Merebut Ayat untuk Hajat Sesaat
“….menggunakan agama sebagai alat politik akan “membatasi kedalaman dan kompleksitas pemahaman keagamaan menjadi sekedar ajakan untuk perjuangan politik yang bersifat sementara”. Ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan untuk kepentingan inipun dampaknya menjadi “terbatas” dan kehilangan “kompleksitas”nya. Yang lebih penting lagi, ia akan kehilangan universalitas yang semestinya menjadi agenda utamanya. Dengan mengusung kepentingan politik tertentu, maka karya tafsir yang dianggitnya kehilangan universalitasnya.”
Alî bin Abî Thâlib berujar: “Al-Qur’an adalah mushaf yang tidak berbicara. Manusialah yang mengucapkannya”. M. Quraish Shihab menuliskan, adalah kenyataan bahwa seluruh kelompok yang berpredikat Islam, selalu merujuk pada Al-Qur’an baik ketika menarik ide-ide maupun mempertahankannya. Ini menunjukkan Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi Islam. Karena manusia yang mengucapkannya, maka bunyinya akan sangat tergantung pada latar belakang dan tujuan pengucapnya. Ini tersebab pemikiran seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan sebagainya. Dan inilah konsekuensi logis yang tak terelakkan dari perintah men-tadabbur-i Al-Qur’an.
Untuk itu, benar juga pernyataan bahwa tidak ada penafsiran yang steril kepentingan, apapun kepentingannya. Pada halaman muka buku Membongkar Ideologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Mahîr al-Munajjad menuliskan: “Tak ada tafsir yang murni dan obyektif. Setiap tafsir selalu subyektif dan tak bisa mengelak dari kepentingan penulisnya.” Nashr Hâmid Abû Zayd juga menyatakan, bagaimanapun juga, akhirnya teks cenderung pada ideologi yang memiliki akar-akarnya atau memberikan harapan-harapan bagi perkembangan kebudayaan.
Dan di antara kepentingan pembacaan Al-Qur’an yang menarik untuk diulas, adalah cara baca politis atau political reading of the Qur’an – dalam istilah Stefan Wild disebut political interpretation of the Qur’an dan oleh Tim Gorringe, ketika mengulas perihal pembacaan Injil, secara lebih umum disebut sebagai political reading of scripture. Menurut Tim Gorringe, political reading ini sebentuk a recent invention (temuan baru) yang kaitannya dengan cara pembacaan kitab suci. Dinilai baru, boleh jadi karena belum ditemukan preseden (hal yang sudah terjadi dan dapat menjadi contoh)nya secara masif dalam sejarah klasik pembacaan kitab suci. Pembacaan ini menarik diulas, karena potensial memunculkan terjadinya “penyalahgunaan” atau “pemelintiran” ayat Al-Qur’an, yang dalam istilah Azyumardi Azra disebut abuse of quranic verses.
Pendekatan Politik sebagai Model Pembacaan Al-Qur’an
Mohammed Arkoun menyatakan: “Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka, tidak pernah pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal”. Dan faktanya, Al-Qur’an memang membuka pintu pemaknaan lebar-lebar bagi siapapun yang berkepentingan dengannya. Dari keterbukaan ini, orang yang memiliki hajat tertentu akan mendapatkan manfaat darinya. Tentu saja sesuai kebutuhan yang hendak dicapainya, termasuk hajat politik. Pada posisi inilah para penafsirnya akan mendapat keuntungan dari kerja tafsirnya. Itu pasalnya, Nur Rofiah menuliskan, pendekatan yang digunakan oleh mufassir mempunyai dampak signifikan pada tafsir Al-Qur’an yang akan dihasilkannya. Inilah yang kelak melahirkan problem krusial mengenai the original meaning of the tex sebagaimana dimaksud pengarang.
Apa sesungguhnya maksud pendekatan politik dalam pembacaan Al-Qur’an? Secara sederhana, political reading of the Qur’an bisa dimaknai sebagai memahami, menafsiri, atau menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an atas dasar dan untuk kepentingan politik. Basis kepentingan politik itu bentuknya bisa berupa penafsiran yang mendukung kelompok politik tertentu dan bisa juga pengingkaran terhadap kelompok politik lain yang berseberangan. Pendekatan politik, berarti adalah cara membaca –dalam pengertian memahami– atau memaknai ayat-ayat Al-Qur’an dari dan untuk kepentingan politik. Membaca tidak sekedar mengeja aksara, melainkan melalui perenungan atau penelaahan. M. Quraish Shihab menuliskan, qara’a bisa bermakna membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya.
Pemaknaan seperti ini bisa saja berkembang sesuai kebutuhan zaman, karena dalam sejarah penafsiran atau (lebih luasnya) sejarah awal interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an, hal ini juga sudah terjadi. Jikapun interaksi umat Islam terhadap Al-Qur’an di zaman ini menyeret-nyeret Al-Qur’an ke wilayah politik, termasuk yang terjadi di Indonesia, maka hal itu tidaklah aneh karena ada preseden historisnya, terutama terkait kemundulan sekte Khawârij di zaman kekhalifahan Alî bin Abî Thâlib. Harun Nasution menuliskan: “Agak aneh kiranya kalau dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi.” Dengan ujaran yang menarik, Ahmad Syafii Maarif mengistilahkan peralihan dari politik ke teologi ini sebagai “sengketa teologi berawal dari sengketa politik.” Inilah cikal-bakal “penyeretan” ayat Al-Qur’an untuk hajat politik yang sesaat.