Human hands open palm up worship. Eucharist Therapy Bless God Helping Repent Catholic Easter Lent Mind Pray. Christian Religion concept background. fighting and victory for god

Majalahnabawi.com –Hadis ini menjelaskan seputar mendengar dan taat.

بسم الله الرحمن الرحيم

عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله عنه قال, وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون. قلنا, يا رسول الله, كأنها موعظة مودع فأوصنا. قال: أُصِيْكُمْ بِتَقْوَى الله عَزَّ وَجَلَّ, وَالسَّمْعِ  وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌّ. فَإنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ, عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجِدِ, وَإيَّكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأمُوْرِ. فَإنَّ كُّلِّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ. (رواه أبو داود والترمذي. وقال حديث حسن)

Dari Abi Najih al-‘Irbad bin Sariyah ra. Berkata, Rasulullah pernah memberi kami mau’idzah dengan mau’idzah yang membuat hati takut dan membuat mata bercucuran. Kami berkata, Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah perpisahan maka wasiatilah kami. Beliau bersabda: Kuwasiatkan pada kalian, untuk bertakwa kepada Allah Azza wa jalla, (kuwasiatkan) untuk mendengarkan dan menaati sekalipun yang memerintah kalian adalah budak Habasyi. Karena barang siapa yang hidup dari kalian kemudian membuat perbedaan-perbedaan yang banyak maka kalian harus berpegang pada Sunnahku dan Sunnah khulafaurrasyidin (para khalifah) yang memimpin. Mereka telah berpegang teguh atas Sunnahku kokoh. Hindarilah pembaharuan-pembaharuan perkara. Karena semua bidah itu sesat. (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Dikatakan ini Hadis Hasan)

Mau’idzah bisa dipahami sebagai pengingat, informasi ancaman atau nasihat. Intinya, mau’idzah itu semacam ceramah yang isinya untuk melembutkan hati dan teringat akan azab Allah. Suatu ketika Nabi memberikan mau’idzah yang isinya benar-benar membuat para pendengar sedih karena terasa seolah pesan-pesan perpisahan. Itu terjadi di waktu bakda salat subuh. Selama itu telah banyak perjuangan, simpati dan tentunya kenangan. Sebagai manusia, Nabi tidak akan selamanya bersama mereka. Dengan demikian, perlu kiranya Nabi menyampaikan pesan terakhir, mencakup perkara dunia dan akhirat.

Wasiat Pertama Nabi

 Wasiat pertama adalah bertakwa kepada Allah. Bertakwa, kerjanya di dunia namun buahnya di akhirat. Takwa meliputi patuh aturan, yakni melakukan perintah dan menjauhi larangan. Sederhananya, menyanggupi apapun yang disyariatkan. Wasiat Nabi semakna dengan ayat Al-Qur’an:

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الذين أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإيَّاكُمْ أنِ اتَّقُوا اللهَ.

Sungguh telah kami wasiatkan kepada orang-orang yang diberikan kitab dari sebelum-sebelum kalian dan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah. (Q.S an-Nisa’: 131)

Wasiat Mendengar dan Taat

 Selain wasiat bertakwa, berwasiat السمع mendengar, kemudian الطاعة yakni taat. Keduanya dalam konteks yang sama, yaitu interpretasi kepatuhan. ‘Mendengar’ dan ‘taat’ di sini, konteksnya berorientasi patuh secara luas. Dalam artian, siapapun yang memerintah jika itu dalam hal kebaikan maka harus diikuti. Dengan indikator ghayah, yaitu kata وإن—bermakna meskipun. Di mana ghayah itu bersamaan dengan lafaz umum maka wasiat mendengar dan taat itu berlaku, tidak memandang dari siapa itu asalkan perintah kebaikan.

Masih semakna dalam maqolah (quotes) ‘Ali bin Abi Thalib, la tandzur ila man qala wandzur ila ma qala. Artinya, jangan kauperhatikan siapa yang berbicara, namun lihatlah apa yang dibicarakan. Ada pesan moral di belakang kalimat ini, bahwa terkadang orang-orang cenderung menilai subjektifitas dan penampilan. Padahal, tampak luar seseorang tidak selalu ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Nabi mengajarkan kita objektif. Sehingga dapat mengambil kebaikan dari siapapun. Masih bernada sama, perhatikan Hadis berikut:

لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ. (رواه احمد)

Tidak ada kepatuhan untuk makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. (Riwayat Ahmad) Hadis ini membatasi tegas mana hal-hal yang boleh untuk dipatuhi dan hal-hal yang tidak boleh dipatuhi. Semua perintah maksiat yang disuruh oleh makhluk itu tidak boleh ditaati.

Seakan-akan Nabi mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, beliau memberi antisipasi bahwa akan ada perpecahan yang membuat umatnya bingung. Itu telah terbukti di masa sekarang, banyak golongan yang saling menyalahkan dengan merasa benar sendiri. Sejatinya, sikap-sikap tersebut hanya menambah kebingungan yang lebih luas. Umat dibingungkan dengan istilah firqah siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah.

Demikian Nabi memberikan jalan keluar, yakni dengan berpegang teguh kepada Sunnahnya. Lafaz فعليكم بسنَّتي—kalian harus berada di Sunnahku—dalam susunan kalimat gramatikal bahasa Arab itu menjadi jawab (penyempurna kalimat syarat) dari syarat yang dikira-kirakan. Jika diperjelas, lafaznya menjadi: إذا رئيتم هذا الإختلاف فعليكم بسنتيjika kalian telah melihat perselisihan maka kalian harus berada di Sunnahku. Pemahamannya, ini solusi yang diberikan Nabi bilamana telah nampak perselisihan di internal Islam.

Akan tetapi, lafaz tersebut oleh sebagian orang dijadikan argumen untuk menyerang muqallid (orang yang ikut mazhab). Dengan alasan muqallid itu keluar dari Sunnah Nabi dan malah ikut ulama. Padahal, ada redaksi selanjutnya yang menyatakan harus juga ikut kepada khulafaurrasyidin. Secara istilah, mereka adalah orang-orang yang berposisi sebagai wakil orang lain disertai adanya hidayah dari Allah. Mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk. Tentu yang dimaksud Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Thalib. Khulafaurrasyidin mengajarkan atsar-nya kepada generasi tabi’in. Para tabi’in menyampaikan ajaran tersebut kepada generasi selanjutnya. Demikian terus kepada ulama terdahulu. Sehingga, sampai kepada kita.

Pada dasarnya, kita semua tidaklah paham tentang Hadis Nabi disertai konteks dan kondisi masing-masing Hadis. Semua Hadis memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang tersebut dapat berdampak terhadap perbedaan rumusan hukum. Jika mengatakan mentah-mentah untuk kembali kepada Al-Qur’an bukan dipelajari secara instan. Kita harus mengkaji, menghayati, dan mendalami secara tulus.

Maksud Perkara Baru

Yang diwanti-wanti oleh Nabi adalah perkara-perkara baru. Baru dalam artian syariat, yakni paham-paham baru yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi mengenai syariat. Titik tekannya di sini perkara syariat. Yakni menyariatkan perkara baru yang tidak diajarkan syariat. Membuat fatwa baru yang diakui sebagai bagian syariat. Perkara baru tersebut biasa diistilahkan bidah.

Bidah itu sendiri masih dikelompokkan menjadi lima macam. Pertama bidah wajib, seperti membukukan Al-Qur’an yang dilakukan oleh ‘Umar padahal di masa Nabi tidak dilakukan. Kedua bidah sunah, seperti mendirikan pondok, madrasah, dan instansi pendidikan di mana itu tidak ada di zaman Nabi. ketiga bidah makruh, seperti menghias Al-Qur’an, menyampaikan suara Imam kepada makmum dengan perantara manusia. Keempat bidah boleh, seperti terlalu royal dengan memberikan makanan mewah kepada fakir miskin. Kelima bidah haram, seperti mengangkat qodi (pengurus umat muslim) yang tidak memiliki kapasitas mengurusi umat muslim. Yang perlu digarisbawahi, klaim itu semua dengan menisbatkannya kepada syariat. Bukan formatnya yang diorientasikan, namun dalam subtansinya. Substansi syariat dalam ilmu Maqashidu as-Syari’ah yakni dar’u al-mafasid wa jalbu al-mashalih. Menolak keburukan dan menarik kebaikan.