Yang Wajib Mengangkat Pemimpin, Cara dan Sistemnya Bebas
Majalahnabawi.com – Pertanyaan dasar yang hendak diajukan adalah: apakah keharusan mengangkat seorang pemimpin berdasarkan penilaian akal atau perintah agama? Pertanyaan ini penting diutarakan demi mengukuhkan posisi seorang pemimpin dalam suatu komunitas masyarakat bahwa keberadaannya merupakan suatu kebutuhan. Selain itu, pertanyaan tersebut untuk memastikan alasan argumentatif terkait keberadaan pemimpin menurut kedua perspektif di atas.
Imam al-Mawardi di dalam kitabnya, al-Ahkam al-Sulthaniyah, dengan cukup lugas menguraikan jawaban pertanyaan tersebut. Menurut sebagian golongan, bahwa mengangkat seorang pemimpin bagi suatu kelompok masyarakat merupakan keharusan berdasarkan penilaian akal. Secara naluri alamiah dan dalam kondisi sadar, kodrat manusia membutuhkan sosok yang bisa menyelesaikan konflik dan pertikaian antar sesama manusia.
Karena setiap manusia pasti menginginkan hidup yang damai, akur, dan tentram. Oleh karenanya, dibutuhkan sosok yang mampu mewujudkan keinginan tersebut. Mengatur kelompok masyarakat demi mewujudkan hal itu tidak mungkin berjalan dengan sendirinya. Oleh karenanya, sangat logis jika keberadaan pemimpin harus dibentuk bagi setiap kelompok masyarakat. Akal yang normal secara otomatis menerima dan mendukung agenda tersebut.
Sedangkan menurut golongan lain, bahwa mengangkat seorang pemimpin merupakan keharusan yang diperintah agama. Sebab tugas utama pemimpin adalah menjalankan dan menghidupkan ajaran-ajaran agama di tengah-tengah masyarakat, sehingga agama memiliki otoritas untuk membuat aturan berupa keharusan mengangkat seorang pemimpin. Bagi golongan ulama ini, akal hanya mampu mengidentifikasi perbuatan yang adil dan zalim, yang baik dan buruk. Adapun mengenai urusan kepemimpinan, akal tidak mempunyai hak untuk mengaturnya.
Sebagai penguat dari pendapat golongan kedua ini, dalil yang dikemukakan berupa ijmak para sahabat ketika mengangkat Abu Bakar ra. sebagai khalifah (pengganti) baginda Nabi Muhammad Saw. pada tragedi Saqifah sebagaimana pernah diuraikan sebelumnya. Tragedi yang kemudian menjadi ijmak para sahabat itu menjadi hujah keharusan mengangkat pemimpin, yang dalam hal ini bertugas sebagai pengganti Nabi dalam mengelola urusan pemerintahan. Abu Bakar ra. pun menegaskan hal tersebut dalam suatu riwayat:
وَقَدْ قِيْلَ لِأَبِيْ بَكْرٍ: يَاخَلِيْفَةَ اللهِ، فَقَالَ لَسْتُ بِخَلِيْفَةِ اللهِ وَلَكِنِّي خَلِيْفَةُ رَسُوْلِ اللهِ
“Ada seseorang yang memanggil Abu Bakar: “Wahai khalifah Allah”, Abu Bakar pun menanggapinya: “saya bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.”
Terkait pernyataan Abu Bakar tersebut, Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya memberikan komentar bahwa perihal pergantian itu hanya berlaku bagi sesuatu yang sudah tidak ada (wafatnya baginda Nabi), bukan bagi sesuatu yang masih ada (keberadaan Allah). Jadi sudah tepat apa yang diucapkan Abu Bakar di atas tersebut. Beliau mengganti posisi Nabi dalam urusan kepemimpinan umat.
Untuk menengahi kedua golongan tadi, Abdul Wahab Khalaf memberikan pendapat alternatif dengan cara mendamaikan keduanya. Bahwa hakikatnya akal dan agama tidak bertentangan dalam menyikapi keharusan suatu kelompok masyarakat untuk mengangkat seorang pemimpin. Kedua perspektif itu memiliki peran masing-masing. Akal sebagai instrumen yang memberikan kesadaran pada manusia bahwa untuk menerapkan suatu aturan dan melindungi individu dibutuhkan pemimpin selaku penguasa yang menahkodai urusan kelompoknya.
Adapun agama selaku pesan-pesan tuhan berkontribusi berupa mendukung apa yang dinilai benar oleh akal tadi. Karena akal sehat dengan agama pasti berjalan secara berkelindan. Keduanya bukan seperti gaya magnet dengan kutub yang sejenis sehingga ketika didekatkan terjadilah tolak menolak. Akal dan agama akan saling mendukung untuk membuktikan kebenaran satu sama lain. Demikian juga terkait pengangkatan seorang pemimpin, agama mengiyakannya karena dinilai baik oleh akal sehingga mendukung sepenuhnya akan penilaian tersebut.
Walhasil, pendapat Wahab Khalaf dapat dijadikan sebagai pegangan karena telah berhasil mengolaborasikan agama dan akal untuk bersepakat tentang keharusan pengangkatan pemimpin.
Pada langkah selanjutnya, setelah seorang pemimpin diangkat terbentuklah apa yang disebut dengan pemerintah. Agama (Islam) seringkali menyebutnya dengan Khilafah atau Imamah. Kedua terminologi merupakan sinonim yang secara substansi memiliki arti yang sama. Hanya saja perbedaannya pada sosok yang diangkat sebagai pemimpinnya. Jika dalam Khilafah disebut sebagai khalifah, sedangkan dalam Imamah disebut dengan Imam.
Islam sendiri tidak terlalu memperdulikan kedua term tersebut. Hal ini diperkuat dengan data-data di dalam literatur politik Islam klasik maupun modern yang hampir tidak didapati kata sepakat untuk memilih salah satu keduanya. Karena para pengarang literatur itu menyadari sepenuhnya bahwa Islam tidak pernah menetapkan nama dan sistem pemerintahannya. Meskipun di dalam literatur tersebut disebutkan kata Khilafah atau Imamah, itu hanya sebatas istilah bahasa saja. Bukan sebagai sebuah sistem atau bentuk pemerintahan yang pakem berdasarkan dalil sharih (lugas) dari al-Quran maupun Hadis.
Memang jika ditelusuri di dalam kedua sumber ajaran Islam itu akan ditemukan kata khalifah, namun maksud dari kata itu yang terdapat di dalam kedua sumber itu bukan bermakna penguasa dalam konteks pemerintahan. Ini bisa dilihat dan sudah dibahas panjang lebar oleh para ulama kitab-kitab tafsir dan syarh hadis. Karena mereka mengetahui ada hal lain yang lebih difokuskan oleh Islam. Dan ini sekaligus menjadi misi Islam dalam mengharuskan mengangkat seorang pemimpin.
Misi itu berupa menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan bahaya terhadap manusia. Ini lebih jelas signifikansinya daripada membakukan sebuah sistem pemerintahan. Karena pemerintahan itu hanya sekedar bungkus, sedangkan misi itu sebagai isinya. Bagi Islam, isi lebih penting ketimbang bungkusnya. Kalau kelakar para kiai: mau milih mana minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi?
Misi tersebut semakin diperkuat dengan sejarah pengangkatan al-khulafa’ ar-rasyidun yang berbeda-beda setiap masanya. Logika yang paling sederhana: jika memang Islam sudah menetapkan sebuah sistem pemerintahan yang baku, mana mungkin pengangkatan khalifah yang empat itu mempunyai beragam cara? Meskipun sama-sama disebut khalifah, namun hal ini bukan menjadi dalil teologis dengan mengatakan bahwa khilafah itu pemerintahan yang dibakukan oleh Islam. Karena para sahabat menggunakan istilah itu dengan maksud sebagai pengganti dari pemimpin sebelumnya.
Berhubung baginda Nabi tidak meninggalkan sabdan atau wasiat terkait (minimal) cara dan sosok yang ditetapkan sebagai pemimpin, makanya sebelum Abu Bakar diangkat sebagai khalifah pertama sempat terjadi percekcokan antara kaum Muhajirin dan Anshor. Hal juga berdampak pada cara pengangkatan masing-masing khalifah tersebut. Kendati demikian, seluruh khilafah yang empat tadi sama-sama mempunyai satu misi sebagaimana dicanangkan oleh Islam itu tadi.
Itu akan semakin tampak pada kebijakan-kebijakan para khalifah dalam setiap kemimpinannya. Setiap mereka membuat kebijakan yang berorientasi kemaslahatan bersama meskipun tidak pernah disinggung oleh nash atau dilakukan oleh baginda Nabi. Selama kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan nash, dan itu akan berdampak positif, para khalifah itu tidak akan berfikir dua kali untuk menetapkannya.
Seperti kebijakan Abu Bakar yang memberikan wasiat agar Umar bin Khattab sebagai penggantinya, penetapan Umar bin Khattab berupa ketika suami menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam satu kalimat maka konsekuensinya langsung terjadi talak tiga, keputusan Utsman bin Affan untuk menambah adzan dua kali sebelum solat Jum’at didirikan, demikian juga Ali bin Abi Thalib dalam memberikan sanksi agar lebih manusiawi meskipun kriminal yang dilakukan sangat sadis.
Itulah beberapa contoh kebijakan para khalifah ketika menjabat sebagai pemimpin. Tampak sangat jelas di sana kalau mereka menjungjung tinggi kemaslahatan umat. Maka dari itu, Wahab Khalaf membuat adagium:
وَحَيْثُمَا وُجِدَتْ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ شَرْعُ اللهِ
“Di mana pun terdapat kemaslahatan maka di situlah syari’at Allah”
Karena Islam menyadari bahwa perubahan kondisi seiring perjalanan zaman itu merupakan keniscayaan, maka terkait urusan pemerintahan tidak perlu dibakukan. Cukup memperhatikan tujuan utama atas keberadaan syariat itu, serta mengatur hal-hal yang bersifat prinsip. Karena model dan sistem pemerintahan itu bukan termasuk hal prinsip, maka dipasrahkan kepada masing-masing kelompok masyarakatnya. Tentu dengan syarat hal tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan.