Adaptasi Sufi dan Budaya Lokal kala Islamisasi Nusantara

Majalahnabawi.com – Sebagaimana yang telah kita ketahui, penyebaran Islam di bumi Nusantara termediasi dalam berbagai macam teori. Salah satu teori yang paling terkenal ialah teori Gujarat. Dalam teori ini dikatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui perdagangan. Para pedagang India yang beragama Islam mengembara ke Nusantara dengan tujuan berniaga. Seiring berjalannya waktu, melalui proses adaptasi, para pedagang itu banyak yang hidup dan tinggal di bumi pertiwi Indonesia kemudian menikahi wanita-wanita lokal. Tidak hanya dari kalangan rakyat saja, bahkan pernikahan semacam itu pun terjadi di kalangan bangsawan. Inilah yang membuat penyebaran Islam di Nusantara berkembang masif.

Namun teori itu memiliki kelemahan, yaitu kenyataan realitas yang ada kurang mendukung hal tersebut dapat terjadi. Sangat sulit untuk mempercayai bahwa para pedaganglah yang menyebarkan Islam. Sejauh sejarah mencatat, transaksi perdagangan dengan pedangang-pedagang muslim telah berlangsung sejak kurang lebih abad tujuh masehi. Jika memang teori ini benar, semestinya Islam telah menyebar luas di Nusantara sejak saat itu pula. Tetapi, realitasnya Islam menyebar luas di Nusantara baru pada abad tiga belas masehi.

Seorang ahli teori Islamisasi di Asia Tenggara, yaitu A.H Johns memiliki pandangan yang berbeda dengan teori Gujarat di atas. Johns menuturkan bahwa para guru sufi merupakan orang yang paling berpengaruh atas penyebaran Islam di Nusantara. Melalui karakteristik sufi yang terkenal lebih luwes dan mampu lebih bersahabat dengan berbagai praktik keagamaan dan budaya yang telah mengakar pada masyarakat lokal ketimbang ajaran syariah (fikih) menjadi salah satu alasan kuat bahwa Islam mampu tersebar secara masif di bumi Nusantara melalui ajaran Sufisme. Maka pada pembahasan ini kami akan menyajikan beberapa potret adaptasi sufi dengan budaya lokal di nusantara dalam rangka penyebaran Islam di Nusantara.

Kesaktian dan Kekebalan

Di antara Budaya lokal kala itu ialah eratnya hubungan dengan hal-hal mistik, kepercayaan atas kekuatan gaib seperti kesaktian dan kekebalan dari zat metafisik seperti kuburan-kuburan keramat jin, ririwa, jurig, dedemit, kelong, dan kuntilanak. Kekuatan itu mereka cari untuk melawan musuh atau orang yang mengusik kehidupan masyarakat. Mereka rela melakukan berbagai ritual tertentu demi mendapatkan ilmu gaib tersebut kepada orang yang mereka sebut sebagai orang pintar.

Dalam Islam, kegiatan tersebut termasuk kegiatan musyrik, karena meminta kekuatan selain kepada Allah Swt. Melihat fenomena ini, beberapa tarekat melakukan adaptasi dengan mengambil peran untuk menghilangkan kebiasaan meminta selain kepada Tuhan namun tetap bisa mendapatkan ilmu kekebalan tersebut dengan membaca wirid dan dzikir. Salah satunya ialah kemampuan kekebalan tubuh dan kesaktian yang berasal dari tarekat Qadiriyah di Kurdistan yang tersebar di Aceh, Banten, Minangkabau, dan Maluku. Kekebalan itu disebut debus.

Walaupun menurut Martin van Bruinessen dalam debus Banten terdapat beberapa aliran yang berbeda, hanya salah satunya (yang masih ada di daerah Serang) yang sampai sekarang mengakui hubungan mereka dengan Tarekat Qadiriyah lebih tepatnya Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Selain tarekat ini, kita juga menemukan beberapa jejak tarekat lain dalam dunia debus, terutama Sammaniyah dan Rifa’iyah. Hal itu terlihat ketika Kesultanan Palembang sedang melawan Belanda. Saat itu para penganut Tarekat Sammaniyah tanpa rasa gentar melawan Belanda. Mereka melawan Belanda dengan terlebih dahulu melakukan zikir-zikir yang dipercaya dapat membuat mereka kebal.

Ziarah

Ziarah makam-makam para wali merupakan bentuk lain praktik tarekat yang digunakan sebagai komunikasi publik. Selain ziarah secara perorangan, ada pula ziarah secara kolektif (ziyarah ‘ammah) yang terjadi setiap tahun. Kegiatan ini bernama haul. Ritual demikian merupakan adaptasi yang bertujuan sebagai pengingat akan kematian, ber-tabarruk, silaturrahim, dan berusaha mengambil teladan dari para wali.

Pada aspek komunikasi publik, ritual ziarah merupakan titik sentral kegiatan tarekat, di dalamnya ritual sufi tetap terjaga dan kepemimpinan lokal terkokohkan. Selain itu, ziarah merupakan media terjalinnya komunikasi dan interaksi interpersonal dan budaya, juga menjadi momentum untuk berdakwah dan transfer ilmu keagamaan kepada khalayak umum. Model ziarah yang kelompok tarekat ini lakukan cukup efektif untuk meraih simpati masyarakat nusantara, dalam hal ini abad ke 17-19. Jauh sebelum Islam masuk ke nusantara, penduduk nusantara memang sudah sangat senang mengunjungi tempat-tempat keramat. Tidak ayal, ketika tradisi ziarah wali ini oleh kelompok tarekat terus dilakukan, hal itu pun mendapatkan sambutan yang cukup baik. Bahkan sampai kini, ziarah dan kewalian menjadi tradisi Islam yang terus hidup, walaupun telah tergempur modernitas

Tahlilan

Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Buddha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang terselenggara selama 7 hari.[1] Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa tradisi ini bernama lek-lek-an yang berarti begadang. Tradisi bergadang selama 7 hari menemani orang yang tertimpa musibah, yaitu meninggalnya salah satu anggota keluarganya dengan tujuan menghiburnya.

Kemudian berlanjut pada 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari. Di sanalah para sufi masuk memodifikasi tradisi lek-lek-an ini menjadi tahlilan. Bedanya dengan lek-lek-an yaitu pada isi kegiatan perkumpulan tersebut. Sebelumnya terisi hanya dengan percakapan saja, kemudian diganti dengan pembacaan zikir-zikir dan doa-doa bacaan dari al-Qur’an yang erat hubungannya dengan amalan sufi.

Selametan

Selametan merupakan tradisi pesta komunal sebagaimana yang pada dasarnya sering terjadi dalam skala besar. Namun selametan dengan skala besar ini bukan untuk menunjukkan nilai-nilai kebersamaan, tetapi hanyalah pesta ritual pembagian “oleh-oleh”. Hal ini biasa bagi masyarakat Jawa dalam bentuk jajanan atau kue ringan. Masyarakat Jawa dulu meyakini kegiatan ini akan membawa bertua (keberuntungan).[2]

Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa, yaitu keyakinan animisme dan dinamisme yang pada dasarnya adalah keyakinan nenek moyang. Selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu dan Buddha yang mempercayai adanya dewa-dewa yang berwujud benda-benda dan kejadian alam. Kemudian Islam datang dan melakukan adaptasi dengan memodifikasi konsep tersebut. Modifikasi melalui amalan yang disebut shodaqoh sebagai bentuk rasa syukur atas kebahagiaan atau nikmat yang telah Allah berikan. Kumpulan komunal itu tidak hanya sekedar bagi-bagi kue saja, tapi juga diisi dengan doa bersama, memuji asma Allah yang telah memberikan kenikmatan tersebut sebagai rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan.


[1] Rhoni Rodin, ‘TRADISI TAHLILAN DAN YASINAN’, IBDA` : Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 11.1 (2013), 76–87 <https://doi.org/10.24090/ibda.v11i1.69>.

[2] Ryko Adiansyah, ‘Persimpangan Antara Agama Dan Budaya (Proses Akulturasi Islam Dengan Slametan Dalam Budaya Jawa)’, Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 6.2 (2017), 295–310 <https://doi.org/10.19109/intelektualita.v6i2.1612>.

Similar Posts