Majalahnabawi.comHendaknya semangat berqurban juga dapat kita jadikan sebagai motivasi untuk menghilangkan segala bentuk kemungkaran yang ada di sekitar kita.

Sejak fajar menyingsing di pagi hari ini, sampai terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah nanti, atau yang dinamakan hari-hari tasyriq, selama 4 hari berturut-turut, kita berada dalam suasana Iduladha. Hari raya terbesar bagi umat Islam. Ucapan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil kepada Allah dikumandangkan oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia dengan penuh hikmat dan penghayatan atas kebesaran Allah, Tuhan pencipta, pemelihara dan pembimbing manusia.

Pada pagi hari ini, 10 Dzulhijjah 1434 H, kita bersama-sama berkumpul di tempat yang mulia ini tidak lain kecuali untuk memenuhi perintah Allah menjalankan salat Iduladha dengan berjamaah, dan juga pada tanggal 9 Dzulhijjah kemarin kita dianjurkan melaksanakan perintah puasa sunnah “Arofah” yang mempunyai fadhilah dan keutamaan yang besar bagi siapa saja yang melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Artinya: “Puasa hari arafah akan menghapus dosa dua tahun, yaitu dosa satu tahun yang telah lalu dan yang akan datang.“ (HR. Muslim).

Pada hari ini, jutaan saudara-saudara kita dari penjuru dunia sedang menunaikan ibadah haji, dengan niat dan tujuan yang sama yaitu untuk memenuhi panggilan Allah yakni Berhaji. Diantara mereka ada para auliya, orang-orang yang ikhlas dan orang-orang mulia lainnya. Ada diantara mereka, bukanlah orang yang berkecukupan, tetapi karena niat mereka yang sangat kuat, dengan cara hidup yang hemat, mereka menabung sedikit demi sedikit, di balik keterbatasan hidup yang harus dihadapinya, semata-mata untuk menyambut panggilan Allah, Labbaika Allahumma Labbaik, semata-mata ingin menjadi dhuyufullah, dhuyufur Rahman ( tamu-tamu Allah). Kita doakan mudah-mudahan Allah Swt menjadikannya sebagai: Hajjan Mabruran, Sa’yan Masykuran, Dzanban Maghfuran dan Tijarotan lan Tabur, Allahumma amin.

Haji: Simbolisasi Perjalanan Menuju Allah

Prosesi ibadah haji itu merupakan “simbolisasi “ perjalanan menuju Allah Swt. Dengan keikhlasan sebagai landasannya (semata-mata karena Allah), bersemangat dalam berikhtiar dan optimisme sebagai budayanya (sebagai konsekuensi dari prinsip tauhid), membangun untuk meraih kehasanahan (kejayaan) masa kekinian (al-dunya) dan kenantian (al-akhirat) serta terbebasnya dari kepedihan api neraka (kesulitan, kerumitan dan kepedihan hidup) sebagai cita dan tujuannya (QS. al-Baqarah (2) : 201). Itulah yang terungkap dalam salah satu doa thawaf.

Ibadah haji adalah ibadah yang penuh dengan pergerakan, sangat dinamis dalam dimensi posisi (ruang) dan waktu. Memang itulah perjalanan hidup, selalu bergerak dalam dimensi ruang dan waktu, yang dalam pergerakannya tersebut berujung (kembali) kepada Allah (QS. al-Baqarah (2) : 156, Al-Anbiyaa (21) : 93), yang tidak hanya diungkapkan pada saat mengalami musibah, tetapi sebagai pengingat bahwa apapun yang kita lakukan muaranya adalah ketertundukan dan kepatuhan kepada yang maha kuasa dengan penuh keridhaan atau dengan keterpaksaan (QS. Ali Imran (3) : 83, al-Ra’d (13) : 15). Pergerakan tersebut bukan dilakukan ‘sendirian’, akan tetapi setiap orang melakukannya, sehingga terjadi pergumulan, kompetensi dan interaksi antar jamaah. Semangat ta’awun (saling membantu) dan ego sentris seringkali berbenturan dalam prosesi haji tersebut dan itu fakta kehidupan.

Semoga segala amal ibadah yang telah kita laksanakan, terutama salat Id yang baru saja selesai kita laksanakan diterima di sisi Allah, dan mampu memberikan kesan yang mendalam untuk ketentraman jiwa dan kekuatan iman sebagai bekal untuk menempuh segala macam perjuangan hidup demi kejayaan agama, nusa dan bangsa.

Mendekatkan Diri kepada Allah dengan Berkurban

Beberapa saat setelah salat Iduladha ini, sampai tiga hari berikutnya, adalah merupakan saat kita diperintahkan menyembelih hewan kurban, yang dagingnya terutama akan dibagikan kepada kaum fakir miskin yang kurang mampu.

Kegiatan qurban seperti ini, selain bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, juga dimaksudkan untuk semakin meningkatkan kepekaan kita kepada sesama terutama bagi saudara-saudara kita yang berada pada posisi ekonomi yang tidak menguntungkan.

Kita menyembelih hewan qurban merupakan upaya untuk meneladani sunnah bapak kita, Nabi Ibrahim AS. Di mana Nabi Ibrahim telah menerima wahyu dari Allah untuk menyembelih anaknya semata wayang dan anak yang telah lama dirindukan kelahirannya.

Tetapi Allah Maha Adil dan maha kuasa, keteguhan iman dan kerelaan berqurban kedua hamba dan kekasih Allah tersebut dibalas oleh Allah dengan menyelamatkan Ismail dari ancaman maut dan digantikannya dengan seekor kambing sembelihan. Dan dari peristiwa itulah hingga saat ini kita diperintahkan menyembelih qurban terutama bagi yang mampu. Allah Swt dalam surat al-Kautsar (108) berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat dan berqurbanlah karena Tuhanmu. Sesungguhnya orangorang yang membenci kamu dialah yang terputus “. (QS. al–Kautsar (108) : 1 – 3).

Di samping itu Rasulullah Saw bersabda

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا (رواه ابن ماجه وأحمد)

Artinya: “Siapa saja yang memiliki kemampuan tetapi ia tidak mau berqurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat salat kami“. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Hadis di atas menunjukkan betapa beratnya ancaman bagi orang yang mampu tapi tidak mau berqurban. Oleh karena itu, marilah kita gunakan kesempatan yang baik ini bagi kita yang mampu agar melaksanakan ibadah qurban.

Ingatlah hidup pasti akan berakhir. Harta kekayaan yang kita miliki pasti akan kita tinggalkan begitu saja, kecuali pahala amal kebajikan sajalah yang akan terus mengikuti kita hingga ke alam baqa‘.

Alangkah baiknya sekiranya umur yang masih tersisa ini, kita gunakan untuk mengumpulkan bekal kelak di akhirat, yakni dengan amal-amal kebajikan, termasuk diantaranya adalah qurban.

Pengutusan Nabi dengan Prinsip Ketauhidan

Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk mengajarkan tentang prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan kehidupan. Para Nabi dan Rasul tersebut tidak hanya mengajarkan tentang risalah kenabian, tetapi sekaligus sebagai model referensi, membangun tradisi profetik yang dapat dijadikan sebagai kecontohan teladan bagi kita semua dalam membangun bangsa dan Negara. Allah berfirman:
Artinya:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf (12) : 111).

Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu’jizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil. (QS. al-Mu’min (40) : 78).

Keteladanan Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim telah memberikan kecontoh teladanan paling tidak tentang:

1. Pentingnya pengenalan hujjah (pendekatan-alasan rasional) di dalam proses mencari kebenaran, namun akhirnya harus ditutup dengan kepatuhan dan ketundukan secara total (QS. al-An’am (6) : 76-83). Ketertundukan itu buka berarti hilangnya nasionalitas menjadi irasional, tetapi di balik rasionalitas ada transrasional.

2. Pentingnya membangun dalam skala dzurriyat (generasi bergenerasi), dengan pendekatan yang berbasis pada tiga hal: tilawah, ta’lim dan tazkiyah sebagaimana yang diungkapkan dalam doa Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail (QS. al-Baqarah (2) : 129). Doa tersebut dikabulkan Allah Swt kemudian dengan mengutus Rasulullah Muhammad Saw dengan empat pendekatan yaitu: tilawah, tazkiyah, ta’lim dan mengajarkan keilmuan dalam perspektif ke depan (mengajarkan apa yang belum kita ketahui) (QS. al-Baqarah (2) : 151). Empat pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang utuh (comprehensive) untuk menjawab kompleksitas persoalan yang dihadapi umat manusia dan sekaligus dapat dijadikan sebagai landasan dalam membangun, mengembangkan dunia pendidikan kita.

3. Pentingnya menanamkan kepada diri dan generasi penerus untuk senantiasa menegakkan salat (QS. Ibrahim (14) : 37, 40). Di samping Nabi Ibrahim AS, ada pula sosok Nabi Ayyub AS telah memberikan contoh keteladanan dalam bidang kesabaran (QS. al-Anbiyaa (21) : 83), Nabi Sulaiman AS telah memberikan contoh keteladanan dalam bidang kesyukuran (QS. al-Naml (27) : 19). Dan puncak kecontoh teladanan itu adalah khotamul anbiya’ wal mursalin, nabiyyuna wahabibuna Muhammad Saw.

Hal Penting dalam Membangun Kecontoh Teladanan

Dalam membangun budaya kecontoh-teladanan, diperlukan beberapa hal, antara lain:

  1. Menumbuhkan Budaya Kepeloporan: al-ta’sisu aula min al-ta’kid (Merintis itu lebih utama darapada menguatkannya). Prinsip ini sejalan dengan Hadis Rasul Saw: “Barangsiapa mentradisikan tradisi kebaikan (al-sunnah al-hasanah) maka baginya pahala karena telah melakukan kebaikan dan pahala dari orang-orang yang  mencontohnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melanjutkan. Dan barangsiapa mentradisikan tradisi keburukan (al-sunnah al-sayyiah) baginya menerima dosa-dosa orang yang telah mencontoh perbuatannya tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mencontohnya.” (HR. Muslim).
  2. Membangun Budaya Istikamah: kecontoh teladanan bukanlah muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses penanaman, pemupukan dan perawatan sifat-sifat mahmudah (terpuji). Selama proses tersebut seringkali menghadapi cobaan, hinaan dan ancaman. Dengan sikap istiqomah (konsisten) semuanya justru memperkuat dan memperkokoh kepribadiannya. Tidak takut terhadap hinaan orang yang suka menghina-mengcela [QS. al-Maidah (5) : 54]. Tentu yang harus dikembangkan adalah konsistensi yang memiliki landasan keilmuan dan kebenaran. Bukan konsistensi dalam ketidaktahuan yang akan melahirkan sikap fanatisme buta.
  3. Menumbuhkan Budaya Konstruktif Aplikatif: budaya yang selalu ingin memberikan kemanfaatan, kemaslahatan dan saling menyempurnakan. Dengan budaya konstruktif ini, interaksi diantara kita akan membentuk positive sum game, sehingga membentuk akumulasi kemanfaatan, kebaikan dan kemaslahatan yang berujung pada semakin bertambahnya kemampuan kita untuk memberikan ‘kerahmatan’ bagi alam semesta [QS. al-Anbiyaa (21) : 107]. Budaya konstruktif akan semakin subur, kalau masyarakat terbiasa, tidak enggan untuk memberikan apresiasi terhadap siapapun yang berprestasi dan tumbuh empati bukan sekadar simpati kepada siapapun yang sedang menghadapi persoalan. Sebaliknya, kalau budaya destruktif yang dikembangkan, maka aktivitas yang berkembang di masyarakat akan saling meniadakan, melemahkan bahkan bisa jadi saling memusnahkan dan punahlah generasi penerus kita. Yang terjadi adalah zero sum game, bahkan negative sum game [QS. al-Maidah (5) : 2].
  4. Budaya Pengorbanan: yaitu budaya kesediaan diri untuk melepaskan kepemilikan, keinginan yang dicitakan atau apa saja yang dianggap berharga bagi dirinya untuk kepentingan yang lebih besar. Pengorbanan bukanlah pelepasan kepemilikan dalam kesia-siaan, tetapi sekali lagi pengorbanan harus kita terjemahkan sebagai bagian dari investasi untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam setiap pengorbanan ada godaan, dan untuk menghindari godaan tersebut seseorang biasanya mencari justifikasi (pembenaran) agar tidak melakukan pengorbanan tersebut. Kisah perintah untuk mengorbankan Nabi Ismail as memberikan pelajaran yang sangat berharga. Bisa dibayangkan betapa berharganya Nabi Ismail as bagi sang ayah Nabi Ibrahim as. Betapa tidak, Nabi Ismail as adalah anak yang sangat diharapkan kelahirannya, setelah sekian lama Nabi Ibrahim as belum dikaruniai putera, padahal usianya semakin lanjut. Pada usia yang sudah sangat lanjut itulah Allah memberikan karunia seorang putera yaitu Nabi Ismail AS.

Dalam konteks kekinian, ‘Ismail’ kita adalah bisa jadi berupa: deposito, pangkat, jabatan dan segala sesuatu yang kita anggap penting, berharga dan kita cintai. Sanggupkah kita mengorbankan sebagian dari itu semua untuk kepentingan yang lebih besar, dengan memohon petunjuk dan kekuatan dari Allah SWT, Insya Allah kita rela mengorbankan sebagian yang kita anggap penting, berharga dan kita cintai itu. [QS. Alu ‘Imran (3) : 92]. Ujung dari pengorbanan itu adalah kepatuhan dan ketundukan kepada Allah SWT. Dan Allah sendirilah yang akan menentukan penggantinya sebagai konsekuensi dari pengorbanan yang telah kita lakukan. [QS. al-Shaaffat (37) : 107-109].

Hikmah Berqurban

Oleh karena itu, Iduladha 1434 H merupakan saat yang tepat untuk melakukan perubahan atas pribadi kita masing-masing. Untuk itu penting kiranya, di hari yang berbahagia ini, kita mengambil pelajaran dari hikmah di balik ibadah qurban yang kita peringati saat ini dengan cara:

Pertama, hendaknya ibadah qurban yang kita lakukan dapat dijadikan sebagai lambang untuk menyembelih atau melenyapkan segala bentuk sifat-sifat kebinatangan yang mungkin ada pada diri kita seperti sifat tidak mengenal halal dan haram, sombong, dengki, iri hati, serakah, rakus, riya’ atau suka pamer dan ingin menang sendiri. Insya Allah dengan hilangnya sifat-sifat tersebut kita akan terbebas dari perbuatan maksiat, baik yang merugikan diri sendri dan maupun orang lain.

Kedua, hendaknya semangat berqurban juga dapat kita jadikan sebagai motivasi untuk menghilangkan segala bentuk kemungkaran yang ada di sekeliling kita, baik kemungkaran yang mengarah kepada kemaksiatan seperti korupsi, pornografi, perjudian, minum-minuman dan pelacuran atau bahkan kemungkaran yang berpotensi menggerogoti keimanan kita kepada Allah Swt.

Ketiga, yang bisa kita ambil dari ibadah qurban adalah meskipun perintah untuk menyembelih hewan qurban memang hanya sekali dalam satu tahun, dan itu hanya ditujukan kepada yang mampu. Akan tetapi memiliki sifat, semangat dan kemauan untuk berqurban hendaknya tetap ada pada diri kita setiap saat. Oleh karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sifat, semangat dan kemauan berqurban patut pula untuk diwujudkan dan dilestarikan, yaitu diantaranya dalam bentuk kerelaan mengorbankan kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kepentingan suku, golongan, organisasi maupun partai untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa. Dan tidak sebailknya, seperti yang banyak terjadi sekarang ini, yaitu mengurbankan agama, nusa bangsa untuk kepentingan pribadi, keluarga, suku, golongan, organisasi maupun partai.

Tanpa adanya kesediaan dan kerelaan untuk berqurban jangan harap masyarakat yang adil dan makmur gemah ripah loh jinawi di bumi kita tercinta Indonesia ini akan segera terwujud, bahkan tanpa kesediaan untuk berqurban jangan pula diharapkan krisis dalam berbagai bidang kehidupan akan segera berakhir.

Nilai Keadilan Sosial dalam Ibadah Haji

Hari ini, di saat kita sedang berbahagia, di samping kita mengenang kembali dan bertekad meneladani sunnah Nabi Ibrahim as berupa ajaran qurban, kita pun teringat bahwa kaum muslimin yang memiliki istitho’ah (kemampuan), saudara-saudara kita dari seluruh penjuru dunia, yang kurang lebih berjumlah 3 juta orang, tengah berada di tanah suci, menunaikan ibadah haji. Pada tanggal 9 Dzulhijjah kemarin, mereka semua berkumpul di padang arafah, dengan pakaian serba putih yang melambangkan bahwa manusia dihadapan pencipta-Nya adalah sama. Dan yang membedakan diantara mereka adalah kualitas ketaqwaannya masing-masing, sebagaimana halnya kita di sini.

Mereka sama-sama datang ke Tanah suci untuk memenuhi panggilan Allah maha Pencipta, seraya mereka mengucapkan kalimat talbiyah dengan penuh semangat dan penghayatan. Di samping kalimat takbir, tahmid dan tasbih gemuruh menguak angkasa di mana-mana.
Mungkin sengatan terik matahari di siang hari tidak mereka hiraukan, dinginnya udara di malam hari mereka hadapi dengan ketabahan dan kerinduan pada kampung halaman mereka tahan-tahan. Semua itu mereka lakukan dengan hanya berpegang teguh pada satu tujuan mulia: mengharapkan rida dan ampunan Allah Swt, yang telah memanggil mereka datang kesana.

Oleh Karena itu, patutlah kiranya kita mendoakan, semoga mereka diberikan ketabahan dan semoga mereka telah benar-benar melaksanakan kewajiban ibadah yang berat namun suci itu dengan sempurna. Kemudian segala pengorbanan, perjuangan serta jerih payah mereka diterima Allah yang maha Rahman dan maha Rahiim. Serta semoga Allah selalu memberikan kekuatan lahir dan batin kepada mereka, sehingga mereka dapat kembali lagi ke tanah air dengan selamat dan memperoleh haji mabrur sebagaimana telah Allah janjikan.

Akhirnya, mudah-mudahan Hari Raya Idul Adha 1434 H dapat menumbuhkan semangat baru Adha bagi kita, semangat berqurban baik berupa harta maupun jiwa kita, semangat dalam menumbuhkan budaya keteladanan dan meningkatkan solidaritas sesama kita dan juga semangat untuk melaksanakan ajaran-ajaran islam secara lebih baik dan lebih bergairah.

Tulisan ini merupakan isi khutbah Iduladha oleh Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al Munawar, Lc., MA., di Masjid Raya Bani Umar Pondok Aren, Tangerang Selatan.