Darus Sunnah, Al-Ghazali, dan Etika Politik

Imam Al-Ghazali, sebagai ilmuan islam produktif ternyata tidak hanya piawai berbicara masalah keilmuan tertentu saja. Dalam kajian keilmuan lainnya beliau juga lihai dan jago menguraikan pendapat-pendapat segar. Jika ada yang mengatakan bahwa kehandalan ilmu seseorang baru terbukti dan diakui setelah menciptakan sebuah karangan maka Imam Al-Ghazali telah membuktikannya. Dalam bidang filsafat beliau cukup piawai, diantara karangannya Tahafut al Falasifah, komentar Imam Al-Ghazali atas kerancuan dan keambiguan para filsuf ketika bebicara agama, dari bidang tasawwuf banyak sekali hasil karya tangan beliau, yang paling fonumental adalah ihya ulum Ad-din. Hasil karya tangan imam Al-ghazali setelah melalui masa kontemplasi. Itulah sedikit kitab yang bisa dijadikan bukti bahwa Imam Al-ghazali memang tergolong ulama yang multi talenta dan produktif dalam setiap bidang keilmuannya.

Selain pandai berbicara tentang keilmuan agama dengan nalar logika yang terstruktur dan bidang tasawwuf dengan kedalam intuisi yang suci, imam ghazali ternyata juga lihai dan jago berbicara masalah sosial kemsyarakatan atau urusan politik kenegaraan. Konsep kenegaraan yang ideal atau etika politik yang mapan menurut Imam Al-ghazali tertuang dalam salah satu karangnnya yaitu Kitab tibrul masbuk. Dalam kitab itu, imam ghazali menguraikan dengan indah, rapi menggunakan indeks kosa kata yang mudah meski kadang susah dipahami. Pada kesempatan kali ini, kami ingin sedikit berbagi kisah dan petuah Al-ghazali yang kami dapat semasa Udrus (Tambahan Pelajaran) di Darus Sunnah. Kurang lebihnya, silahkan nanti dikomentari dan diperbaiki.

Pada momen udrus saat ini, untuk kedua kalinya kebetulan kami mendapat kesempatan mengaji dan mengkaji dua kitab karangan Imam Al-ghazali. Pertama kitab rasail imam ghazali dan kedua kitab tibrul masbuk tadi. Dari kedua memon udrus ini, kami asyik mengikuti meski kadang terganggu kantuk saat pengajian. Kajiannya berjalan dengan asyik dan semakin menarik dari hari kehari ditemani kawan-kawan yang asyik pula. Pada masa udrus pertama, ketika membahas kitab rasail imam ghazali kami dimbing ustad Ar-Razi Hasyim. Dibawah bimbingan beliau kami merasa terbawa dan selalu menikmati setiap penjelasan yang beliau sajikan meski kadang sulit dipahami karena menggunakan bahasa arab. Untuk momen udrus yang kedua, kami ditemani oleh tutor yang menarik, familiar, dan lihai dalam setiap menyampaikan penjelasanyaوKang Hilmy Firdausy. Banyak cerita menarik seputar udrus yang tidak bisa kami tuangkan semua dalam tulisan ini, namun pada intinya kami menikmati momen itu sebagai kegiatan warisan Kiai Mustafa Yakub. Dan sedikit kami ingin berbagi pembahasan tentang Etika Politk atau Etika Kepemimpinan menurut Al-ghazali yang kami rasa cocok untuk kita kaitkan dengan keadaan Darus Sunnah saat ini yang baru selesai menyeleggarakan Pesta Demokrasi (pemilihan Imdar). Lengkapnya, silahkan dibaca dan dinikmati sendiri kitab Al-ghazali Tibrul Masbuk.

Kembali pada imam ghazali. Dalam kitabnya Tibrul Masbuk, secara universal bisa dikatakan beliau membahas tentang tata cara berpolitik yang ideal dalam kenegaraan. Bisa kita istilahkan dengan Etika Politik. Imam Ghazali mengibaratkan kepemimpinan dengan iman sebagai akar dari pohon yang kokoh (asl al-imam) dan membentang dedaunya (sajarat al-iman). Tanduk kepemimpinan yang dilandasi dengan rasa keimanan yang tinggi akan menghasilkan pemerintahan yang rapi dan kokoh. Dengan demikian, cabangnyapun akan membentang luas. Menurut beliau setiap keputusan yang dikeluarkan pemimpin harus berlandaksan pada keimanan dan ketaqwaan. Setiap kebijakan yang tidak berlandaskan pada akar tadi, maka dikhawatirkan akan luntur dan tidak bertahan lama. Lantas jika demikian, apakah setiap kebijakan atau kegiatan yang dikeluarkan oleh organisasi mahasantri Darus Sunnah yang kita kenal dengan Imdar beserta bawahanya haruslah bernuansa islami total, menegakkan konsep syar’i, setiap kegiatan harus diadakan di Masjid, dan apapun yang bertentangan dengan Quran Hadits harus ditolak. Konsep Al-ghazali terkait Etika Kepemimpinan tidak sesempit dan seradikal itu. Lebih luas lagi konsep keimanan itu bersifat dinamis dan kontekstual sesuai situasi kondisi, waktu kejadian, latar, dan kondisi perindividu dari setiap masyarakat yang dalam hal ini adalah rakyat Darus Sunnah. Jadi menurut Al- ghazali, secara umum wujud keimanan itu dapat tergambar dalam bentuk keadilan, kesama rataan, dan kesejahteraan. Dan tentunya ketiga prinsip itu kurang bisa dirasakan bila mana pemimpin tidak mengetahui keadaan perindividu masyarakatnya dan kurang memahami kondisi sosial mereka. Oleh karenanya saran Al-ghazali kepada setiap pemimpin minimal dia harus memaksimalkan momen ibadah baik ibadah individual maupun ibadah sosial pada hari Jumat. Dalam momentum salat jumat pemimpin tidak hanya menjalankan kewajiban perintah agama tapi secara tidak langsung dia juga berkumpul dan bergabung dengan rakyatnya dari berbagai strata. Sebelah kanan tukang becak, sebelah kirinya orang tua, didepanya remaja sekolahan, berbagai kondisi bisa pemimpin ketahui ketika salat jumat. Jika kita kembali pada kisah historis perjalanan para pemimpin sukses islam, disana ada Sahabat Umar ibn Khattab r.a. yang sering kali jalan-jalan ingin mengetahui secara langsung kondisi setiap rakyat waktu itu, bahkan kadang kala rakyat tidak kenal dan tidak tahu bahwa dia adalah Umar r.a. memang beliau berpenamilan biasa agar lebih terlihat familiar. Sunan kalijaga pun seperti itu, banyak kisah-kisah para tokoh pendahulu yang merealisasikan konsep Al-ghazali tadi sesuai cara masing-masing. Intinya pemimpin disarankan memiliki jadwal tertentu diluar kesibukannya untuk bergabung dan bergaul dengan rakyatnya. Entah dalam wujud apa organisasi mahasantri Darus Sunnah merealisasikannya, mungkin masak bersama, futsal, terserah kebijakan mereka.

Itu prinsip pertama tentang Etika Politik ala Imam al-ghazali, yaitu pendekatan sosial kemasyarakatan. Berikutnya Al-ghazali menyarakankan bahwa setiap pemimpin ada baiknya memiliki pengawas atau sesepuh sebagai orang yang selalu mengawasi dan mengingatkan ketika dia keliru. Dari sang pengawas itu seorang pemimpin bisa belajar banyak dan mengambil banyak hikmah pelajaran kehidupan. Oleh karenanya, sebisa mungkin sang pengawas ini bukan orang yang sibuk dalam bidang duniawi, tapi aktif menjalankan ritual-ritual keagamaan yang transenden karena dari situ ilham-ilham Tuhan akan didapat. Pemimpin akan memperoleh petunjuk Tuhan atau petunjuk sakti dengan media pengawas tadi. Mengingat setiap usaha lahiriah tetap memutuhkan petunjuk-petunjuk yang transedental seperti mimpi dan semacamnya. Dan hal itupun terjadi pada masa-masa lampau, Nabi Muhammad saw mendapat wahyu sebagai kontrol langsung dari Tuhan pada beliau, pada masa kemerdekaan Indonesia Soekarno sebagai pelaksana negara dan Kiai Wahab Hasbullah sebagai penasehatnya yang kadang kala memberikan saran-saran keramat pada Bung Karno, kalau anda suka film india, disana ada film serial Mahabharata, kisah perjuangan Para Pandawa membinasakan angkara murka melawan Para Kurawa. Dalam kisah itu Para Pandawa Lima Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa sebagai eksekutornya dan Basudewa Krisna yang sakti mandraguna sebagai penasehatnya. Darus Sunnahpun seperti itu, mahasantri tidak hanya disibukkan dengan program-program kerja keorganisasian tapi juga sesekali meminta saran dan masukan pada siapa saja yang disepuhkan, bisa para ustadz, Pengasuh, atau langsung melakukan kontemplasi di Astah abah Kiai.

Begitulah sedikit celotehan dan cerita singkat yang kami dapat dalam momen udrus bersama kawan-kawan dan parta mentor yang menarik, kurang lebihnya mohon maaf, silahkan dikoreksi kembali. Sekian….