Siapa yang tidak tahu Abu Jahal? Memiliki nama asli Abdul Hakam bin Hisyam, ia adalah seorang pemuka Quraisy berasal dari Bani Makhdzum yang disegani oleh kaumnya dan sangat membenci Nabi Saw. Tak jemu-jemu ia memaki dan mencaci Nabi Saw, tak lelah ia menghasut orang-orang tentang beliau. Hal ini dikarenakan ia memiliki sifat dengki dan sum’ah, suka mencari perhatian orang lain agar dipuji.

Sebagai sosok pemuka suku yang terpandang, Abu Jahal sangat angkuh dan menyombongkan diri. Ia menyatakan secara terang-terangan bahwa ia memusuhi Allah, Rasulullah, serta kaum muslimin. Bahkan, dialah orang yang mengonspirasi pembunuhan terhadap Nabi Saw.
Suatu hari, Abu Jahal sendiri yang ingin membinasakan Nabi Muhammad Saw. Ketika Nabi sedang sujud, Abu Jahal muncul mengendap-ngendap dengan batu besar di tangannya. Ia ingin menghantam kepala Nabi agar pecah. Tiba-tiba ia melihat seekor unta raksasa yang ingin menelannya. Abu Jahal ketakutan sambil melepaskan batu dan lari terbirit-birit.

Abu Jahal dan anak buahnya selalu menganggu orang-orang yang salat. Mereka sering melempari orang-orang salat dengan tahi unta, kotoran kambing, dan sebagainya. Mereka ramai dan sering mengejek orang-orang Islam dan Muhammad Saw, namun demikian, Nabi dan pengikutnya tetap bersabar dan tidak melawan orang jahil yang berkelompok itu.

Oleh karena sifat-sifat buruknya ini, Rasulullah menjulukinya sebagai “Fir’aun” pada zaman itu.

Sejak nabi Muhammad Saw datang dengan agama Islam dan orang-orang lemah masuk agama tersebut, Abu Jahal memproklamirkan dirinya sebagai preman kota Makkah. Orang-orang dhuafa yang masuk Islam semuanya mendapat penyiksaan pedih dari Abu Jahal. Yasir dan istrinya, Sumiyyah, mendapat siksa sampai syahid di tangan Abu Jahal.

Allah berfirman tentang Abu Jahal, “Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq : 6 – 7)

Di bulan Ramadan, pada tahun kedua hijrah, meletuslah Perang Badar. Rasullullah Saw pergi bersama pasukannya untuk mencegat pasukan musyrikin yang hendak pulang ke Makkah selepas berdagang dari Syam. Di sebuah bukit yang bernama Badr, kedua pasukan tersebut bertemu. Mereka kemudian saling bertikai.

Sesampainya di Badar, pasukan muslimin berjibaku dengan pasukan kafir Makkah. Pedang-pedang saling beradu, berdenting-denting parau. Suara derap kuda berderak, mengepulkan debu dimana-mana. Pasukan muslim berpekik ‘Allahu akbar! Allahu akbar!’ tak lelah membangkitkan semangat perang. Hingga beberapa waktu berlalu, perang semakin berkecamuk dan beringar-bingar berhuru-hara penuh suara lengkingan aduan antara senjata dan jeritan pasukan yang terluka.

Ketika tanda-tanda kemenangan perang hampir dicapai oleh pasukan muslimin, Abu Jahal pun semakin kebingungan. Dia berusaha membendung badai kekalahan yang menenggelamkan kaumnya. Maka dia berdiri sambil berteriak dalam keadaan geram dan sombong, bermaksud memompa semangat pasukannya.

“Demi Laata dan Uzza, kami tidak akan kembali hingga kami mengikat Muhammad beserta para sahabatnya dengan tali, dan janganlah seorang dari kalian merasa iba hanya dengan membunuh satu orang dari mereka. Berilah mereka pelajaran yang sebenarnya, hingga mereka tahu akibat perbuatan mereka menyelisihi agama kalian, dan membenci apa yang disembah oleh nenek moyang mereka.”

Dengan cepat teriakan Abu Jahal lenyap oleh perang yang semakin menemui titik akhirnya. Pasukan muslimin semakin kuat dan memukul mundur pasukan musyrikin hingga tersisa sedikit yang bertahan.

Di antara kurang lebih 300 prajurit muslimin yang bertempur melawan seribu pasukan kafir dan musyrikin Makkah, turut serta dua orang pemuda yang kuat dan pemberani. Mereka adalah Mu’adz bin ‘Amr dan Mu’awwidz bin Afra.

Mu’awwidz bin Harits bin Rifa’ah al-Afra adalah seorang pemuda dari kalangan Anshar yang memeluk Islam sejak awal didakwahkannya di Madinah. Ia berasal dari suku Khazraj. Sedangkan Mu’adz bin ‘Amr bin Jamuh al-Anshari juga berasal dari suku Khazraj. Dengan semangat yang membara, keduanya maju ke medan perang tanpa sedikit pun rasa takut.

Sebelum berangkat ke medan pertempuran, Mu’adz dan Mu’awwidz telah bersumpah akan membunuh Abu Jahal. Alasannya, mereka berdua merasa sangat geram kepada pemimpin kaum musyrikin yang sangat kejam dan selalu berusaha untuk membunuh Rasulullah Saw itu. Mereka tidak menerima bila Nabi Saw. diperlakukan seperti itu. Maka, saat mereka melangkahkan kakinya untuk berjihad di Badar, target mereka sudah sangat jelas, yakni Abu Jahal.

Di tengah perang yang sedang berkecamuk itulah Mu’adz dan Mu’awwidz, dua prajurit muda Anshar yang kuat dan pemberani menerobos barisan pasukan dan menghampiri sahabat Abdurrahman bin Auf Ra yang sedang berada di ujung tombak pasukan. Salah seorang dari mereka lantas bertanya:
“Wahai Paman! Beritahu dan tunjukkan pada kami, mana yang bernama Abu Jahal?” kelakarnya dengan tatapan mata yang tajam.
Mendengar pertanyaan tersebut, Abdurraman bin Auf sejenak tertegun. “Apa yang akan kalian lakukan pada Abu Jahal?” Ujarnya pada kedua pemuda tadi.

Mu’adz bin ‘Amr menjawab, “Paman, aku mendengar kabar bahwa ia suka mencaci Rasulullah Saw, demi Allah tidak akan kubiarkan ia hidup hingga salah seorang dari kami berdua yang terlebih dahulu mati” koarnya. Hal yang sama kemudian diungkapkan oleh Mu’awwidz bin Afra.

“Betul, Paman. Kami akan membunuhnya!” ungkapnya menegaskan.
Abdurrahman bin Auf pun tercenung. Ada perasaan aneh bercampur heran serta bangga setelah mendengar perkataan dua prajurit muda tersebut. Ia lantas memerhatikan kedua pemuda tersebut.

Mu’adz bin ‘Amr dan Mu’awwidz bin Afra, pemuda yang tinggal di Madinah, ketika mereka mendengar bahwa ada orang yang mencaci maki baginda Rasulullah Saw di Makkah yang jaraknya hampir 500 km dari tempat tinggalnya, bara api kemarahan berkobar di dadanya. Semangat untuk membela baginda Rasulullah Saw pun membara dalam jiwanya. Betapa kokoh dan kuat ikrar mereka untuk membunuh Abu Jahal.

Tatkala Abdurrahman bin Auf melihat Abu Jahal di tengah kerumunan pasukan, ia berkata seraya memberitahu, “Dialah orang yang kalian tanyakan kepadaku barusan!” ujarnya pada Mu’adz dan Mu’awwidz.

Seketika itu kedua prajurit muda Anshar tadi berlari, menelusup ke dalam medan perang yang berkecamuk. Setelah semakin dekat dari posisi Abu Jahal, mereka melihat dengan jelas lelaki yang sangat angkuh itu. Darah amarah pahlawan muda itu pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran mereka.


Saat itu Abu Jahal sedang menaiki kudanya, Mu’awwidz menyabet kaki kuda Abu Jahal hingga terjatuh. Sementara itu, Mu’adz pun menyabet kaki Abu Jahal hingga terputus. Namun kemudian, Ikrimah bin Abi Jahal menghampiri dan menyerang Mu’adz hingga terkena sabetan pedang di lehernya. Sementara Mu’awwidz masih tetap menyerang Abu Jahal hingga nyaris terbunuh dan sekarat.

Keadaan semakin membuncah. Setelah Abu Jahal terjatuh, Mu’awwidz membantu Mu’adz menyerang Ikrimah hingga akhirnya ia lari tunggang langgang. Dalam pertempurannya melawan Ikrimah, Mu’adz terkena sabetan pedang di tangannya hingga tersisa tengannya yang menggantung di kulit kemudian ia menebas sendiri tangannya dan ia pun kemudian kehilangan satu tangannya. Dan pada saat itu Abu Jahal mati terbunuh oleh mereka berdua.

Setelah terbunuhnya Abu Jahal, dua pemuda tersebut pergi menemui Rasulullah Saw.
“Siapa dari kalian yang telah membunuh Abu Jahal?” tanya Rasulullah.
Mereka saling mengaku sebagai pembunuh Abu Jahal. “Saya yang telah membunuhnya,” kata Muadz, begitu juga Mu’awwidz.
“Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?” tanya Rasul hendak mencari tahu kebenarannya melalui bekas lumuran darah di pedang Muadz dan Mu’awwidz.
“Tidak,” jawab keduanya.
Maka kemudian Rasulullah Saw meminta pedang mereka dan memeriksa lumuran darah Abu Jahal. Rasulullah Saw pun berkata “Benar. Kalian berdua telah membunuh Abu Jahal”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk melihat apa yang telah dilakukan oleh kedua pemuda bani Afra tersebut. Kemudian didapatilah Abu Jahal, pemimpin pasukan musrikin telah mati terkapar.

Sumber Bacaan:
Shahih al-Bukhori, Imam Bukhori
Fath al-Baari, Ibnu Hajar Al-Asqolani
Asad al-Ghobah, Ibnu Al-Asir
Al-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakfuri