Kafir

Majalahnabawi.Com – Subuh, halaqah fajriyah Sahih Bukhari-Muslim kali itu benar-benar berkesan bagi kami. Entah berapa kali kami mendengar penjelasan kiai soal semua kafir-mengafirkan, dan juga masalah bagaimana bersikap saat jadi korban pengafiran alias dikafir-kafirkan. Bagi kami pribadi khususnya, penjelasan beliau itu begitu merasuk ke dalam alam bawah sadar kami dan melekat erat dalam long term memory kami.

Bukan sekali-duakali, Kiai Ali menjelaskan masalah fenomena sosial berupa kafir-mengafirkan antar sesama umat Islam ini. Bukan sekedar di satu dua tempat, kami mendapati beliau menjelaskan masalah ini. Hal itu menunjukkan bahwa beliau sangat resah dengan fenomena baru alias bidah sayyi’ah berupa kafir-mengafirkan yang salah kaprah itu.

Dalam banyak kesempatan, beliau juga sering mengutip sebuah aforisma baru yang merupakan potret fenomena kehidupan umat beragama, khususnya di internal umat Islam sendiri. Aforisma yang sering beliau sebut itu adalah, “Dulu, para wali itu suka mengislamkan orang kafir. Mereka itu adalah Wali Songo. Tapi kini, ada banyak wali yang suka mengafirkan orang muslim. Mereka ini adalah para Wali Songong.”

Fenomena takfîr yang membuat marah seluruh penduduk bumi, bukan hanya di Indonesia ini, memang menjadi penyakit sosial yang sangat akut. Hanya satu kata saja, yang terdiri dari hanya lima huruf, itulah yang membuat ratusan juta umat jadi resah, gelisah, dan saling menumpah darah.

Anehnya, label kafir yang dialamatkan kepada sesama muslim dan fenomenal pada tahun-tahun 2000-an itu adalah termasuk label yang “paling diminati” oleh lidah orang-orang yang baru saja mengenal ajaran Islam, memiliki semangat sangat tinggi dalam beragama, namun memiliki akses kepada hadis secara terbatas karena keterbatasan metodologi pembacaan hadis yang mereka punya. Akhirnya, sedikit-sedikit…kafir! Koq berani, ya?!

Kiai Ali, dalam beberapa halaqah hadisnya dan juga dalam pengajian di beberapa tempat yang kami ikuti, seringkali memberikan edukasi kepada kami dan para jamaah. Edukasi itu meliputi petunjuk tentang bagaimana menanggapi para “wali songong” yang memiliki kebiasaan mengafir-ngafirkan orang itu.

“Kita semua ini adalah orang kafir.” Kata beliau dengan tegas dan jelas, bahkan sampai diulang beberapa kali. Begitulah kata beliau dalam pengajian umum. Sedangkan dalam halaqah hadisnya di Pesantren, diksi yang biasa beliau pakai adalah, “Idzan, nahnu kuffâr!”

Praktis, kami, para mahasantri dan juga jamaah yang hadir, biasanya mulai tegang dan penasaran. Kenapa koq kiai malah mendeklarasikan diri sebagai orang kafir? Sebagian di antara kami yang sudah paham betul gaya ceramah pak Kiai atau sudah pernah mendengar ceramah beliau tentang topik yang sama, pasti meresponnya dengan senyam-senyum sendiri.

“Idzâ kaffarakum ahadun, fa lâ taghdlab. Bal, qul lahu. “Ey, na’am. Ana kâfir. Wa anta mu’min. Lakin, anâ kâfir bi al-ta’âlîm ghair al-islâmiyyah. Wa anâ mu’min bi ta’âlîm al-Islâm. Ammâ anta, famu’min bita’âlîm ghairil islâm, lâkin kâfir bi ta’âlîmil islâm.” [Kalau ada orang yang mengafirkanmu, jangan marah. Justru katakan padanya, “He’eh… betul. Saya kafir, dan kamu mukmin. Tapi, saya ini kafir terhadap ajaran selain ajaran Islam, dan sekaligus mukminterhadap ajaran Islam. Sedangkan kamu, adalah orang mukmin terhadap ajaran selain Islam, dan sekaligus kafir terhadap ajaran Islam.”]

Dalam kesempatan yang lain, di pengajian umum yang kami pernah diajak oleh beliau untuk mengikutinya, beliau menggunakan pilihan bahasa yang berbeda lagi, “Bapak-ibu, kalau dikafir-kafirkan sama orang, nggak usah kuatir. Nggak perlu sedih. Nggak perlu marah juga. Santai saja. Jawab saja begini, ‘Ya, saya memang kâfir. Saya kâfirterhadap ajaran selain ajaran Nabi Muhammad. Sedangkan kamu adalah mukmin terhadap ajaran selain Nabi Muhammad.’ Jadi, kita ini juga kâfir.”

Biasanya, beliau menyampaikan penjelasannya yang memukau dan ringan namun filosofis itu setelah menyampaikan salah satu hadis Nabi, riwayat imam Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ فِى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ « هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ ».

Dari Zaid bin Khâlid al-Juhani yang mengabarkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami kami salat subuh di Hudaibiyah, berkenaan dengan turun hujan lebat yang terjadi pada malam itu. Usai salat, beliau segera menghadap ke arah jamaah, seraya memberikan kuliah singkat, “Apakah kalian tau Apa yang telah difirmankan Tuhan kalian [terkait dengan peristiwa alam semalam]?” Tanya beliau memfokuskan jamaah pada hal penting yang akan disampaikannya.

“[Tentu tidak!] Hanya Allah dan RasulNya saja yang tahu.” Jawab mereka singkat.

“Allah mewahyukan kepadaku [secara qudsiy] bahwa saat ini, di antara hamba-hambaku ini ada yang tetap beriman kepadaKu dan ada pula yang telah kafir terhadapku.” Kata beliau mengawali penyampaian hadis Qudsi yang sedari tadi telah membuat para jamaah penasaran.

“Orang yang masih punya keyakinan bahwa hujan turun kepada kita ini adalah wujud anugerah Allah dan rahmatNya, maka dialah orang yang beriman kepadaKu dan kâfir kepada bintang.” Lanjutnya menjelaskan kriteria orang mukmin.

“Sedangkan orang yang punya keyakinan bahwa kita ini dihujani oleh bintang A, B, C, berarti ia telah kâfir terhadapKu dan beriman kepada bintang.” Pungkasnya tegas.

Dari situ, dengan jelas sekali bahwa Nabi memang menyebut kafir dan mukmin untuk kategori orang tertentu. Namun, Nabi sama sekali tidak menyebut si A, si B, si C sebagai kafir. Nabi tidak menyebut bahwa kelompok A, atau kelompok B adalah kafir. Melainkan, siapapun yang memenuhi kriteria kafir, maka itulah yang disebut kafir.

Istilah Mukmin dan Kafir

Istilah mukmin dan kâfir dalam hadis tersebut adalah jelas istilah teologis, bukan istilah sosiologis, apalagi politis. Namun, belakangan, penggunaan istilah kafir dan mukmin dalam realitanya memang tidak dapat dibendung, meluber ke ruang-ruang sosial, politik, tata negra, kewargaan, dan sebagainya. Akibatnya, ada politik rasa akidah. Ada akidah serasa politik. Ada sosial beraroma teologi, dan ada pula teologi berbau sosial.

Nabi dalam hadis itu tampak sangat cair dalam menggunakan istilah kâfir. Pertama, ia dipakai secara teologis, dan ini tentu sangat serius. Ia dibaca secara teo-sosiologis, yaitu fenomena sosial yang dibaca secara teologis. Makna yang dimaksud adalah makna teminologis, bukan makna kebahasaan. Begitu pula dengan kata mukmin. Kedua, ia dipakai secara sosiologis, atau lebih tepatnya secara sosio-teologis. Teologi yang yang dibaca secara sosial. Penggunaan jenis kedua ini adalah penggunaan istilah teologi yang dibaca secara sosial. Pembacaannya pun secara etimologis, alias kebahasaan, bukan terminologis.

Teo-sosiologis tampak dalam istilah “kafir kepadaKu” dan “beriman kepadaKU” dalam hadis di atas, yang dalam hal ini dimaknai secara terminologis. Ia adalah istilah-istilah yang nyata dalam kehidupan sosial yang digunakan secara teologis. Jika disebut mukmin, maka pasti yang dimaksud adalah orang yang beriman kepada Allah. Jika disebut kafir, maka yang dimaksud pasti adalah orang yag kafir kepada Allah. Itulah makna terminologis dalam ilmu akidah atau teologi.

Sedangkan penggunaan secara sosio-teologis tampak dalam istilah “kafir kepada bintang,” dan “beriman kepada bintang,” yang dalam hal ini dimaknai secara etimologis. Keduanya (kafir dan mukmin) adalah istilah-istilah yang populer dalam teologi, namun digunakan dan dimaknai secara sosiologis, kebahasaan. Aslinya, jika disebut kafir, maka pasti kafirnya adalah kepada Allah. Jika seseorang kafir kepada selain Allah biasanya secara terminologis, tidak disebut dengan kafir. Orang yang kafir kepada ramalan-ramalan dukun, misalnya, dalam terminologi teologis (ilmu akidah) biasanya tidak disebut kafir. Begitupula dengan sebutan mukmin, yang pasti hanya dialamatkan kepada kepercayan terhadap Allah dan rukun-rukun iman saja. Ada orang yang beriman atau percaya kepada kekuatan batu misalnya, maka secara terminologis-teologis tidak mungkin disebut beriman. Namun, secara sosiologis-kebahasaan, ia dapat disebut sebagai beriman. Yaitu, beriman kepada batu.

Menariknya, dalam hadis di atas, Nabi justru tidak demikian menggunakannya. Para sahabat pun paham maksudnya. Orang yang kafir kepada Allah juga disebut beriman, namun beriman kepada selain Allah. Orang yang beriman kepada Allah, oleh Nabi juga disebut kafir, yaitu kafir terhadap selain Allah. Orang yang beriman pada ramalan disebut beriman oleh Nabi, yaitu beriman kepada ramalan bintang. Sedangkan orang yang kafir terhadap kekuatan bintang, juga disebut kafir oleh Nabi, yaitu kafir kepada bintang.

Diakui atau tidak, kata kâfir itu memang kadang menyakitkan sekali. Sangat menyakitkan, meskipun tidak dialamatkan kepada kita. Ketika kita mendengar saudara kita sesama muslim dikafirkan oleh orang lain yang seiman, tentu hati kita sangat sakit dan meraasa keberatan, apalagi jika yang menuduhnya adalah saudara sendiri yang seiman dengannya.

Namun, kadang istilah kâfir itu juga cukup menghibur diri dan menenagkan hati saat dipahami dan didudukkan secara proporsional dan disikapi secara arif, sebagaimana tampak dalam hadis ini,

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda. “Jika ada seseorang yang yang bilang kepada saudaranya (yang seiman), “Hei, kafir!”, maka salah satunya pasti terjadi [kafir]”

Faqad bâ’a bihî ahaduhumâ. Kira-kira seperti ini, kalau diungkapkan pakai bahsa kita. “Alah…, biarin saja saya disebut kafir! Toh, kalau saya yakin bahwa saya tidak kafir, dan ternyata memang tidak kafir, yang kena hukum kafir dari Allah dan rasulNya juga dia-dia sendiri.” Hadis ini dengan ilustrasi pemahaman yang demikian itu, membuat kita arif dan bijak dalam menyikapi orang yang suka mengafirkan orang lain. Ia cukup menjadi obat. Bahwa, betapapun kata itu menyakitkan, kita tidak perlu kuatir berlebihan. Tidak perlu sedih. Tidak perlu gelisah. Tuduhan itu jika tidak terbukti atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, pasti akan kembali kepada penuduhnya.

Kemudian, dalam hadis pertama tadi, frasa “fa huwa mu’minun bîy wa kâfirun bil kaukab,”ini adalah hiburan model kedua. Ilsutrasi pemahamannya, dapat dinyatakan dalam pernyataan berikut ini, “Kalau emang saya kâfir, kenapa? Toh semua orang juga kâfir. Saya kâfir terhadap ajaran agama yang tidak saya yakini, dan anda juga kâfir terhadap ajaran yang tidak anda yakini. Saya beriman terhadap ajaran agama yang saya yakini kebenarannya. Dan anda pun beriman terhadap ajaran agama yang anda yakini kebenarannya. Lalu, buat apa lagi ada istilah-istilah kâfir, kalau toh kita semua juga bisa dilabeli kâfir?! Toh, kita sama-sama sebagai warga negara yang baik.

Kalau sudah begini, jamaah dan para santri jadi paham semua apa itu esensi kâfir, bagaimana menggunakanannya, bagaimana merespon dan menyikapinya, serta mengetahui dan memahami hadis-hadis tentang kafir-mengafirkan itu. Oalah, begitu toh kira-kira yang dulu dilakukan oleh para sahabat Nabi saat dikafir-kafirkan oleh Khawarij. Ohh, itu to resep kesabaran para ulama hadis dan ulama-ulama di bidang lainnya saat mereka dikafirkan oleh saudaranya sendiri. Tapi, meskipun begitu, tetap jangan sembarangan dengan istilah kâfir.

Istilah kâfir itu jangan dimain-mainkan, jangan diobral semaunya sendiri. Tapi kalau sudah dikafirkan, jangan terlalu bersedih. Betapa banyak ulama yang juga dulunya dikafirkan, namun beliau justru mampu menunjukkan keteguhan imannya. Ah, indahnya belajar hadis dari ahlinya. Aku rindu ngaji bersamamu, Kiai.

By Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, MA

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences