Majalahnabawi.com – Fashion bukanlah tolak ukur seorang ulama. Justru kecerdasan dan luasnya wawasanlah yang menjadi tolak ukur seseorang dapat disebut sebagai pewaris Nabi. Hal ini adalah salah satu dari sekian fenomena yang perlu disoroti. Karena fenomena seperti ini sudah mewabah sampai ke lapisan bawah masyarakat. Jika tidak segera ditindaklanjuti, khawatir mewabah ke generasi berikutnya.

Tema ini diangkat dari diskusi singkat kelas “Fikih Dakwah”, bersama Ust. Ulin Nuha, dosen di pesantren Darus-Sunnah Jakarta. Berangkat dari buku “Pengajian Ramadhan Kiai Duladi” karya Kiai Ali Mustafa Yaqub, mantan imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, yang juga selaku pendiri pondok pesantren Darus-Sunnah.

Zaman sekarang sangat mudah untuk menjadi seorang ustaz atau kiai. Cukup berpenampilan seperti seorang ulama saja, dengan mudah orang-orang akan mengatakan bahwa itu adalah seorang ulama. Padahal untuk menjadi seorang mubalig yang merupakan pewaris para Nabi itu butuh proses yang sangat panjang, tidak hanya belajar dari konten youtube atau belajar dari google. Hal yang keliru jika seorang tokoh yang baru hijrah, misalnya, atau orang yang baru mengenal agama Islam, begitu berpenampilan dengan menggunakan surban dan memakai baju gamis, langsung disebut sebagai seorang alim ulama.

Seorang mubalig memiliki beberapa kriteria yang perlu diketahui. Pencatatan kriteria dimaksudkan agar masyarakat tidak mudah menyebut seseorang dengan sebutan ustaz atau kiyai hanya dengan melihat dari penampilannya saja. Adapun kriteria seorang muballig adalah sebagai berikut:

Takut Kepada Allah

Seorang mubalig itu ditandai dengan sikapnya yang hanya takut kepada Allah SWT., rasa takut ini biasanya dikenal dengan istilah khasy-yah. Maksud dari sifat ini adalah seorang hamba yang takut kepada khaliq tapi diiringi dengan proses pendekatan dan ketaatan kepada-Nya.

Ilmu Agama

Sebelum memiliki sifat khasy-syah, seorang mubalig harus memiliki pemahaman ilmu agama yang mumpuni. Tidak hanya memiliki ilmu agama, tapi juga harus diamalkan. Karena selain sebagai seorang pendakwah, orang-orang akan menjadikannya sebagai teladan dan tempat menyandarkan semua persoalan agama.

Akrab Dengan Golongan Kecil

Seorang muballig tidak hanya dekat kepada lapisan masyarakat atas saja, tapi juga tidak menjauhinya. Pedakwah itu harus lebih dekat dengan golongan lemah, rakyat kecil dan kaum mustadh’afin. Hal demikian telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Berusia Empat Puluh Tahun

Usia empat puluh tahun adalah puncak kematangan mental seseorang. Mengapa usia ini termasuk salah satu kriteria mubalig? Karena tantangan seorang pendakwah itu tidak hanya menghadapi jamaah yang biasa-biasa saja. Tapi juga mendapatkan jamaah yang arogan, apa lagi jamaah yang berbeda pemahaman dengan pendakwahnya, otomatis akan disikapi dengan cara tidak baik, bahkan dicaci dan dimaki, maka dari itu seorang pendakwah harus siap dari segi mental.

Wallahu a`lam