Majalahnabawi.com – Dalam mengajarkan hadis, ada beberapa metode yang para ulama hadis terapkan pada masa awal. Di antaranya ialah, mengajarkan hadis secara lisan, membacakan hadis dari suatu kitab, metode membacakan kitab di hadapan guru, metode soal jawab, metode imla.

Mengajarkan Hadis Secara Lisan

Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad kedua hijriyyah dan berlangsung sampai lama sekali. Sesudah itu, tetapi masih dalam lingkup yang sangat sempit. Para murid pada saat itu tinggal bersama guru-gurunya dalam waktu yang lama, dan dari cara inilah mereka gunakan untuk memperoleh hadis secara lisan dari para gurunya. Sebab mereka lama sekali mendampingi guru-gurunya, akhirnya mereka mendapat sebutan sebagai rawi-rawi (para periwayat) dari guru-gurunya, atau ashab (kawan-kawan) mereka. Sebagai contoh

1). Tsabit bin Aslam al-Bunani; Dalam kitab Tahdzib Al-Tahdzib menerangkan bahwa ia menjadi shahib (kawan) Anas selama empat puluh tahun.

2). Harmalah bin Yahya; Al-Dzahabi menyebutkan bahwa Harmalah adalah periwayat Ibnu Wahab dan Shahib Al-Syafi’i.

Dalam memakai metode pengajaran secara lisan, metode ini juga mengatur penyampaian materi dengan sedemikian rupa, sehingga umumnya para guru tidak mengajarkan hadis terlalu banyak. Abu Qilabah meriwayatkan bahwa, Khalid al-Hadzdza’ berkata, “Kami datang ke rumah Abu Qilabah, ketika beliau sudah mengajari kami tiga hadis”, selanjutnya beliau berkata “Tiga buah hadis itu sudah banyak”. Qatadah juga menuturkan bahwa ia menghafal satu atau dua buah hadis saja. Apabila hadis itu panjang, ia menghafal separuhnya, sedang sisanya ia hafal pada majelis ilmu berikutnya. Selain sedikit dalam mengajarkan hadis secara lisan, para ahli hadis juga membatasi dalam menerima murid. Dalam kitab al-‘Ilm Al-Laits mengatakan bahwa Abu al-‘Aliyah pergi apabila ia didatangi empat murid. Dalam kitab Tahdzib Al-Kamal juga muallif menjelaskan bahwa Al-Harits bin Qais hanya mengajar dua sampai tiga orang murid saja, apabila yang datang lebih banyak maka

Membacakan Hadis dari Suatu Kitab

Menurut Mustafa Azami bentuk pengajaran melalui membacakan hadis dari suatu kitab memiliki tiga macam metode pada masa awal.

Pertama metode guru membacakan kitabnya sendiri, sedangkan murid mendengarkannya, kedua guru membacakan kitab orang lain, sedangkan murid mendengarkannya, ketiga murid membacakan suatu kitab, sedangkan guru mendengarkannya.

Adapun riwayat metode guru membacakan kitabnya sendiri, sedangkan murid mendengarkannya. Pada masa awal ialah, diriwayatkan bahwa Ibnu Al-Madini berkata, “Tidak ada orang yang lebih hafal hadis di antara kami kecuali Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Saya mendengar ia tidak mau mengajarkan hadis kecuali harus membaca dari suatu kitab”.

Kedua ialah metode guru membacakan kitab orang lain, sedangkan murid mendengarkannya. Dalam mengajarkan hadis, ada sebagian guru yang membacakan kitab orang lain. Kitab yang biasanya mereka pakai adalah kitab gurunya sendiri. Abu ‘Awanah dalam riwayatnya menyebutkan bahwa “Ibnu Juraij mengajarkan hadis dari kitab-kitab orang lain”.

Metode ketiga yaitu murid membacakan suatu kitab hadis di hadapan gurunya. Dalam kitab al-‘Ilal mualiif menjelaskan bahwa Abd Al-Razzaq menuturkan Ibnu Al-Mubarak membacakan kitab kepada Ma’mar, dan sebaliknya Ma’mar juga membacakan kitab tersebut kepada Ibnu Al-Mubarak. Selain itu, pada riwayat lain juga menjelaskan Ma’mar membacakan kitab di hdapan Ibnu Syihab Al-Zuhri.

Metode Membacakan Kitab di hadapan Guru

Sejak awal abad kedua hijriyyah, metode membacakan kitab di hadapan guru dikenal sebagai metode al-‘ardh. Metode ini sangat berkembang di kalangan ulama hadis. Para guru pada saat itu tampaknya membagikan naskah-naskah hadis pada muridnya di beberapa kesempatan. Dalam kitab Tarikh al-Islam muallif menjelaskan bahwa Al-Zuhri memberikan satu naskah kitab hadis kepada Sufyan At-Tsauri.

Metode Soal Jawab

Sistem atraf yaitu menuliskan pangkal hadis saja, yang dimana sistem tersebut juga dipakai dalam pengajaran hadis dengan metode soal jawab. Dimana murid membacakan pangkal dari suatu hadis, kemudian gurunya meneruskan hadis itu sehingga menjadi lengkap. Dalam kitab al-‘Ilal muallif menyebutkan bahwa Ibnu Sirin berkata, “Saya bertemu ‘Abidah dengan membawa kitab atraf hadis, lalu kutanyakan hal itu kepadanya”. Adapun riwayat lain, Waki’ berkata, “Ismail bin ‘Ayyasy mengambil sistem atraf milik Isma’il bin Abu Khalid dari saya (Waki’), tetapi saya melihat ia mencampur adukkan dalam mengambilnya”.

Metode Imla

Pada mulanya metode ini kurang mendorong seorang murid untuk belajar hadis, sebab murid bisa saja memperoleh hadis dalam jumlah banyak dalam kurun waktu yang singkat. Dalam memakai metode imla yang paling banyak menggunakannya ialah Al-Zuhri.

Namun, ada sebagian ulama hadis yang tidak suka apabila ada murid yang menulis pada saat memulai majlis ilmu. Hal tersebut merupakan kekhawatiran ulama hadis terhadap kesalahan dalam penulisan hadis.

Ada beberapa murid yang menulis hadis kemudian ia menghapusnya setelah menghafal hadis tersebut. Misalnya seperti Khalid Al-Hadzdza’, Muhammad Ibnu Sirin, Masruq, Hisyam bin Hassan. Sebaliknya ada juga murid yang menhafal hadis terlebih dahulu, kemudian menuliskannya. Misalnya seperti Al-A’masy, Hammad bin Salamah, Khalid, Sufyan Ats-Tsauri, Sulaiman bin Harb, dan lain-lain.

Popularitas Metode Imla

Apabila kita bandingkan dengan metode-metode pengajaran sebelumnya, metode ini tidak populer pada abad kedua, bahkan jarang pula ulama hadis memakainya. Pada awal abad ketiga metode imla sudah mulai populer. Beberapa murid sudah menggunakan metode ini dalam membacakan kitab kepada guru, bahkan penggunaan metode ini sudah menjadi metode yang populer jika kita bandingkan dengan metode-metode lain.

Al-khatib Al-Baghdadi menuturkan bahwa di antara ahli-ahli hadis klasik yang menggunakan metode imla ialah Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yazid bin Harun Al-Wasiti, ‘Ashim bin ‘Ali bin ‘Ashim Al-Tamimi, dan ‘Amr bin Marzuq Al-Bahili.