dakwah

http://majalahnabawi.com – Dunia keilmuan seringkali memiliki istilah-istilah tersendiri yang berdasar pada objek setiap keilmuan tersebut. Ada sebuah kaidah dalam Ilmu Hadis yang berbunyi “Kullu al-Shahabah Udul”, di mana kaidah ini berpusat pada kesimpulan bahwa para sahabat itu tidak mungkin berbohong atas nama hadis Nabi. Artikel ini akan mengulas mengenai beberapa bantahan dan kontroversi terkait kaidah tersebut.

Apa dan Bagaimanakah Bantahan Itu?

Dalam sebuah literatur kitab karangan ulama kontemporer, Musthafa al-Azhami, yang berjudul “Manhaj al-Naqd inda al-Muhadditsin” beliau membahas tiga ulama intelektual dari Mesir yang mempermasalahkan konsep ‘adalah. Ulama intelektual tersebut yaitu Thaha Husain, Ahmad Amin dan Abu Rayyah.

Thaha Husein yang terkenal sebagai Bapak Sastra Arab Mesir mengatakan, “Mengapa kita memberikan komentar baik terhadap sahabat, sementara kita tidak melihat diri mereka sebagaimana mereka melihat diri mereka sendiri. Bahkan mereka saja menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki sifat kemanusiaan yang juga berbuat dosa dan kesalahan. Mereka juga saling melempar tuduhan sampai ada yang mencap kafir sahabat yang lain, sebagaimana Ammar bin Yasir menganggap kafir Utsman bin Affan, juga menganggap halal darahnya Utsman.

Ahmad Amin berpendapat sahabat juga saling mengkritik, dan memosisikan sebagian sahabat yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Dengan adanya realita yang demikian, mengapa para pengkritik hadis mutaakhirin mentakdilkan semua sahabat dan hanya menjarh dan mengkritik generasi yang setelahnya?

Abu Rayyah mengatakan bahwa para ulama mewajibkan mencari tahu seputar kritik rawi. Tetapi pada tingkatan sahabat mereka tawakkuf . Mereka menganggap sahabat semuanya semua adil dan tidak bisa dikritik, tidak ada jarh untuk sahabat. Abu rayyah menyatakan keheranannya mengapa bisa demikian sementara para sahabat saja saling mengkritik satu sama lain dan mengafirkan.

Tidak sampai situ, Abu Rayyah juga mempertanyakan akan posisi ahlussunnah mengapa melakukan demikian? Smentara para sahabat menurut tuturnya juga pernah menyakiti Nabi, membuat masjid dhirar, beralasan tidak ikut perang Tabuk. Menurutnya pula, salah satu surat dalam al-Quran yaitu al-Munafiqun cukup menjadi bukti kalau sahabat juga harus dikritik, terlebih para sahabat juga memiliki sifat kemanusiaan yang akan lupa dan lalai.

Semua bantahan dari intelektual di atas memiliki empat poin ringkas sebagai berikut;

1. Konsep ‘adalah bagi setiap sahabat itu hanya bagi mayoritas ulama saja, tidak ulama muhakkikin.

2. Keyakinan akan keadilan sahabat bertentangan dengan ayat al-Quran bahwa Allah juga mencela sahabat dengan surat al-Munafiqun.

3. Para sahabat juga menyadari bahwa mereka tidak lepas dari kritik dan jarh, lantas mengapa kita tidak boleh ada istilah jarh untuk mereka?.

4. Konsep “kullu al-shahabah ‘udul” menurut mereka bertentangan dengan sifat kemanusiaan. Mungkin benar dan mungkin salah pada manusia termasuk sahabat.

Bantahan Balik untuk Para Intelektual Modern

Bantahan Bahwa Ulama Muhakkikin Tak Menyatakan Keadaan Adil Semua Sahabat

Tidak diragukan lagi bahwa ke‘adalahan sahabat secara keseluruhan merupakan perkataan mayoritas ulama. Termasuk di dalamnya Imam Mazhab yang empat, para muhadditsin, Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasai, al-Tirmidzi, Ibnu Main, Abi Zura’h, Ibnu Taymiyah yang secara singkat semua ulama ahlussunnah waljamaah, ulama salaf juga khalaf. Lantas kalau di antara mereka tidak ada yang disebut muhakkikin, siapa lagi yang disebut muhakkikin? Sementara yang menyanggah hal tersebut hanyalah beberapa kelompok yang sejalan dengan pendapat para orientalis dan menyandarkannya kepada diri mereka.

Dan terrnyata bantahan tersebut tidak semata-mata berasal dari mereka. Dalam kata lain, pada asalnya merupakan pendapat orientalis yang mereka ikut terbawa karena terlalu memakai logika. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama mereka, Ahmad Amin, yang menyarankan kepada Ali Hasan Abdul Qadir menyatakan sanggahannya yang sejalan dengan orientalis untuk jangan menyandarkan hujjahnya atas nama orientalis, tetapi sandarkanlah ungkapan tersebut kepada dirimu sendiri sebagaimana yang dilakukannya dalam kitab Fajr al-Islam dan Dhuha al-Islam.

Bantahan Mengenai al-Quran Juga Menjarh Sahabat

Perlu diketahui bahwa sahabat adalah orang yang bertemu Nabi dalam keadaan beriman, dan wafat dalam keadaan beriman. Maka kalangan munafik yang disebutkan al-Quran tentu tidak merujuk kepada para sahabat yang kaum munafik itu sudah keluar dari istilah sahabat.

Di samping itu, al-Quran tidak hanya mendatangkan surat itu saja mengenai situasi di zaman Nabi. Banyak ayat dalam al-Quran yang juga menyatakan akan kesucian sahabat hingga pelarangan keras dari Nabi mencela Sahabat.

لا تَسبُّوا أصحابي فوالَّذي نَفسي بيدِهِ لَو أنَّ أحدَكُم أنفَقَ مثلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ما أدرَكَ مُدَّ أحدِهِم ولا نصيفَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada di genggamannya, seandainya kalian menginfakkan emas sebesar satu gunung uhud, niscaya kalian tidak bisa mendapat ganjaran seukuran satu mud pahala mereka, dan tidak juga sebagiannya.”

Imam al-Khatib al-baghdadi mengungkapkan hadis tersebut menyatakan akan kesucian dan pastinya sahabat dalam kondisi ‘udul. Dan bila Allah sudah menta’dilkan mereka, maka tidak perlu lagi ta’dil dari siapapun.

Para sahabat adalah orang-orang pilihan yang berada di generasi terbaik di bawah pengawasan Nabi Muhammad. Mencela mereka bukanlah perbuatan yang benar, dan mencela mereka merusak keimanan. Menghina mereka termasuk kemunafikan, karena kalau mereka tidak adil niscaya akan merusak substansi dari risalah Nabi Muhammad. Sedangkan Nabi Muhammad memerintahkan yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hal tersebut tidak lain menandakan bahwa mereka terpercaya kebenarannya di sisi Nabi Muhammad.

Adanya orang munafik begitu sedikit di zaman Nabi. Katakanlah perbandingannya 0 banding 100, karena begitu jarangnya. Sehingga keberadaan orang munafik seolah tidak ada. Dan dugaan yang dominan terhadap status mereka adalah takwa dan saleh. Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan sahabat tidak mungkin memalsukan hadis. Pertama, Para sahabat sangat mencintai Allah dan rasul-Nya. Kedua, sahabat sangat takut dosa. Ketiga, sahabat memiliki kontrol sosial yang kuat.

Bantahan terhadap Pernyataan Sahabat Saling Mengafirkan

Tidak ada satupun riwayat yang menyatakan demikian. Hanya saja ada sahabat dari kalangan anshar ketika marah menyebutkan kata-kata anta munafiq , yang itu karena sedang memuncak kemarahannya, dan ini merupakan fenomena personal yang banyak atau sering terjadi, jadi tidak bisa digeneralisir.

Adapun riwayat tentang antar sahabat saling mencap berdusta itu tidak ada sebagaimana pernyataan sayyidina Anas “Tidaklah di antara kami pernah saling mencap berdusta.” Karena berbohong termasuk sifatnya orang pengecut, dan orang Arab termasuk orang yang enggan untuk melakukan demikian apalagi saling melempar cacian.

Bantahan terhadap Pernyataan Semua Sahabat Adil Bertentangan dengan Kodrat Kemanusiaan

Syekh al-Azami membantah lagi dengan menyatakan bahwa mereka mengatakan demikian, karena tidak mengerti pengaruh pendidikan dalam kehidupan manusia juga pengaruh agama dalam membentuk kepribadian jiwa. Tabiat manusia tidaklah tetap dan tak bisa berubah seperti apa yang mereka pikirkan. Tetapi kepribadian manusia bisa terbentuk dengan proses, hingga bila mana jiwa kemanusiaan itu telah terserap padanya keimanan yang benar, maka hampir-hampir sifat manusia bisa mendekati sifat malaikat dan akan hilang dari mereka sifat dan perilaku buruk.

Seperti itulah secara umum sanggahan balik terhadap para intelektual yang sejalan dengan pemikiran orientalis yang ingin meragukan kualitas sahabat. Lantas tertarikkah anda?