Mungkinkah Muslim Progresif dan Salafi Bergandeng Tangan?; Catatan Singkat Sebuah Disertasi
Majalahnabawi.com – Andaikata jawabannya negatif, setidaknya, masih mungkin untuk saling berempati. Demikian harapan Adis Duderija. Penulis disertasi keturunan muslim Bosnia yang menetap di Australia ini. Salah satu jalannya adalah dengan memahami metodologi interpretasi masing-masing. Karena itu, tanpa bermaksud mengunggulkan satu di antara keduanya, penting kiranya dipahami nalar metodologinya. Terkait hal ini, setidaknya ada tiga hal menarik yang tersaji.
Pertama, disertasi yang berjudul “Constructing a Religiously Ideal Believer and Woman in Islam; Neo-Traditional Salafi and Progressive Muslim Methods of Intepretation” (2010) ini hendak menunjukkan bagaimana muslim progresif dan neo-salafi memahami, menafsir, dan mengamalkan teks al-Quran dan Hadis. Di antaranya adalah dengan membandingkan cara pandang keduanya dalam melihat fungsi dan hakikat bahasa, relasi teks dan konteks, peran dan legitimasi akal, serta posisi maqashid syari’ah. Studi analisanya adalah gambaran ideal perempuan muslim dan konsep mukmin-non mukmin.
Kedua, untuk mengulasnya, Adis Dudireja membaca serius karya-karya yang mewakili nalar muslim neo-salafi dan muslim progresif sekaligus. Kelompok pertama mencakup karya Syekh al-Albani, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Muhammad al-Madkhali, dan Syekh Ibnu Utsaimin. Ditambah lagi dengan pengikut kelompok ini yang ada di Barat, semisal Jamal Zarabozo dan Bilal Philips. Sedangkan kelompok muslim progresif, diwakili oleh karya-karya Khaled Abou El-Fadl, Omid Safi, Farid Esack, Ebrahim Moosa, Kecia Ali, dan Amina Wadud.
Ketiga, setelah terang memaparkan masing-masing, di bagian akhir, Adis Dudireja mencoba mengidentifikasi kekhasan dari kedua tradisi pemikiran ini. Sebagai misal, kaum neo-salafi cenderung banyak berkutat pada analisa kebahasaan. Sedikit menggunakan nalar maqashid. Analisa konteks dan sosio-historis tidak terlalu ditekankan. Hal ini berbeda dengan kelompok kedua. Dalam pandangan Adis, tantangan realita modernitas yang dihadapi pemikir progresif lebih nyata adanya dibanding dengan kelompok pertama.
Lantas seperti apa detailnya?
Selamat membaca.