Percekcokan antara Imam Malik bin Anas dan Imam Muhammad bin Ishaq
Majalahnabawi.com – Pada pertengahan abad ke-2 H, ada sebuah kisah menarik. Kisah tentang percekcokan antar dua pakar hadis; Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan Imam Muhammad bin Ishaq (w. 151 H). Kedua tokoh ini digambarkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam bukunya Tahdzib al-Tahdzib di samping sebagai pakar hadis, juga sebagai tokoh yang menekuni fikih (Imam Malik) dan sejarah (Imam Ibnu Ishaq).
Konflik yang terjadi di antara keduanya sangat masyhur di kalangan para ulama, khususnya ulama kritikus hadis.
Imam Ibn Sayyid al-Nas (w. 734 H) dalam bukunya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Syamail wa al-Siyar menjelaskan bahwa perselisihan antara Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H) bermula saat Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H) yang dikenal sebagai ahli genealogi (silsilah keturunan), menyatakan bahwa Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan keluarganya mempunyai ikatan keturunan dengan raja Yaman Dzi Ashbah hanya secara muwalah saja, bukan hubungan secara pertalian darah, yaitu seseorang yang memeluk Islam di tangan orang Islam lain dan terjalin hubungan kekeluargaan antar mereka.
Pernyataan Yang Merendahkan
Statement yang dianggap merendahkan ini, lantas ditolak oleh Imam Malik (w. 179 H). Ia menegaskan bahwa hubungannya dengan raja Yaman Dzi Ashbah adalah secara pertalian darah, bukan mawali.
Puncak dari konflik mereka adalah ketika Imam Malik bin Anas (w. 179 H) berhasil menyelesaikan magnum opusnya, Muwaththa Malik. Mendengar kabar tersebut, Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H) kemudian berujar:
اُئْتُوْنِيْ بِهِ فَأَنَا بَيْطَارُهُ!
Bawakan kitab itu kepadaku. Akan ku bedah kitab tersebut!
Pernyataan yang lagi-lagi menyinggung perasaan Imam Malik bin Anas (w. 179 H), sontak dibalas keras oleh Imam Malik (w. 179 H):
هذَا دَجَّالٌ مِنَ الدَّجَاجِلَةِ!
Dasar Dajjal dari sekian banyak Dajjal!
Balasan yang cukup menohok terlontar dari lisan Imam Malik (w. 179 H). Sebuah ungkapan pedas yang dimaknai oleh kritikus hadis sebagai “pendusta besar”.
Trending Topic
Kisah keduanya kemudian menjadi trending topik dan dikonsumsi oleh publik. Kondisi ini membuat Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H) merasa risih. Ia memutuskan pergi meninggalkan Madinah menuju Irak.
Mendengar kabar kepergian Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H), lantas Imam Malik (w. 179 H) bergegas menemuinya. Keduanya saling mengucapkan maaf dan sepakat untuk damai. Bukan hanya itu, bahkan Imam Malik (w. 179 H) juga memberikan perbekalan untuknya sebesar 50 dinar dan setengah hasil panen kebun miliknya.
Demikianlah kisah percekcokan antara Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan Imam Muhammad bin Ishaq (w. 151 H). Imam Ibn ‘Abdil Barr (w. 436 H) mengatakan dalam bukunya Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, bahwa para ulama juga merupakan manusia biasa. Mereka merasakan apa yang kita rasakan; bahagia, sedih, bahkan marah sekalipun.
Dari perselisihan keduanya, banyak para kritikus hadis yang terpengaruh oleh ucapan Imam Malik bin Anas (w. 179 H). Tak sedikit kita jumpai dalam buku-buku al-Jarh wa al-Ta’dil, celaan terhadap Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H). Beruntungnya ada ulama yang peduli dan memberikan klarifikasi atas persoalan ini, seperti Imam al-Bukhari (w. 256 H) dan Imam al-Dzahabi (w. 748 H). Keduanya menegaskan bahwa penilaian Imam Malik (w. 179 H) terhadap Imam Ibnu Ishaq (w. 151 H) sifatnya personal, tidak berkaitan dengan periwayatan hadis. Dari sini, lahir sebuah kaidah dalam al-Jarh wa al-Ta’dil: “Tidak diterimanya sebuah kritik dari tokoh yang sezaman” (‘adam qabul kalam al-aqran ba’dihim fi ba’d). Ini menjadi bukti kehebatan para ulama. Dari perselisihan, tercipta sebuah pengetahuan.