Pelaku Bid’ah, Hadisnya Otomatis Ditolak?
Majalah Nabawi Sudah jamak diketahui bahwa perawi hadis harus memenuhi standar kualifikasi tertentu untuk meriwayatkan hadis. Standar kualifikasi yang dimaksud adalah adil dan dhabit. Jika perawi memiliki dua kapasitas ini, ia disebut tsiqah (orang terpercaya) dan hadisnya bisa diterima.
Namun, para ahli hadis tidak bersepakat dalam mendefinisikan adil. Perbedaannya tidak esensial, hanya pada tataran istilah. Makna yang mereka maksudkan sama. Secara sederhana adil merupakan suatu keadaan yang tidak memungkinkan seseorang untuk mengubah atau memalsukan hadis Nabi saw. Perawi yang tidak memiliki kapasitas ini disebut fasik, suatu keadaan yang menyebabkan seorang perawi melakukan pemalsuan atau pengubahan hadis.
Walaupun demikian, tidak lantas semua riwayat perawi yang fasik secara otomatis ditolak. Sebab dalam diskursus hadis, fasik terbagi menjadi dua:
1. al-fisq bi al-ma’syiah
Yaitu fasik yang disebabkan karena pelakunya melakukan maksiat atau dosa besar
2. al-fisq bi al-bid’ah
Yaitu fasik sebab melakukan perkara bid’ah, pelakunya disebut mubtadi’.
Sementara itu, fasik yang mempengaruhi kualitas keadilan seorang perawi hanyalah fasik sebab melakukan dosa besar. Sedangkan pelaku bid’ah (dalam akidah) tidak lantas hadisnya menjadi tertolak.
Dalam beberapa literatur, terdapat fakta bahwa para kritikus hadis menerima riwayat seorang mubtadi’ dan orang yang memiliki pemahaman salah dalam akidah (fussaq ast-ta’wil), seperti kelompok Rafidhah, Murji’ah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan lainnya. Demikian pula kaum Khawarij dan madzhab ahlu ra’yi, serta kelompok lainnya yang menyelisihi mereka dalam masalah fiqih, hadis-hadis mereka juga dinilai sahih. Dari sini jelaslah bahwa fasik yang menyebabkan tertolaknya hadis seseorang hanyalah al-fisq bi al-ma’syiah, fasik lantaran melakukan maksiat atau dosa besar.
Dalam sejarah, memang benar para kritikus hadis kebanyakan men-jarh (menilai cacat) perawi yang memiliki latar belakang madzhab-madzhab tersebut. Akan tetapi perlu diketahui, penolakan ini bukan karena mereka telah melakukan bid’ah dalam akidah belaka, melainkan benar-benar tidak memenuhi standar kualifikasi perawi dalam aspek yang lain, seperti yang telah disebutkan di muka.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penerimaan hadis sangat bergantung pada kualitas kedhabitan dan keadilan perawi. Latar belakang madzhab dan akidah tidak semata menjadi faktor diterima atau ditolaknya hadis yang ia riwayatkan.
Namun terlepas dari itu, ada beberapa hal yang menyebabkan gugurnya riwayat pelaku bid’ah. Seperti riwayat seseorang yang bertujuan untuk memperkuat gagasan dan ideologi yang ia yakini. Dalam kasus ini, mayoritas pakar ilmu hadis menolak hadisnya karena ada kemungkinan besar hadis tersebut telah mengalami pengubahan bahkan pemalsuan. Para mubtadi’ sangat memiliki potensi untuk medistorsi hadis Nabi saw., terlebih dalam apa yang bertentangan dengan pemahaman mereka. Oleh karena itu para ahli hadis mengugurkan hadis atau riwayat mereka atas dasar pertimbangan seperti yang telah disebutkan tadi. Wallahu a’lam.