Majalahnabawi.com – Beberapa waktu lalu, kita sempat dihebohkan dengan tayangnya film Jejak Khilafah di Nusantara atau disingkat JKDN. Film dokumenter yang katanya ingin menghadirkan fakta-fakta adanya hubungan islamisasi masyarakat Nusantara dengan kekhalifahan terutama kekhalifahan Utsmany. Meski, isi materi film ini masih diperdebatkan apakah telah berkesesuaian dengan fakta sejarah atau tidak.

Karena ingin tahu, saya terpaksa menonton film ini. Benar saja apa yang dikatakan Prof. Peter Carey bahwa film ini bukanlah film sejarah tetapi hanya film propaganda. Dari awal film, penonton telah disuguhkan berbagai narasi yang menggiring khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan harus ditegakkan.

Terlepas dari apa yang diperdebatkan, kiranya seluruh muslim setuju akan pentingnya sebuah sistem pemerintahan. Ajaran Islam pun mengajarkan pemeluknya untuk mengangkat pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan demi terjaganya urusan dunia dan agama. Namun pertanyaannya, “Apakah sistem khilafah sebut saja sistem khilafah ala Hizbu Tahrir satu-satunya sistem yang diakui sesuai Islam seperti apa yang terus mereka propagandakan?”

Statement Syekh Yasin tentang Kepemimpinan

Karena dalam propaganda mereka dicatut kata “Nusantara”, maka untuk menjawab pertanyaan ini saya hadirkan pendapat “Ulama Nusantara” terkemuka asal Padang yakni Syekh Muhammad Yasin al-Fadani. Siapa yang tak kenal Syekh Muhammad Yasin al-Fadani? Ulama Nusantara asal Padang yang sangat alim juga dihormati. Beliau merupakan ulama taraf Internasional. Di tanah airnya, pun nan jauh di Timur Tengah sana, bahkan di seluruh dunia namanya harum sebagai ulama pengoleksi sanad (transmisi keilmuan).

Berbagai sanad dari bermacam disiplin keilmuan beliau miliki. Sanad ilmu hadis, tafsir, tata bahasa Arab, fikih, ushul fiqh, hingga tarikh seluruhnya tersimpan rapih dalam dekapan Syekh Yasin. Maka pantas ulama dunia menjulukinya sebagai musnid al-dunya (kolektor sanad level Internasional).

Salah satu karyanya yang terkenal dalam bidang qawa’id fiqh adalah al-Fawaid al-Janiyyah. Kitab hasyiyyah atau catatan penting yang mengomentari kitab al-Mawahib al-Saniyyah. Di dalamnya termaktub varian kaidah fikih yang secara umum dapat dijadikan landasan sebuah bangsa yang mengharapkan pemikiran moderasi beragama.

Bentuk Pemimpin Negara

Dalam kitab al-Fawaid tertulis coretan Syekh Yasin perihal pandangannya mengenai sistem pemerintahan ideal. Coretan ulama Nusantara tersebut sebagai komentar salah satu kaidah fikih yang terkenal:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Tata kelola kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus berdasarkan prinsip kemaslahatan.  

Tanggapan syekh Yasin atas kaidah ini sebagai berikut :

الْإِمَامِ…..أَيِ الْأَعْظَمِ وَهُوَ السُّلْطَانُ أَوِ الْمَلِكُ أَوِ الْخَلِيْفَةُ وَكَذَا رَئِيْسُ الْجُمْهُرِيَّةِ

Penguasa itu (dapat berbentuk)-pen. Sultan, Raja, Khalifah, begitu pun Presiden negara republik.

Beberapa kata ini mengisyaratkan bahwa pemimpin tidak harus bergelar khalifah serta mengepalai negara berbentuk khilafah. al-Imam alias pemimpin boleh bergelar Sultan atau Raja yang  mengepalai sebuah wilayah yang menganut sistem kerajaan.

Boleh juga seorang yang bergelar khalifah yang mengepalai daerah penganut sistem khilafah. Bahkan, dalam coretannya, Syekh Yasin mengakaui eksistensi seorang presiden, kepala negara republik sebagai al-imam atau pemimpin yang sah membuat suatu kebijakan.

Tidak Harus Khilafah

Dari pendapat Syekh Yasin ini dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan atau bentuk negara yang sesuai dengan ajaran Islam tidak hanya khilafah. Apapun bentuk negaranya entah itu kesultanan, kerajaan, bahkan negara republik, selama mementingkan kemaslahatan rakyat dan turut menjaga hak-haknya itulah bentuk negara ideal menurut Islam. 

Karena agama Islam sendiri tidak mematok sistem negara tertentu. Buktinya, dalam al-Quran maupun hadis tidak tercantum ketentuan jelas nan pasti yang mengharuskan umat Isalm menganut salah satu dari berbagai bentuk/sistem pemerintahan.

Yang ada adalah Islam menuntut kebijakan pemimpin mesti berdasarkan orientasi kemaslahatan umat. Tidak terlalu penting bentuk berikut sistem pemerintahannya selama kebijakan-kebijakannya pro kemaslahatan rakyat.

Haqqul yaqin para pendiri bangsa sepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dasar negara Pancasila berdasarkan kemaslahatan bukan karena hawa nafsu kekuasaan. Buktinya, meski belum seratus persen sejahtera setidaknya kita dapat hidup beribadah, menempuh pendidikan, berbisnis, kumpul keluarga dengan nyaman dan tenteram.

Cara menghargai perjuangan mereka bukan dengan menguras keringat demi mengubah sistem NKRI yang terbukti maslahat ini dengan sistem yang belum jelas di mana letak maslahatnya. Melainkan, kita hanya perlu mengisi negara yang sudah kokoh lahir batin ini dengan semangat bahu-membahu membangun negeri. Ikut berkontribusi memajukkan pendidikan berkarakter, serta membangun perekonomian umat yang kuat dan kesehatan yang terjamin.