Majalah Nabawi – “Sejarah adalah masa lalu untuk bekal menata masa kini dan masa depan.” Demikianlah ujar cendekiawan Kuntowijoyo (1943-2005). Tiga belas belas tahun lalu, awal kuliah di UIN Jakarta, pertama kalinya saya memegang buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. Buku tebal yang menghimpun tulisan Bung Karno (1901-1970). Sekali membaca dan mendiskusikanya, saya langsung terpukau. Tiap kata dan baris tulisan Bung Karno seakan menyimpan magis. Spiritnya jelas, persatuan untuk Indonesia merdeka. Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme harus bersatu. Untuk itu, masing-masing ideologi ini harus ditelaah secara kritis dan mendalam. Diambil titik temunya.

Dari upaya itu, nampak sekali betapa Bung Karno memiliki kerakusan baca yang tak bertepi. Pemikiran yang berkembang di Barat dan Timur ia serap sedemikian hingga. Ernest Renan, Ralston Hayden, Karl Marx, Friedrich Engels, Karl Kautsky, Karl Radek, Otto Bauer, Ferdinand Lassalle, Mahatma Gandhi, T.L. Vaswani, Dr. Sun Yat Sen, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh adalah sederet nama tokoh dalam tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926).

Tulisan panjang ini dimuat di “Suluh Indonesia Muda”. Tepat saat Bung Karno masih berusia 25 tahun. Dari tulisan itu, saya menjadi sadar, tidak tepat rasanya jika ada yang anti terhadap Islamisme, tetapi miskin baca terhadap Islam. Tak bijak rasanya jika ada yang anti Barat, tetapi miskin bacaan terhadap Barat. Tidak tepat rasanya jika anti terhadap nasionalisme, tetapi miskin baca terkait nasionalisme. Tidak bijak rasanya jika ada yang anti terhadap Marxisme, tetapi miskin bacaan terkait Marxisme.K ritisisme adalah kemampuan melihat satu hal secara berimbang. Kelebihan dan keterbatasan. Sisi positif dan negatifnya. Bukan timpang satu sisi belaka.

Napak Tilas Rumah HOS Tjokroaminoto

Seiring berjalannya waktu, tulisan Bung Karno tersebut mengantarkan untuk mengenal sosok HOS Tjokroaminoto. Guru sekaligus mertua yang membuat Sang Putera Fajar terkagum-kagum. Tepatnya saat mengikuti perkuliahan pemikiran politik Indonesia, saya berkesempatan membaca buku “Islam dan Sosialisme”. Tulisan HOS Tjokroaminoto. Di lembar pertama, ada keterangan; tertulis di Mataram 1924. Dari buku ini, saya merasakan sifat rakus baca Bung Karno di atas, sejalan dengan kebiasaan Sang Guru. Betapa tidak, HOS Tjokroaminoto mampu memaparkan secara mendalam kaitan antara Islam dan Sosialisme. Termasuk perbedaan di antara keduanya. Ide-ide pokok Hegel, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Feuerbach mudah sekali dipanggungkan ulang. Beliau kritisi sedemikian hingga. Tidak ketinggalan pula, ide-ide pokok Darwinisme beliau ulas. Ia kaitkan dengan genealogi pandangan sosialisme. Tokoh-tokoh penafsir sosialisme juga ia nukil. Di antaranya adalah Cornellie Huygens dan Prof Ferri.

Tak berlebih, HOS Tjokroaminoto tidak sekedar menginspirasi Bung Karno dalam bidang orasi, namun juga dalam ranah literasi. Dua hari lalu, 1 Desember 2022, setelah selesai mengikuti agenda Anti-Corruption Summit (ACS) ke-5 yang diadakan oleh KPK di Universitas Muhammadiyah Surabaya, kami berkesempatan napak tilas rumah HOS Tjokroaminoto. Berada di Jalan Peneleh Gang VII Nomor 29-31 Kecamatan Genteng Kota Surabaya. Menyusuri tiap sudut rumah dan kamar. Melihat foto-foto klasik. Serta mendengarkan paparan pemandu museum adalah satu kebahagiaan. Lantas tertarikah anda?

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences