Undang-Undang Hari Raya
Majalahnabawi.com – Hari raya Idul Fitri 1427 H dan Idul Adha sudah berlalu, tapi ia meninggalkan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Pertama, seperti diberitakan, kedua hari besar umat Islam itu berlangsung kembar. Hari Idul Fitri terjadi kembar empat, yaitu pada hari Sabtu, Ahad, Senin, dan Hari Selasa. Kedua, perbedaan Lebaran itu justru terjadi setelah tercapainya kesepakatan para pihak untuk menyatukan dan mengakhiri perbedaan Lebaran di Indonesia.
Hari Raya di Berbagai Negara
Tampaknya fenomena perbedaan Lebaran hanya terjadi di Indonesia. Seorang kawan yang lama tinggal di Mesir mengatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai perbedaan Lebaran di sana. Selama sembilan tahun bermukim di Arab Saudi, kami juga tidak pernah mengalami perbedaan hari raya.
Di Malaysia, seorang kawan berkata, siapa berlebaran di luar ketetapan kerajaan, ia akan ditangkap polisi. Sementara di Brunei, perbedaan Lebaran dinilai sebagai tindakan subversif karena dianggap melawan kebijakan sultan.
Yang menarik justru di Pakistan. Kendati di lapangan tidak pernah terjadi perbedaan Lebaran, kelompok oposisi selalu mencari peluang untuk berlebaran di luar ketetapan pemerintah. Tampaknya kelompok oposisi di Pakistan hendak menjadikan perbedaan Lebaran sebagai salah satu cara untuk membuktikan eksistensi dan kekuatan mereka, sekaligus membangun popularitas untuk tujuan politik. Hanya saja, upaya mereka selalu gagal karena Pemerintah Pakistan memiliki peraturan yang dapat menghilangkan perbedaan dalam berlebaran.
Perbedaan Lebaran Menurut Islam
Perbedaan Lebaran sebenarnya dibenarkan Nabi SAW. Hanya saja, hal itu karena perbedaan negara dan akibat perbedaan dalam melihat bulan. Sementara perbedaan Lebaran di Indonesia terjadi dalam satu negara akibat perbedaan metode dalam menetapkan tanggal 1 Syawal. Perbedaan Lebaran dalam satu negara seharusnya tidak perlu terjadi karena, selain dapat menimbulkan disintegrasi umat, juga mencerminkan kepemimpinan umat yang masih carut-marut.
Dalam hukum Islam ada dua kategori masalah khilafiah. Pertama, masalah individual, seperti batalnya wudu karena persentuhan kulit pria dan wanita. Masalah ini tidak berpotensi menimbulkan perpecahan umat. Karenanya, pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap masalah ini. Kedua, yang bersifat massal (jama’i), seperti penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah. Masalah khilafiah kedua ini berpotensi menimbulkan disintegrasi umat.
Dalam disiplin hukum fikih, untuk masalah khlilafiah kedua ini, pemerintah wajib melakukan intervensi guna menjaga keutuhan umat. Pemerintah wajib mengambil satu keputusan. Apabila pemerintah sudah mengambil keputusan, maka perbedaan pendapat dinyatakan tidak ada lagi. Masyarakat wajib menaati keputusan pemerintah. Inilah makna kaidah fikih hukm al-hakim mulzim wa yarfa’u al-khilaf (keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan).
Sementara dasar kewajiban masyarakat untuk menaati keputusan pemerintah adalah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amr (pemerintah) kamu” (An-Nisaa: 59). Mereka juga wajib bersatu dan Allah melarang umtuk bercerai-berai (Ali Imran: 103).
Penyatuan Lebaran ala MUI
Karenanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai pertemuan Ulama Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia bersama pimpinan organisasi Islam tingkat pusat. Pertemuan pada 14-16 Desember 2003 di Hotel Indonesia, Jakarta, itu tidak membahas validitas metode rukyat dan hisab dalam menetapkan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal, karena metode-metode itu merupakan ijtihad yang bersifat dhanni (dugaan kuat) dan validitasnya relatif, di samping tiap kelompok mengklaim hanya metodenya yang benar.
Pertemuan itu membahas, antara lain, bagaimana menyatukan Lebaran. Ada tiga butir keputusan yang sangat strategis dari pertemuan itu. Pertama, yang berhak menetapkan 1 Ramadan, Syawal, dan 1 Zulhijah untuk wilayah negara kesatuan Republik Indonesia adalah Menteri Agama Republik Indonesia.
Kedua, dalam menetapkan hal tersebut, Menteri Agama menggunakan metode rukyat dan hisab. Ketiga, umat Islam Indonesia wajib menaati keputusan Menteri Agama dalam hal tersebut. Keputusan itu kemudian diformalkan dalam bentuk Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004.
Dengan lahirnya keputusan dan fatwa MUI itu, seyogianya tidak ada lagi perbedaan Lebaran. Ternyata, dua tahun kemudian, perbedaan Lebaran itu muncul kembali, bahkan ada empat Lebaran. Pemicunya, para pemimpin umat Islam di Indonesia masih sering lupa.
Sekiranya mereka tidak lupa terhadap keputusan dan fatwa MUI di atas, tentulah perbedaan Lebaran itu tidak terjadi. Namanya juga lupa, siapa yang bisa melarang? Atau keputusan dan fatwa itu belum efektif untuk menyatukan Lebaran, sehingga masih diperlukan lagi satu perangkat hukum, yaitu Undang-Undang Hari Raya.