Pada masa Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa al-Rasyidin, kriteria ini dijadikan sebagai kriteria pokok pada setiap pengangkatan pejabat negara. Dalam catatan sejarah islam. Kita mengenal nama-nama seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah dan Amr bin al-Ash.

Mereka dan Khulafa al-Rasyidin sendiri merupakan tokoh-tokoh dalam sejarah yang dikenal memiliki integritas intelektual yang luar biasa dan kegagahan fisik yang juga tak kalah hebatnya. Kehebatan strategi berperang dan intensitas ekspansi militer bermisikan dakwah yang mereka pimpin membuktikan kapasitas mereka. Sekaligus menunjukan bahwa kriteria ini layak dijadikan acuan dalam kehidupan bernegara.

Untuk melihat  lebih jauh tipikal kepemimpinan masa depan, kiranya ada beberapa pertimbangan yang bisa kita jadikan tolak ukur sebagai kriteria pemimpin:

Pertama, membangun ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan menjadi begitu terkenal setelah bangsa kita dihantam krisis yang tak kunjung usai. Kalau sebelumnya perekonomian bangsa hanya diwarnai sistem ekonomi konglomerasi dan monopolistik oleh sebagian kecil orang. Sehingga menyemburlah ledakan-ledakan konflik sosial. Maka banyak ahli meyakini bahwa hanya ekonomi kerakyatan yang akan mampu menjadi “juru selamat” perekonomian bangsa.

Ekonomi kerakyatan sebenarnya lama diajarkan dalam Islam. Sebuah ajaran mendasar mengenai hal ini sangat jelas dipaparkan dala surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya: “apa saja harta rampasan fai’i yang diberikan Allah pada Rasulnya (yang berasal) dari penduduk kota, maka hal ini diperuntukan untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak hanya berputar dikalangan kaya diantara kamu saja.”

Nabi Muhammad SAW sendiri, disamping telah menciptakan lembaga ekonomi kerakyatan yang berpihak pada rakyat. Dimana nama bait al-mal, semacam lembaga kas negara. Beliau mengajarkan juga konsep pokok ekonomi kerakyatan yang banyak bertebaran di beberapa Hadis mu’amalat.

Seperti pada kasus riba, qiradl (pemberian modal untuk diputar dalam usaha, yang selanjutnya laba dibagi berdasarkan perjanjian), syirkah (perkongsian) dan muzara’ah (transaksi bagi hasil pertanian). Prinsipnya, ekonomi kerakyatan dalam agama memberi hak yang sama bagi semua orang. Tidak ada hal istemewa bagi sebagian orang dan lebih berpihak pada kaum lemah, mustadl’afin.

Kedua, menegakkan keadilan hukum. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Nabi Muhammad SAW pernah menuturkan bahwa diantara penyebab kehancuran bangsa-bangsa terdahulu adalah: jika yang mencuri itu adalah kalangan terhormat, sanksi ditiadakan. Tetapi, jika yang mencuri dari kalangan biasa, sanksi itu dilaksanakan. Demi Allah, seandainya Fatimah, putri Muhammad, mencuri, pastilah aku sendiri yang akan memotong tangannya.

Komitmen Nabi pada hukum sedemikian besar, sehingga bagi beliau tidak ada yang kebal dihadapan hukum. Meski itu putri beliau satu-satunya. Karena pengistimewaan dan penghormatan yang berlebihan, terutama dalam masalah hukum, hanya akan menjadikan embrio bagi lahirnya ketidakadilan. Pemimpin masa depan harus bisa menciptakan  suatu hukum yang netral dan tegas dalam menjalankan fungsinya.

Ketiga, menciptakan rasa aman. Salah satu butir deklarasi sementara hak asasi manusia PBB adalah pembebasan dari rasa takut. Lima belas abad silam butir yang sama telah lebih dahulu dideklarasikan Al-Qur’an dalam surat Quraisy ayat 4 yang artinya “(Dia) menamankan mereka dari rasa takut.”

Seorang pemimpin masa depan mutlak harus mampu melindungi rakyatnya dari ketakutan. Mulai ketakutan politik, ekonomi, budaya, hukum, sampai ketakutan moral. Fungsi basthah dalam intelektualitas disini menjadi sangat penting.

“Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu pekerjakan, ialah orang yang fisiknya kuat dan dapat dipercaya. (QS. al-Qashash: 26)

Meski harus tetap memperhatikan pendekatan lin al-qalb (persuasif) dan meninggalkan praktek ghaliz al-qalb (represif), sebagaimana yang dituturkan Ibnu Taimiyah, seperti dikutip Muhammad al-Ghazali dalam Kayfa Nata’amal ma’al al-Qur’an, memahami ayat ini dengan luar biasa. Beliau katakan, ketika seorang memiliki kekuatan (quwwah) tetapi tidak mampu menggabungkan dengan sifat terpercaya (amanah). Ia lebih layak untuk kepemimpinan militer. Dan sebaliknya, orang yang memilki amanah tetapi lemah fisiknya, ia hanya pantas untuk aktivitas ekonomi saja.

Keempat, mengembangkan fungsi dialog. Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin teragung yang sangat mengedepankan dialog (musyawarah). Bahkan dalam catatan  sejarah hanya dalam beberapa masalah saja, selama hidupnya, beliau mengambil keputusan sendiri tanpa adanya proses dialog dengan para sahabaat. Apalagi setelah turunnya perintah Allah, yang dicatat dalam Q.S. Ali Imran: 159, yang artinya: “Dan musyawarahkanlah segala urusan dengan mereka.”

Untuk menciptakan masyarakat masa depan yang madani, pemimpin masa depan perlu memulainya dengan membuka piranti terpenting demokrasi, yaitu menghidupkan iklim dialog di setiap ruang berbangsa.

Masyarakat masa depan tidak akan menerima lagi pemimpin otoriter. Karena mereka telah cukup tercerahkan secara intelektual, ekonomi, moral, hukum, dan  budaya. Disinilah letak pentingnya penerapan metode ghaliz al-qalb dalam irama kepemimpinan seorang pemimpin.

Kelima, melindungi kaum minoritas. Pada wasiat terakhir Umar bin al-Khaththab ditemukan pesan sebagai berikut: “Aku sangat berharap khalifah penggantiku nanti memperhatikan kaum dzimmi (non muslim yang diberi perlindungan dalam Islam), supaya mereka itu tetap menikmati perlindungan Allah telah menepati janjinya, dan tidak membebabni mereka dengan beban yang tidak mampu mereka pikul.”

Dalam Islam, kaum minoritas diberikan hak perlindungan keamanan. Karena sesungguhnya mereka adalah saudara kita sendiri. Dalam kehidupan masa depan, kebijakan seorang pemimpin harus dijauhkan daru pola-pola diskriminatif dengan dalih SARA. Pemberian perlindungan kepada kaum minoritas sesungguhnya menguntungkan dari tinjauan ekonomis.

Selama mereka tidak melakukan perongrongan terhadap pemerintahan yang ada. Dan kebijakan ini sekaligus merupakan sumbangan nyata dunia Islam terhadap proses perdamaian dunia, disamping toleransi yang dikembangkan berdasar kerangka saling menguntungkan.

Beberapa saat lagi, bangsa Indonesia akan menentukan pemimpinannya. Pemilu kali ini disebut-sebut sebagai pemilu penentu bagi wajah Indonesia masa depan. Semua kontestan pemilu selalu menawarkan janji. Untuk melihat berapa jauh keunggulan “sang” kontestan, mungkin diantaranya, kita bisa melihat sari beberapa identitas di atas. Semoga kita bisa menemukan pemimpin masa depan yang kita harapkan. Amin.