kitab al-Manar fi Ulumi al-Quran hal 228-249.