Puasa: Bahasa, Istilah, dan Al-Qur’an
www.majalahnabawi.com – Ibadah puasa merupakan salah satu rukun islam yang keempat. Yang mana waktu pelaksanaannya dimulai ketika matahari terbit di waktu fajar hingga matahari terbenam. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah puasa itu sendiri?
Puasa Dalam Makna Bahasa
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi V, ada dua makna puasa. Pertama, puasa sebagai verba bermakna “Meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”. Ini makna yang cukup umum. Kedua, puasa sebagai nomina dalam istilah agama Islam. Puasa diartikan sebagai “Salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari: saum”. KBBI juga memuat kata saum sebagai verba dari bahasa Arab yang hanya diartikan puasa.
Dalam bahasa Arab, ada dua kata untuk menunjuk puasa, yaitu ṣaum dan ṣiyām. Keduanya digunakan dalam al-Qur’an, juga digunakan sebagai judul kitab dalam kumpulan hadis. Secara bahasa, kata ṣaum dan ṣiyām bisa digunakan sebagai sinonim bermakna “Menahan”. Menahan dalam arti yang cukup luas, baik menahan dari makan dan minum, maupun dari berbicara, bahkan menahan dari melakukan sesuatu, baik oleh manusia, hewan, tumbuhan ataupun benda alam lainnya. Maryam ketika menahan untuk berbicara, diceritakan dalam al-Qur’an dengan kata ṣaum, “Innī nażartu lir raḥmāni ṣauman.” Kuda yang menahan diri, diam dan tidak makan, juga disifati dengan kata ṣiyām. Pohon yang bentuknya seperti manusia juga dinamai ṣaum. Angin yang diam, menahan untuk tidak bergerak, juga digunakan kata ṣaum untuk menyifatinya.
Bisa saja ṣaum dan ṣiyām dibedakan, misalnya; ṣiyām bisa juga sebagai bentuk jamak dari ṣā’im (ia yang menahan), sementara ṣaum bisa digunakan sebagai sifat untuk bentuk tunggal, muṡanā (bentu dua), dan jamak, baik muzakar (laki-laki/maskulin), maupun muanas (perempuan/feminin). Rajul ṣaum, rajulāni ṣaum, rijāl ṣaum, imra’ah ṣaum, imra’atāni ṣaum, dan nisā’ ṣaum. Penjelasan ini bisa dibaca lebih lengkap dalam kamus-kamus, seperti Lisān al-‘Arab, Maqāyīs al-Lugah, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, al-Ṣiḥāḥ, dan semisalnya. Kamus-kamus ini juga memuat makna istilah fikih.
Puasa Dalam Makna Istilah
Dalam istilah fikih, ṣaum, ṣiyām, atau puasa biasa diartikan untuk seorang mukalaf (menahan diri dari syahwat perut (makan, minum) dan syahwat kelamin (bersetubuh), atau semua yang membatalkan puasa). Tentunya, untuk memahami kata ṣaum atau ṣiyām dalam al-Qur’an dan hadis, perlu dilihat konteksnya, makna apa yang cocok untuk kata tersebut, apakah makna bahasa, atau makna istilah. Biasanya, yang lebih digunakan adalah makna bahasa, karena makna istilah fikih itu baru dirumuskan belakangan. Menggunakan makna bahasa pun, jika yang dimaksud adalah makna seperti istilah fikih, konteks di sekitar kata ṣaum dan ṣiyām akan menunjukkan itu. Kata ṣaum yang bercerita tentang Maryam di atas dengan melihat konteks kalimat, jelas terlihat bukan makna istilah fikih. Kata ṣiyām biasanya dirujukkan dengan makna istilah fikih, karena dalam al-Qur’an sendiri sudah disebutkan “Makan dan minumlah sampai benang putih fajar menjadi jelas bagi kalian dari benang hitam (malam). Kemudian, sempurnakan puasa (ṣiyām) sampai malam (magrib).”
Puasa Dalam Al-Qur’an
Kata ṣaum beserta derivasinya, setidaknya disebutkan empat belas kali dalam sebelas ayat, enam surat al-Qur’an; sā’imīn (33:35), ṣā’imāt (33:35), ṣaum (19:26), ṣiyām sembilan kali (2:183,187,187,196,196;4:92;5:89,95:85:4), taṣūmū (2:184), dan yaṣum (2:185). Adapun kumpulan ayat yang membahas puasa, terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 183-188. Adapun ayat lain, beberapa berbicara tentang sifat orang baik yang di antaranya adalah orang yang mau menahan diri (berpuasa) seperti dalam ayat (33:35).
Beberapa yang banyak berbicara tentang puasa sebagai tebusan kesalahan dengan kesadaran bertobat. Ini seperti tebusan karena secara tidak sengaja membuat orang lain terbunuh (4:92), tebusan tidak menepati sumpah (5:89), tebusan pelanggaran haji karena memburu hewan liar (5:95), dan tebusan zihar (cara talak yang tidak masuk akal dalam tradisi sebelumnya dan sangat merugikan pihak istri) di ayat (58:4). Atau, bisa juga tebusan bukan karena kesalahan, melainkan ketidakmampuan menjalankan kewajiban sehingga perlu melanggar aturan. Ini seperti rambut yang banyak kutu dan menyakitkan sehingga perlu dipotong ketika ihram, padahal itu sebuah larangan. Maka ganti atau tebusannya adalah puasa (2:196). Dan terakhir, satu ayat cerita tentang Maryam yang bernazar untuk tidak bicara (ṣaum) di ayat (19:26). Data ini bisa ditemukan dalam Fahras Jużūr Kalimāt al-Qur’ān.