Sisi Kefakihan Imam al-Tirmizi dalam Sunannya

Majalahnabawi.com – Imam al-Tirmizi lahir pada tahun 209 Hijriah di desa Tirmiz termasuk ke wilayah Bughi, Khurasan. Berumur sekitar 70 tahun. Wafat pada tahun 297 Hijriah. Keinginan kuat dalam menuntut Ilmu sudah terlihat sejak beliau masih muda. Perjalanan menuntut ilmu beliau memulai dari tempat kelahiran, yaitu Khurasan, lanjut kemudian ke Iraq, Hijaz, dan daerah lainnya.

At-Tirmizi dikenal oleh para ulama secara meluas sebagai seorang yang alim, saleh, zuhud dan warak. Salah satu karya beliau adalah Sunan Tirdmizi termasuk ke dalam kelompok kitab pokok yang enam (kutub al-Sittah).

Lebih lanjut, beliau mengklasifikasikan hadis menjadi 3 klasifikasi, yaitu shahih̜, h̜asan dan d̡ai’f setelah sebelumnya hadis dikenal dengan tingkatan shahih dan dai’f saja. Ini menjadikan al-Tirmidzi dan kitab haditsnya menarik untuk ditelaah lebih jauh.

Dari segi penamaan para ulama berbeda pendapat, apakah kitab karya Imam al-Tirmizi ini termasuk Sunan, al-shahih atau al-Jami’ al-Shahih. Yang diperselisihkan ulama ialah penamaan kitab dengan penamaan kategori kedua dan ketiga, penamaan dengan salah satu dari dua ini dianggap berlebihan, sebab al-Jami’ al-Shahih biasanya digunakan untuk kitab-kitab yang hanya memuat hadis-hadis shahih.

Kenyataannya dalam kitab Imam al-Tirmizi ini masih bercampur. Di dalamnya terdapat hadis mauquf, maqtu’, dai’f, muallal, bahkan munkar. Metode dan keutamaan Kitab Sunan al-Tirmizi penulisan kitab al-Tirmizi sama dengan metode yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari (196-256 H), Imam Muslim (206-261 H) ,Imam Abu Daud (202-275 H), dan Imam al-Nasai (215-303 H).

Adanya persamaan antara Imam al-Tirmizi dengan Imam Muslim, persamaannya terlihat dari segi pengumpulan jalur suatu hadis dengan banyaknya perawi dengan susunan matan yang satu tanpa adanya penjelasan lebih lanjut.

Imam al-Tirmizi merupakan ulama yang menerima periwayatan hadis dengan makna. secara umum dalam kitab ini terdiri dari 2.376 bab dan 3.956 hadis secara kualitas maupun kuantitas yang diriwayatkan al-Tirmidzi tidak semuanya shahih. Oleh karena itu, di sini perlu dijelaskan kualitas maupun kuantitas hadis yang terdapat di dalam kitab tersebut dengan rincian sebagai berikut:

  1. Hadits śah̜ih̜ berjumlah 158 buah = 4%
  2. Hadits h̜asan gharib berjumlah 1.454 buah = 36%
  3. Hadits śah̜ih̜ gharib berjumlah 8 buah = 0,2%
  4. Hadits h̜asan śah̜ih̜ gharib berjumlah 254 buah = 6%
  5. Hadits h̜asan berjumlah 705 buah = 18 %
  6. Hadits h̜asan gharib berjumlah 571 buah = 14 %
  7. Hadits gharib berjumlah 412 buah = 10 %
  8. Hadits d̡a`if berjumlah 73 buah = 2%
  9. Hadits tidak dinilai dengan jelas berjumlah 344 buah = 7,8

Tujuan dari sistematika penulisan kitab yang Imam al-Tirmizi gunakan diantaranya:

  • Mengumpulkan hadits-hadits Nabi secara sistematis.
  • Mendiskusikan opini hukum dari beberapa imam mazhab berdasarkan subjek. Oleh sebab itu al-Tirmidzi hanya mencantumkan hadis-hadis yang memang dicantumkan dan dipergunakan oleh para ulama terdahulu sebagai dasar keputusan pemikiran hukum mereka. Meskipun demikian, ada beberapa hadis mungkin tiga atau empat yang dikecualikan dari aturan ini.
  • Jika pada hadis-hadis tersebut ada beberapa ‘illat (cacat), kelemahan atau kekurangan, maka al-Tirmidzi kemudian akan menjelaskan letak ‘illat, kelemahan serta kekurangan dari hadis-hadis tersebut.

Dalam menyusun kitab Sunan al-Tirmidzi, metode yang biasanya digunakan oleh al-Tirmidzi adalah dengan mencantumkan judul pada setiap bab, kemudian mencantumkan satu atau dua hadis yang dapat mencerminkan dan mencakup isi judulnya. Setelah itu, al-Tirmidzi mengemukakan opini pribadi tentang kualitas hadis tersebut apakah śah̜ih̜, h̜asan atau d̡a`if.

Untuk tujuan ini al-Tirmidzi menggunakan istilah yang tidak biasa dipakai oleh para ulama sebelumnya. al-Tirmidzi juga seringkali mencantumkan opini-opini yurisprudensi para ahli hukum terdahulu, para imam mazhab yang berkaitan dengan berbagai macam masalah hukum Islam (fiqh).

Lebih dari pada itu al-Tirmidzi juga menunjukkan jika masih ada beberapa hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat lainnya yang berkenaan dengan masalah yang sama.Bukan hanya itu, beliau menyusunnya ke dalam bab-bab. Secara keseluruhan terdiri dari 2.376 bab dan 3.956 hadits dengan perincian sebagai berikut: Juz I terdiri dari 2 kitab, yaitu tentang ThahƗrah dan Shalat, yang meliputi 184 bab dan 237 hadits. Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, ‘Idayn dan Safar, meliputi 260 bab dan 355 hadits. Juz III terdiri dari kitab zakat, ShiyƗm, Haji, JanƗzah, nikah, RadƗ`, Talak dan Li’Ɨn, Buynj’ dan al-AhkƗm, yang meliputi 516 bab dan 781 hadits. Juz IV terdiri dari kitab DiyƗt, H̡udnjd, Sa’Ưd, Zabi’ah, Ah̡kƗm dan Wa’id, D̡ahi, Siyar, Fad̡ilah Jihad, Libas, Ath’imah, Asyribah, Birr wa Silah, al-Tibb, Fara`id, Wasaya, Wali dan Hibah, Fitan, al-Ra`yu, Syahadah, Zuhd, Qiyamah, Raqa`iq dan Wara`, Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997 hadits. Juz V terdiri dari 10 pembahasan yaitu tentang iman, ilmu, Isti`zan, Adab, al-Nisa`, Fada`il al-Qur`an, Qira`ah, Tafsir al-Qur`an, Da`awat, Manaqib yang kesemuanya meliputi 474 bab dan 773 hadits, ditambah dengan pembahasan ilal.( Sutarmadi, 1988: 160).

Dengan memperhatikan pembagian juz dalam kitab Sunan al-Tirmidzi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kitab tersebut terlihat sistematis dan mudah, sehingga terjadinya pengulangan hadis menjadi terhindarkan. Oleh karena itu kitab tersebut lebih dapat mencakup banyak masalah.

Di samping itu juga ada keutamaan yang lainnya dari kitab ini, sebagaimana yang beliau tuturkan: Setelah aku menyelesaikan kitab ini, aku menyodorkannya kepada ulama-ulama Hijaz, Iraq, Khurasan lalu mereka memberikan apresiasi karya ini, maka barangsiapa yang ada kitab ini di rumahnya niscaya Nabi Muhammad seolah-olah bersabda di dalamnya”. Sebuah pengkuan yang tulus juga diungkapkan oleh Imam Al-Bukhari (194-256): “Ilmu yang saya ambil manfaat darimu itu, lebih banyak daripada manfaat ilmu yang kamu ambil dariku”

Sisi Kefaqihan Imam al-Tirmizi

Penamaan kitab ke dalam kategori Sunan sudah mengindikasikan sisi pengetahuan beliau tentang fikih, sebab Sunan merupakan pengelompokkan hadis berdasarkan masalah-masalah fikih, sudah tentu beliau memahami fikih terlebih dahulu, mustahil menurut akal seandainya muncul ide lalu menyusun hadis berdasarkan masalah fikih.

Beliau meriwayatkan hadis dari ulama-ulama besar pada masanya, sehingga menjadi pengaruh yang besar terhadap pengetahuan beliau dalam bidang hadis dan fikih. Bukan semata-mata meriwayatkan saja, tetapi juga mencantumkan fikih dari hadis-hadis yang diriwayatkan, meng-istinbath-kan (menggali hukum) syariat, dan melihat kepada mazhab-mazhab fikih yang berselisih tentang suatu hadis apakah mereka menjadikan sebagai dalil atau tidak.

Imam Abu Nashr Abd al-Rahim Ibn Abd al-Haq menuturkan tentang macam-macam hadis yang terdapat dalam Kitab Sunan al-Tirmizi, sebagaimana yang dituturkan oleh Imam al-Tirmizi sendiri :

“Aku tidak meriwayatkan suatu hadis pun dalam kitabku ini terkecuali hadis itu telah diamalkan terlebih dahulu oleh para fuqaha (ahli fikih)”Contoh:

باب : ما جاء لا تقبل صلاة بغير طهور

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ ح وَحَدَّثَنَا هَنَّادٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ إِسْرَائِيلَ ، عَنْ سِمَاكٍ ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “ لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ، وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ “. قَالَ هَنَّادٌ فِي حَدِيثِهِ : إِلَّا بِطُهُورٍ.حكم الحديث: صحيح

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Simak bin Harb, dan telah menceritakan kepada kami Hannad berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Israil dari Simak dari Mush’ab bin Sa’d dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Tidak akan diterima salat yang dilakukan tanpa bersuci, dan tidak akan diterima sedekah yang berasal dari harta curian.” Hannad menyebutkan dalam haditsnya, “Tidak suci.” Abu Isa berkata, “Hadits ini adalah yang paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”

Dalam bab tersebut juga ada hadits dari Abu Al Malih dari Bapaknya dan Abu Hurairah dan Anas. Dan Abu Al Malih bin Usamah namanya adalah Amir, disebut juga Zaid bin Usamah bin Umair Al Hudzali.”Hadis ini menjelaskan tentang sedekah tetapi kewajiban untuk bersuci. Hadis ini menjelaskan tentang sedekah yang tidak diterima alias tidak ada nilai pahalanya. Ini dikarenakan sedekah dengan cara tipu daya. Misalnya bersedekah tetapi dengan hasil korupsi.

Dari sisi fikihnya membahas tentang anjuran untuk bersuci yaitu berwudu sebelum shalat. Imam At-Tirmizi memasukkan hadis ini kedalam bab :

ما جاء لا تقبل صلاة بغير طهور

Tidak diterimanya shalat tanpa bersuci.

Ini sesuai dengan susunan kitab fikih, contohnya seperti kitab Fathul Qarib yang dimulai dengan masalah bersuci. Dari Ini diketahui Imam al-Tirmizi membaca dan menalaah fikih.Contoh

باب : ما جاء أن مفتاح الصلاة الطهور

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ ، وَهَنَّادٌ ، وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ ، قَالُوا : حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ سُفْيَانَ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ ، عَنْ عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ “.هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ. وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ هُوَ صَدُوقٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ. وَسَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ يَقُولُ : كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَالْحُمَيْدِيُّ يَحْتَجُّونَ بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ. قَالَ مُحَمَّدٌ : وَهُوَ مُقَارِبُ الْحَدِيثِ. وَفِي الْبَابِ عَنْ جَابِرٍ وَأَبِي سَعِيدٍ.حكم الحديث: حسن صحيح

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dan Hannad dan Mahmud bin Ghailan mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Muhammad Ibnul Hanafiah dari Ali dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Kunci salat adalah bersuci, keharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.” Abu Isa berkata, “Hadits ini adalah yang paling shahih dan paling baik dalam bab ini. Abdullah bin Muhammad bin Aqil adalah seorang yang jujur, namun ada beberapa ahli ilmu yang memperbincangkan tentang hafalannya. Abu Isa berkata, “Aku telah mendengar Muhammad bin Isma’il berkata, “Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim dan Al Humaidi, mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Muhammad bin Aqil. Muhammad berkata, “Masanya berdekatan.” Abu Isa berkata, “Dalam bab ini juga ada riwayat dari Jabir dan Abu Sa’id.”

Dalam hadis ini tercantum nama Imam Ahmad Ibn Hambal (164-241 H), ahli fikih beliau merupakan pendiri Mazhab Hambali. Ditulis di bagian hadis ini karena beliau menjadikan hadis ini sebagai dalil. Hadis ini menjelaskan tentang bahwa seseorang ketika hendak mulai shalat hendaklah didahului dengan berwudu atau bersuci. Ini juga menjadi bukti bahwa Imam al-Tirmizi di samping beliau paham dan ahli dalam ilmu hadis, beliau juga paham tentang fikih.

Dari sini kita dapat mengetahui antara fikih dan hadis tidak ada dikotomi. Kemudian hal ini juga sekaligus membuktikan kepada kelompok yang terlalu mengagungkan-agungkan kembali kepada Al-Quran dan hadis, kalau hadis tidak berbicara mengenai suatu hal amalan maka amalan itu dianggap sesat dan langsung diberi label kafir kalau beramal tanpa keduanya. Seandainya seruan ini benar mengapa kemudian Imam al-Tirmizi saja yang ahli dalam hadis masih membaca dan mendalami mazhab-mazhab fikih.

Similar Posts