hadis

Majalahnabawi.com – Jum’at 30 Oktober 2020, senang sekali saya bisa mendampingi 12 peserta sekolah hadis. Kesemuanya berasal dari berbagai daerah. Mulai dari Jabodetabek, Aceh, Medan, Palangkaraya, Yogyakarta, hingga Madura. Kebanyakan adalah pengajar dan mahasiswa pascasarjana.

Di antaranya adalah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Antusiasme ini tentunya pertanda baik dan menggembirakan.

Dalam beberapa tahun terakhir, geliat minat masyarakat dan para juru dakwah terhadap hadis semakin meningkat. Meskipun sedikit “berisik” dan terkadang berujung “konflik” pemikiran, fenomena ini perlu disikapi secara elegan dan bijak. Elegan dalam artian, berani menyelami akar permasalahannya. Bijak dalam arti kata, memandang ragam perbedaan dan perdebatan sebagai titik tolak untuk berdialog dan saling belajar.

Dengan penuh harap, perdebatan berujung pada capaian konstruktif-produktif (menjadi berkah dan rahmat), bukan berujung pada ironi dekonstruktif-kontra produktif (menjadi musibah dan kebingungan umat). Lantas dari mana kita memulainya?

Takhrij hadis secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya dan cara untuk mengetahui sumber literatur (referensi) dari sebuah hadis. Dengan mengetahui rujukan primer matan hadis, kita dimungkinkan untuk mengetahui kualitas hadis tersebut, baik dengan mandiri mengkaji kualitas sanad dan matan hadis, atau cukup mengikuti penilaian-penilaian dari pengkaji sebelumnya. Definisi ini sebagaimana dijabarkan oleh Imam al-Munawi (952-1031 H) dalam karyanya yang berjudul “Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir”.

Lebih detail, ulama kontemporer Mesir Dr. Abd al-Muhdi dalam kitabnya yang berjudul “Thuruq Takhrij Hadits” (1980) lantas memetakan definisi takhrij hadis ke dalam tiga arti. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa kecakapan takhrij hadis adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Dengannya, seseorang akan mudah untuk memilah dan menilai kualitas sabda kenabian yang ia amalkan.

Dalam bukunya yang berjudul “Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid” (2005), Dr. Mahmud Thahan menegaskan bahwa takhrij hadis adalah kebutuhan dasar bagi pangkaji Islam.

Hanya saja, dalam konteks masyarakat muslim Indonesia, kajian takhrij hadis masih belum mendapatkan perhatian yang memadai. Bahkan cenderung dihindari. Padahal, secara historis, takhrij hadis sudah jauh-jauh hari dirintis dan dikembangkan oleh ulama. Dalam tataran praksis-aplikatifnya, berjilid-jilid kitab takhrij hadis sudah dianggit oleh banyak ulama dari berbagai madzhab yang berbeda.

Sebagai misal adalah kitab “Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab” karya Imam al-Hazimi (584 H), kitab “Nashb al-Rayah li Ahadits al-Hidayah” karya Imam al-Zaila’i (762 H), kitab “al-Badr al-Munir fi Takhrij al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi’ah fi al-Syarh al-Kabir” karya Imam Ibnu al-Mulaqqin (804 H), kitab al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar” karya Imam al-‘Iraqi (806 H), dan masih banyak lagi.

Secara metodologis, hampir kesemuanya memiliki kekhasan dan kekayaan analisis masing-masing. Tak mengherankan jika, diskursus keilmuan di masa itu sangat bergairah dan bergemuruh.

Perdebatan dan perbedaan pendapat dapat dijadikan sebagai mesiu untuk membangun tradisi keilmuan yang mengagumkan. Semangat keterbukan, tak rendah diri untuk saling belajar, dan tak segan untuk saling mengoreksi adalah salah satu denyut nadinya.

Lantas mungkinkah dan berkenankah kita menghidupkan kembali gairah api intelektual itu? Dengan spirit Maulid, rasanya, bukan sesuatu yang mustahil.

Semoga.

# Catatan Singkat Pengantar Sekolah Hadis Ma’had Darus-Sunnah Ciputat

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences