Urgensi Ilmu Dalam Kehidupan
Majalahnabawi.com – Bila gajah mati meninggalkan gading, maka manusia mati meninggalkan sejarah. Akan tetapi, manusia bukanlah gajah yang tak berakal. Begitupun sebaliknya, gajah bukanlah manusia yang tak bergading. Ada hal menarik tentang gajah dan manusia yang perlu di ketahui. Yang berharga dari gajah adalah kekuatan fisik. Sementara yang berharga dari manusia adalah kekuatan pekerti dan ilmunya. Sejatinya antara gading dan ilmu tidak pantas untuk dibandingkan. Karena ilmu merupakan sesuatu yang sangat mulia. Ilmu akan tetap melekat pada pemiliknya kendati ia sudah tinggal tulang belulang dalam kubur. Demikian juga gading akan terlepas manakala gajah mati dalam waktu yang tidak terlampau lama.
Sejarah telah membuktikan, betapa para ilmuwan tetap hidup sepanjang masa. Kendati mereka telah tiada berabad-abad lamanya. Mereka dianggap masih hidup karena memiliki ilmu yang abadi, dan masih tetap menerangi kehidupan manusia. Begitu pula keberadaan keilmuan mereka yang masih tetap dimuliakan, diperhatikan, dan dijadikan pertimbangan bagi generasi sesudah mereka. Seperti halnya Imam Syafi’i, Imam al-Ghazali, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan para ilmuan lainnya. Mereka merupakan pakar ilmuwan yang karya-karyanya masih tetap abadi sampai sekarang.
Ilmu Membuat Pemiliknya Kekal
Bila kita perhatikan, sering kali kita berkumpul dengan beragam manusia yang mempunyai pengetahuan berbeda-beda. Namun, nama kita tidak disebutkan. Mengapa demikian? Tentu jawabannnya karena kita tidak berilmu atau berilmu akan tetapi tidak mampu menerangi kehidupan manusia. Maka dari itu, sangat tepat sekali perumpaan bahwa orang yang bodoh itu mati sebelum dirinya mati. Karena kehidupannya sudah tidak di perhitungkan lagi layaknya manusia yang sudah mati.
Syeikh al-Ajal Zhahiruddin yang dikenal dengan al-Maghribani di dalam kitab Ta’limu al-Muta’allim menulis sebuah syi’ir:
الجاهلون فموتى قبل موتههم # والعالمون وان متوا فأحياء
“Orang-orang bodoh itu mati sebelum mereka mati, sedangkan orang-orang alim itu hidup sekalipun mereka telah mati”
Kemudian Syeikh Burhanuddin menambahkan:
أخواالعلم حي خالد بعد موته # وأوصاله تحت التراب رميم
وذوالجهل ميت وهو يمشي على الثرى # يضن من الاحياء وهو عديم
“Orang yang berilmu akan tetap hidup kekal setelah ia mati, meskipun persendian badannya hancur tertimbun tanah. Sedangkan orang bodoh itu mati meskipun ia masih berjalan diatas bumi, ia disangka orang yang masih hidup padahal telah tiada”
Dengan demikian, mencari ilmu tidak boleh memiliki tujuan agar nama kita abadi. Memiliki ilmu bukan hanya menjadi tujuan pokok dalam belajar. Lebih dari itu, ilmu merupakan alat agar kitab bisa mengenal diri sendiri, bahwa diri kita adalah hamba yang lemah serta tidak mempunyai kemampuan apapun tanpa Rahmat dari Alah Swt. Dengan pengertian inilah, kita bisa menyembah tuhan tanpa pijakan apapun selain bahwa kita adalah hamba yang harus taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.