إِنَّ شَهْرَ رَجَبَ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، مَنْ صَامَ مِنْهُ يَوْمًا كَتَبَ اللهُ لَهُ صَوْمَ أَلْفِ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ يَوْمَيْنِ كَتَبَ لَهُ صَوْمَ أَلْفَىْ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ صَوْمَ ثَلَاثَةِ آلَافِ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِقَتْ عَنْهُ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، فَيَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ، وَمَنْ صَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُهُ حَسَنَاتٍ وَنَادَى مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ، فَاسْتَأْنَفَ الْعَمَلُ، وَمَنْ زَادَ زَادَهُ اللهُ.

 “Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barang siapa berpuasa satu hari di dalamnya, Allah mencatat baginya puasa seribu tahun. Siapa berpuasa dua hari, Allah mencatat baginya puasa 2000 tahun. Siapa berpuasa tiga hari, Allah mencatat baginya puasa 3000 tahun. Siapa berpuasa tujuh hari, ditutup pintu neraka jahannam baginya. Siapa berpuasa 8 hari, dibukakan pintu 8 pintu surga baginya, dan ia bebas masuk dari pintu mana saja. Siapa berpuasa 15 hari, keburukan-keburukannya diganti dengan kebaikan-kebaikan, dan Allah mengampuni dosamu yang telah berlalu. Maka mulailah mengerjakannya. Siapa yang menambahnya, Allah juga akan menambahkannya.

Hadis di atas populer di masyarakat. Biasanya, saat akan memasuki bulan Rajab, Hadis ini disampaikan sebagai tausyiah untuk berpuasa Rajab. Bahkan, banyak yang beranggapan bahwa kesunnahan puasa Rajab adalah dengan berlandaskan Hadis di atas, atau Hadis lain yang menyebutkan keutamaan berpuasa di bulan Rajab.

Menurut al-Syaukânî dalam al-Fawâ’id al-Majmû’ah dan Ibn ‘Arrâq al-Kannânî dalam Tanzîh al-Syarî’ah Hadis tersebut diriwayatkan Ibn Syâhîn, namun tidak disebutkan sumbernya.

 

Hadis Palsu

Ibn Hajar al-Asqalânî dalam Tabyîn al-‘Ajâb Bimâ Warada fi Syahr Râjab dengan tegas berkata huwa hadîts maudhû’ la syakka fîhi (Hadis palsu, tidak perlu diragukan lagi). Menurut Ibn Hajar, kepalsuan Hadis tersebut disebabkan seorang rawi bernama Ishâq bin Ibrâhim al-Khuttâlî yang ternyata adalah muttaham (dituduh berdusta). Jauh sebelum itu, Ibn al-Jauzî dalam al-Maudhû’at menyatakan bahwa Hadis tersebut bukan sabda Rasulullah SAW (hadza hadîts lâ yashih an Rasulillah). Namun menurut Ibn al-Jauzî, kepalsuan Hadis tersebut disebabkan rawi bernama Hârûn bin ‘Antarah. Berpedoman kepada pernyataan Ibn Hibbân, Ibn al-Jauzi menyatakan; Hârûn tidak bisa dijadikan pijakan, sebab meriwayatkan banyak Hadis munkar.

Maka dari itu, berpijak pada penjelasan ulama tadi, Ibn ‘Arraq al-Kannani dalam Tanzih al-Syari’ah tanpa ragu menyatakan kepalsuan Hadis tersebut. Begitu pula al-Syaukani dalam al-Fawâ’id al-Majmû’ah dan al-Suyûthî dalam al-La’âli al-Mashnû’ah yang juga dengan tegas berpendapat demikian. Maka tidak perlu diragukan lagi, berdasarkan sikap dan pernyataan ulama tadi, Hadis tersebut adalah palsu.

By Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences