Tipologi Manhaj Nabi ﷺ
Nabi Muhammad ﷺ sebagai manusia panutan seru sekalian alam. Tindak-tanduk beliau sebagai manusia pilihan menjadi suatu hal yang menarik untuk kita teliti dan telusuri, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya. Dalam membumikan ajaran langit, apa saja manhaj atau metode yang beliau gunakan ketika mendakwahkan ajaran Allah ﷻ? Sehingga ajarannya maqbul dengan mudah dan membuncah di seluruh penjuru negeri.
Hal itu tentunya tidak terlepas dari metode yang beliau gunakan dalam mendakwahkan Islam kepada umatnya. Nah, sisi ini bagi Penulis menjadi suatu hal yang cukup menarik untuk dikaji. Namun sebelum kita lebih jauh, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu manhaj?
Definisi Manhaj
Manhaj sendiri, secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata kerja نهج yang artinya jalan, metode, cara, atau jejak (lihat: Lisan al-Arab). Adapun secara terminologi, manhaj adalah suatu metode atau cara yang seseorang tempuh untuk sampai kepada hakikat atau pengetahuan terhadap sesuatu. (lihat: Manhaj al-Bahts al-Adabi).
Dengan demikian, manhaj Nabi ﷺ bisa kita artikan metode ataupun cara yang Nabi ﷺ tempuh dalam menyampaikan ajaran Tuhan kepada umatnya. Apa saja kira-kira metode yang Nabi ﷺ terapkan dalam menyampaikan ajarannya? Berikut ini kira-kira ada lima metode yang beliau gunakan dalam menyampaikan ajaran (Sunnah) tersebut. Baik mari kita simak!
Pertama, Manhaj Syumuli atau Holistik (menyeluruh)
Nabi ﷺ adalah teladan dalam seluruh aspek kehidupannya. Keteladanannya terbentang panjang semenjak beliau di janin hingga wafat.
Juga terbentang lebar mencakup segala sisi kehidupannya: di rumah, pasar, masjid, jalan, pekerjaan, berhubungan dengan Allah, berhubungan dengan diri sendiri, berhubungan dengan keluarga, berhubungan dengan orang lain baik yang Muslim ataupun yang non-Muslim, bahkan berhubungan dengan hewan dan benda mati.
Keteladanannya juga menghujam dalam segala dimensi kehidupan manusia, meliputi jasmani, akal serta ruhani, secara lahir maupun batin, dan secara komprehensif/inklusif mencakup perkataan, perbuatan serta niat. Yang mana semuanya perlu untuk kita teladani dalam kehidupan ini.
Kedua, Manhaj Mutawazin (Seimbang)
Ajarannya Nabi Saw (sunnah)nya adalah keseimbangan antara ruhani dan jasmani, antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat, antara idealisme dan realitas, antara teori dan aplikasi, antara yang fisik dan metafisik, antara kebebasan dan tanggung jawab, antara individual dan sosial, antara ‘ittiba (keharusan mengikuti) dan ibtida’ (memberi ruang kreatifitas). Itu semua merupakan manhaj yang moderat untuk umat yang moderat.
Oleh karenanya, pernah waktu itu ada 3 orang sahabat yang Nabi tegus karena terlalu berlebihan dalam perihal akhirat. Salah satu dari mereka berniat untuk salat malam selamanya tanpa tidur, salah seorang yang lain berniat untuk puasa selama hidupnya, dan yang terakhir berniat untuk tidak beristri agar bisa beribadah maksimal.
Bagaimanapun juga perihal dunia dan juga akhirat itu harus seimbang. Nabi ﷺ saja manusia yang paling takut dan bertakwa kepada Allah Swt tetap salat dan juga tidur, beliau berpuasa dan di hari lain beliau tidak berpuasa, dan beliau juga menikahi wanita. Artinya dalam beribadah itu jangan sampai berlebihan hingga melupakan sisi duniawi, karena itu juga penting bagi manusia.
Ketiga, Manhaj Takamuli (Integrasi)
Dalam menyampaikan ajarannya, Nabi ﷺ memadukan, menyempurnakan, mengintegrasikan antara keimanan dengan pengetahuan, antara wahyu dan akal, serta antara syariat dan pendidikan/pengajaran.
Dalam pendidikan sendiri, cakupannya meliputi: formasi/pembentukan, dies natalisasi, dan arahan. Sedangkan dalam syariat cakupannya meliputi: proteksi/perlindungan, perintah, pendisiplinan, dan balasan.
Maka, tidak cukup pendidikan saja tanpa beriringan dengan syariat. Ataupun sebaliknya, tidak cukup syariat saja tanpa seimbang dengan pendidikan. Karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam ajarannya Nabi ﷺ.
Keempat, Manhaj Waqi’i (Faktual, Aktual, Realistis, dan Pragmatis)
Dalam realitasnya, ajaran Nabi ﷺ tidak berlaku untuk para malaikat yang senantiasa taat dan patuh kepada Allah Swt, melainkan berlaku untuk umat manusia. Yang butuh makan dan minum, yang punya kebutuhan serta hawa nafsu, dan keinginan-keinginan lain yang berkaitan dengan sifat manusia. Adakalanya manusia melakukan khilaf dan juga dosa. Namun adakalanya juga manusia bertaubat dari dosanya.
Oleh karenanya, ajarannya Nabi ﷺ (yang terkenal dengan sunnah) adalah untuk menjaga segala kelemahan yang ada pada diri manusia. Dalam cakupan ajarannya Nabi ﷺ, yaitu membolehkan hal-hal yang agama membolehkannya dan melarang hal-hal yang agama larangnya.
Adakalanya, ajaran Nabi ﷺ membolehkan sesuatu yang dilarang. Tentunya hal itu diperbolehkan jika dalam keadaan atau situasi tertentu. Misalnya boleh memakan daging babi untuk kelanjutan bertahan hidup, karena sudah tidak menemukan makanan halal yang lain. Jika daging babi tersebut tidak dimakan, maka besar kemungkinan dia akan segera menemui ajalnya. Sekali lagi hal itu diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu saja.
Begitupun juga ajarannya Nabi ﷺ menegaskan selalu terbukanya pintu taubat bagi para pelaku maksiat, selama ajal belum menjemputnya. Serta ealitas-realitas lain yang berhubungan dengan manusia.
Kelima, Manhaj Muyassir (Memudahkan)
Nabi ﷺ tidak pernah mempersulit umatnya dalam beragama, beliau justru diutus untuk memberi kemudahan. Hal ini bisa kita lihat dalam sabdanya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk memaksa orang atau menjerumuskannya, akan tetapi Dia mengutusku sebagai seorang pengajar dan orang yang memudahkan urusan” (HR. Muslim).
Hal inilah yang Nabi ajarkan kepada para sahabatnya untuk tidak mempersulit suatu urusan. Sebagaimana nasihat Nabi Saw kepada Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal yang kala itu beliau utus untuk berdakwah di daerah Yaman.
Kelima ajaran inilah yang menjadi tipologi ajaran yang Nabi Muhammad emban dalam membumikan ajaran langit. Semua manhaj ini akan kita temukan di semua aspek kehidupan beliau sehari-hari, baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-siatnya.
(lihat: Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Syikh Yusuf al-Qaradhawi, dan lihat pengantar buku Ramadhan Bersama Nabi karya guru kami Ustadz Ulin Nuha Mahfudhon)