Keseimbangan Ikhtiar dan Tawakal

Majalahnabawi.com – Berekonomi merupakan sebuah keniscayaan dalam hidup. Selama seseorang masih hidup di dunia maka ia membutuhkan ekonomi. Mau tidak mau ia harus memenuhi kebutuhan primer (seperti makan, sandang, pangan) demi kelangsungan hidupnya. Setelah kebutuhan primer terpenuhi barulah ia beranjak untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dan tersier. Untuk memenuhi itu semua ia harus menjadi pelaku ekonomi.

Keberadaan manusia dalam peta ekonomi menempati posisi subjek. Yakni sebagai produsen dan konsumen yang mengendalikan kegiatan ekonomi. Manusia sebagai subjek ekonomi, oleh Islam terbebani (mukallaf) untuk berikhtiar sesuai kadar potensinya. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Dalam disiplin fiqh – meskipun ekonomi sendiri bukan merupakan komponen fikih – ikhtiar dalam arti luas disinggung karena erat kaitannya dengan usaha ekonomi.

Rasulullah saw. dalam beberapa sabdanya menyinggung, memerintah, dan memotivasi umatnya agar berikhtiar dengan senantiasa mencari penghidupan atau bekerja. Beliau saw. bersabda,

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya”.

Berusaha Semaksimal Mungkin

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Sahih-nya melalui jalur sahabat Abu Hurairah ra. Secara umum hadis ini memerintahkan kita untuk berikhtiar dalam menjalani hidup, sekecil apapun upaya yang dilakukan. Ilustrasi “memanggul kayu” oleh Rasulullah saw. merupakan simbol jenis usaha yang paling minimal. Artinya, bahkan sampai kita tidak menemukan pekerjaan yang layak sekalipun beliau masih menyarankan untuk tidak menyerah begitu saja, melainkan masih ada cara lain untuk berusaha paling minimal dengan memanggul kayu.

Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Qasthallani dalam Irsyad al-Sari, dimana pada redaksi Hadis di atas Rasulullah Saw memulainya dengan huruf “Lam” yang dalam kaidah kebahasaan memiliki fungsi jawab dari qasam (sumpah) yang dikirakirakan. Lebih tepatnya Rasulullah Saw sangat menganjurkan, atau bahkan mengharuskan, umatnya agar berikhtiar semaksimal mungkin dan tidak mudah menyerah.

Hanya saja Islam mengajarkan bahwa motivasi dari pada berikhtiar mencari penghidupan, dalam hal ini bekerja dan berkarir, hendaknya tidak keluar dari fitrah tujuan manusia tercipta, yakni untuk beribadah, bukan untuk memperkaya diri, mengejar status, dan hidup hedonis. Ketika bekerja dengan niat ibadah yang bertujuan menafkahi keluarga, sedangkan menafkahi keluarga menjadi sebuah keniscayaan yang mana seseorang tidak dapat hidup tanpanya, dan ketika tujuan dari pada hidup adalah untuk menunaikan kewajiban, yakni menyembah-Nya dan mematuhi perintah-Nya, maka, sebagaimana sebuah kaidah ushul fikih bahwa sesuatu yang mampu seseorang lakukan, yang mana sebuah kewajiban tidak dapat sah tanpa menjalankan sesuatu tersebut, maka sesuatu tersebut menjadi wajib. Dari sini bekerja dan berkarir berbuahkan pahala karena menjadi sebuah kewajiban.

Larangan Menjadi Peminta-minta

Selain menganjurkan berusaha, Rasulullah saw., sebagaimana kelanjutan Hadis di atas, tidak berkenan jika umatnya menjadi peminta. Berusaha dengan memanggul seikat kayu dari hutan misalnya, kemudian dijualnya dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan makan, hal itu lebih baik daripada meminta-minta. Bahkan, dalam Hadis lain Rasulullah saw. memperingatkan akan ancaman adzab dari perilaku meminta-minta atau mengemis,

لا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Tidaklah salah seorang dari kalian yang terus meminta-minta, kecuali kelak di hari kiamat ia akan menemui Allah sementara di wajahnya tidak ada sepotong daging pun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis di atas, kesimpulannya adalah para ulama sepakat akan keharaman meminta-minta. Hanya saja dalam beberapa kasus tertentu meminta terhukumi boleh sebagaimana tergambar dalam sebuah hadis riwayat Qabishah, Rasulullah saw. bersabda,

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلا لَأَحَدٍ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلِ أَصَابَتْهُ جَائِحَةُ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمُسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُها سُحْتًا

“Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali untuk tiga golongan. (Satu) orang yang menanggung hutang (gharim, untuk mendamaikan dua orang yang saling bersengketa atau seumpanya). Maka orang itu boleh meminta-minta, sehingga hutangnya lunas. Bila hutangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Dua) orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Tiga) orang yang ditimpa kemiskinan, (disaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercayai bahwa dia memang miskin). Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim).

Menjaga Keseimbangan Tawakal

Hadis riwayat Abu Hurairah ra. di atas, secara tegas memerintahkan kita untuk menjadi pribadi yang berusaha (ikhtiar). Sikap ikhtiar sepatutnya kita kedepankan sebelum sikap tawakal. Tawakkal sebagai suatu nilai iman yang luhur tidak bisa diartikan berlawanan dengan ikhtiar, bahkan harus saling berkaitan antara keduanya. Sikap yang seperti ini pernah Nabi saw. lakukan ketika menanggapi pertanyaan seseorang sahabat,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلْ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat untaku kemudian bertawakkal atau aku melepaskannya saja kemudian bertawakkal?” Rasulullah saw. menjawab, “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah.” (HR. al-Tirmidzi).

Perintah Nabi saw. di atas, mengindikasikan bahwa sikap ikhtiar memang harus ada. Tetapi bukan berarti menanggalkan sikap tawakal. Keduanya harus memiliki keseimbangan. Berikhtiar supaya menusia selalu memiliki spirit dalam mencari penghidupannya. Sementara tawakal akan mengingatkannya bahwa ada Allah Swt sebagai penentu semua usaha. Ada dimensi dunia dan agama yang harus selalu memiliki keseimbangan.

Sikap seperti inilah yang mendapat perhatian KH. Sahal Mahfudh rahimahullah. Ia mencontohkan teladan Nabi saw. sewaktu hijrah ke Madinah, di mana beliau memerintahkan para sahabat untuk membangun pasar setelah sempurnanya pembangunan masjid. Pasar merupakan simbol pusat sirkulasi ekonomi, sementara masjid sebagai pusat sirkulasi ketakwaan. Pasar sebagai wujud usaha dan masjid sebagai rumah tawakkal.

Yang menjadi penekanannya ialah bekerja bukan hanya agar menjadi kaya, tetapi juga menjadi wasilah untuk kesempurnaan ibadah. Juga perlu menjadi catatan bahwa sikap ikhtiar jangan sampai beralih menjadi sikap serakah yang selalu berorientasi pada perhitungan untung rugi secara kebendaan. Dan sikap tawakal jangan sampai membuat orang fatalis. Keduanya harus memiliki keseimbangan. Bila hal itu merosot, norma-norma religius akan makin tersisih dan budaya sekular akan lebih berkembang secara leluasa. Umat pun kian lupa, kehidupan akhirat dan dunia tidak memiliki keseimbangan. Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan

1. Sahih al-Bukhari, Imam al-Bukhari

2. Sunan al-Tirmidzi, Imam al-Tirmidzi

3. Irsyad al-Sari, Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani

4. Nuansa Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudh

5. Dan lain-lain.

Similar Posts