Keberhasilan seseorang tidak terlepas dari dorongan, usaha dan doa kedua orangtuanya. Sesorang yang semakin taat kepada orangtua maka semakin besar pula potensi keberhasilan yang akan diraihnya. Terdapat sebgaian orang yang memiliki cita-cita tinggi, namun ketika hendak dicapainya, tiba-tiba cita-citanya itu lenyap dikarenakan tidak sejalan dengan kehendak orangtuanya. Adakah diantara kita yang mengalami hal demikian? Mari kita simak saja sepenggal perjalanan hidup salah satu ulama yang memendam hasratnya demi meraih restu ibundanya.

Pada tahun 167 hijriah di Bashrah lahirlah seseorang yang bernama Muhammad ibn Basyar. Anak yang terlahir di abad kedua hijriah ini di kemudian hari menjadi sosok ulama besar yang berpengaruh dan penuh karismatik, sehingga beliau oleh para ulama di zamannya digelari sebagai al-Imam, al-Hafidz. Pada masa itu tidak sembarang orang yang dapat meraih dua gelar kehormatan ini, kecuali memang orang yang benar-benar memiliki hafalan yang kuat dan mengetahui seluk-beluk hadis beserta sanadanya.

Ulama generasi tabi’ tabi’in ini, disamping beliau menyandang dua gelar yang disebutkan diatas, beliau juga menyandang julukan “bundar”. Menurut al-Dzahabi gelar itu disandangnya karena beliau merupakan rujukan para perawi hadis di masanya. Kata “bundar” itu sendiri dalam bahasa Arab terambil dara kata “bandar” yang berarti pusat. Namun kata “bandar” dalam Bahasa Indonesia selalu disandingkan dengan sesuatu yang negatif, semisal “bandar narkoba”.

Sejak umur delapan belas tahun beliau sudah menjadi rujukan para ulama perawi hadis, hal ini sebgaimana yang dikatakan Sa’id ibn al-Musayyab bahwa bundar mengatakan “orang-orang menanyakan hadis kepadaku saat umurku delapan belas tahun” namun hal demikian tidak lantas menjadikannya sombong atau merasa paling pintar, ini terbukti dari sikapnya yang enggan mengajarkan hadis di tengah keramaian kota, sebab akan terlihat banyak orang. Sebagaimana beliau nyatakan, “aku malu menjawab pertanyaan mereka lalu aku ajak mereka menuju sebuah kebun, lantas aku mengajarkan mereka hadis sembari memberi mereka makan kurma.”

Sebagai sosok yang kredibel, periwayatan hadis dari Bundar ini diterima oleh murid-muridnya yang fenomenal sepanjang masa, Seperti Imam Bukhari (194-256 H) Imam Muslim (204-261 H) Imam Abu Daud (202-275 H) Imam Abu Isa al-Tirmidzi (209-279 H) Imam Nasai (214-303 H) Imam Ibn Majah (207-275 H). Selain jujur dalam meriwayatkan hadis Bundar juga dianugerahi kekuatan hafalan sebagaimana yang beliau katakan; “tidaklah aku mengajarkan suatu hadis di majelisku ini kecuali aku telah hafal seluruh hadis yang aku ajarkan.”

Perlu diingat, dibalik gemilangnya reputasi ilmiah guru dari para penulis kitab induk hadis ini, ternyata tidak terlepas dari kepatuhan terhadap ibundanya, beliau sempat bercita-cita ingin berkelana keluar negeri dalam rangka mencari hadis, namun ibundanya melarangnya. Sebagaimana yang beliau tutrukan:

أَرَدْتُ الخُرُوجَ -يَعْنِي: الرِّحْلَةَ- فَمَنَعَتْنِي أُمِّي، فَأَطَعْتُهَا، فَبُوْرِكَ لِي فِيْهِ

“Aku sempat punya keinginan berkelana -menuntut ilmu- namun ibuku melarangku, aku pun taat apa yang diinginkan ibuku, berkat kepatuhanku kepdanya lah aku diberi keberkahan ilmu”

Berkat kepatuhan terhadap ibundanya itu, Muhammad ibn basyar menjadi sosok yang diakui dan diterima periwayatannya. Kendati memang ada sebgaian orang semasanya yang mengkritiknya, namun hal itu tidak serta-merta dapat menjatuhkan reputasinya sebagai perawi hadis yang tsiqoh (terpercaya dari segi moral dan intelektual). Pada bulan Rajab tahun 252 H Imam Muhammad ibn Basyar mengehembuskan nafas terakhirnya di Bashrah.

Al-Quran secara gamblang menegaskan agar kita senantiasa menaati kedua orangtua selagi keduanya tidak menyuruh kita dalam kemaksiatan, bahkan sampai status orangtua yang berbeda agama pun –na’udzu billah– seorang anak harus tetap menjaga hubungan baik dengan keduanya. Oleh karena itu, jika memang terdapat cita-cita kita yang tidak sejalan dengan kehendak orangtua, jalanilah semua ini dengan sabar agar kelak kita mendapatkan yang lebih baik dari sekedar apa yang kita cita-citakan

Berkelana dalam rangka menuntut ilmu memang sudah menjadi tradisi para kaum terpelajar -baik dulu maupun sekarang- sejarah mencatat, banyak ulama yang menghabiskan usianya untuk melalang buana dari satu daerah ke daerah lain dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka menuntut ilmu, tentunya berdasarkan niat yang ikhlas samata-mata mengaharap ridha Allah dalam berkhidmah terhadap ilmu dan dibarengi dengan kesungguhan yang tinggi bukan hanya berlandaskan pada gengsi semata. Sehingga buah dari jerih payahnya pun masih bisa dinikmati sampai saat ini melalui karya-karyanya yang monumental.

Di sisi lain, memang masih banyak pula ulama yang tidak melalang buana kemana-mana, ia hanya tinggal di tempat kelahirannya. Semisal sosok ulama yang telah disebutkan dalam sepenggal kisah dalam artikel ini, yang lainnya seperti Imam Malik ibn Anas (193-179 H) beliau dilahirkan di madinah dan tidak pernah keluar Madinah kecuali hanya untuk berhaji saja, belajar dan mengajarkan ilmunya juga di madinah sampai kota yang terdapat masjid nabawi itu menjadi tempat peristirahatan terkahirnya.

Contoh lainnya al-Imam al-Hafidz Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri pengarang kitab Tuhfah-al-Ahwadzi, konon beliau tidak pernah belajar hadis ke negara lain, beliau hanya belajar di India saja, tapi beliau mampu menulis Syarah Sunan Tirmidzi yang banyaknya sepuluh juz setiap juznya tidak kutang dari 600 halaman.

Bisa disimpulkan bahwa potensi keberhasilan seseorang dalam menuntut ilmu ada pada restu kedua orangtua juga jauhnya petualangan intelektual seseorang. Sekali lagi yang perlu ditekankan di sini bukan di mana ia belajar tapi bagaimana ia belajar. Ketekunan dan kesabaran akan membuahkan hasil yang diharapkan. Wallahu’alam