Sederhana ala Rasulullah

Majalahnabawi.com – Pernyataan Nabi yang menjadi kenyataan dalam perjalanan hidup beliau banyak terdapat di dalam kitab-kitab turast. Bermula dalam hadis Nabi yang menceritakan tentang hal ghaib yang hanya Nabi tahu sebelum orang lain. Nabi memberi tahu mereka akan terjadi sebuah peristiwa karena sebab ini dan ini dan tak sedikit dari mereka yang membenarkan dan mengingkarinya. Ada juga saat di mana Nabi mengingatkan kaumnya untuk melakukan hal ini dan itu dan terkadang Nabi hanya mengisyaratkan kepada para sahabat kejadian apa yang akan terjadi ke depannya.

Kisah-kisah tersebut memang banyak terjadi dan terkadang tercantum dalam kitab-kitab lama. Penulis ingin mengungkap salah satu kisah tentang kebenaran isyarat Nabi Muhammad dengan kejadian yang Nabi tahu sebelum orang lain tahu. Biasanya Nabi tahu karena langsung dari Tuhan dan terkadang dari perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam. Pengetahuan Nabi terhadap kejadian-kejadian tersebut merupakan mukjizat seorang Nabi.

Kisah yang ingin penulis sampaikan adalah kisah tentang seorang Hanzalah berperang di jalan Allah serta wafat dalam keadaan junub pada perang tersebut. Nabi melihat para malaikat mengangkat Hanzalah di antara langit dan bumi serta memandikannya di sana.

Kisah Hanzhalah yang Dimandikan Malaikat di Antara Langit dan Bumi

Saat perang Uhud berkobar, seorang Hanzhalah mendengar panggilan jihad. Ia pun langsung bangkit untuk memenuhi panggilan jihad itu. Ia menganggap bahwa menolong agama Allah adalah sebuah keberuntungan. Ia termasuk salah seorang yang tercatat sebagai syuhada-Nya. Di Perang Uhud tersebut, Hanzhalah berjumpa dengan Abu Sufyan ibn Harb. Hampir saja ia membunuh Abu Sufyan. Tetapi, Handzalah tidak menyadari akan kehadiran seseorang yang bernama Ibn Syu’ub, hingga Ibnu syu’ub membunuh Hanzhalah terlebih dulu dengan memakai tombak.

Terkait kejadian ini, Rasulullah menyampaikan berita gembira. Beliau melihat malaikat memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi. Muhammad ibn Sa’d berkata, “Ketika Hanzhalah ibn Abi Amir terbunuh, Rasulullah bersabda, ‘Aku melihat malaikat memandikan Hanzhalah ibn Abi Amir di antara langit dan bumi dengan air perak.” Abu Asyad al-Sa’idi berkata, “Kami pun pergi untuk melihatnya. Ternyata, kepala Hanzhalah meneteskan air. Setelah itu, aku kembali menjumpai Rasulullah dan menceritakan yang terjadi.” Pasti ada alasan di balik kejadian tersebut. Dan, jawaban untuk menguak alasan itu bisa kita peroleh dari isterinya. Itulah mengapa Rasulullah mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepadanya. Ternyata, malaikat memandikan seorang Hanzhalah karena berperang dalam keadaan junub.

Benar yang engkau lihat itu, wahai Rasulullah. Benar pula yang engkau utarakan. Hanzhalah masuk surga setelah dimandikan. Dialah Hanzhalah yang mendapat gelar al-Ghasil (yang dimandikan), yang mendapatkan kemuliaan tiada tara.

Salah seorang sahabat pun menelusuri apa penyebab hanzhalah mendapat kemuliaan tersebut. Para sahabat pun menanyakan kepada istri Hanzhalah, ternyata mereka berdua adalah pengantin baru.

Suku Aus berbangga hati terhadap Hanzhalah, juga orang-orang lain yang tulus keimanannya. Para pahlawan dan mujahid yang berjuang di jalan Allah, dan orang-orang yang memenuhi panggilan kewajiban. Qatadah dan Anas berkata, “Suku Aus dengan bangga mengatakan, ‘Di antara kami ada yang malaikat mandikan jenazahnya, yakni Hanzhalah ibn al-Rahib. Ada pula yang dilindungi dari belakang, yakni Ashim ibn Tsabit ibn Abi al-Aqlah. Ada yang satu kali kesyahidannya senilai dengan pahala kesyahidan dua orang, yakni Khuzaimah ibn Tsabit. Dan, ada pula yang kematiannya sempat mengguncang ‘arasy, yakni Sa’d ibn Mu’adz.

Keutamaan Berjihad di Jalan Allah

Banyak kaum muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja, ini adalah pemahaman parsial. Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada Allah dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam dengan memahami Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf sholeh. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dia punya. Karena maksud tujuan ilmu adalah implementasinya. Setelah itu barulah ia memerangi jiwa untuk berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu yang merupakan jihad terbesar dan lebih utama dari selainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Jihad memerangi musuh Allah yang di luar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaih wa sallam,

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

“Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah.” 

Maka jihad memerangi jiwa lebih utama dari jihad memerangi musuh Allah yang di luar (jiwa), dan menjadi induknya. Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya padahal musuhnya yang di sampingnya berkuasa (hawa nafsu) dan menjajahnya serta belum ia perangi. Bahkan tidak mungkin ia dapat memerangi musuhnya sebelum ia berjihad memerangi jiwanya. Dari kisah seorang sahabat nabi ini dapat kita perjuangan para sahabat dalam berjihad sampai rela meninggalkan istri dan masih dalam keadaan junub tetapi tetap berjihad di jalan Allah, karena jihad dalam memerangi jiwa (hawa nafsu) sudah dapat ditakhlukkan oleh para sahabat nabi. Dari sikap para sahabat kita mendapatkan keteladanan yang luar biasa dalam kisah tersebut.