Majalah Nabawi – Keberadaan saksi nikah dalam pernikahan memang suatu yang debatable di kalangan ulama. Ada yang menegaskan bahwa saksi nikah itu bagian dari syarat nikah. Ini pendapat mayoritas ulama. Alasannya karena fungsi saksi nikah saat itu menjadi media publikasi peristiwa nikah.

Ada pula yang menegaskan bahwa saksi nikah bukan bagian dari syarat sah nikah. Cukup dengan melaksanakan walimah publikasi peristiwa, nikah sudah dianggap sah dan valid. Ini adalah pendapat Ulama Malikiyah.

Berpijak kepada pendapat yang menjadikan dua saksi sebagai syarat atas keabsahan akad nikah, lantas bagaimana dengan akad nikah yang saksinya adalah dua orang tunanetra? Apakah hukumnya sah?

Dalam literatur kitab fikih, kesaksian penyandang disabilitas sensorik atas akad nikah masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian menyatakan akad nikah dengan saksi dua orang tunanetra hukumnya sah. Sebagian lagi menyatakan sebaliknya, tidak sah.

Pendapat Pertama; Sah

Ulama yang menyatakan sah melandaskan pendapatnya pada keumuman hadis;

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

Tidak sah suatu pernikahan kecuali dihadiri wali dan dua saksi yang adil.

Jadi, menurut mereka, selama dua saksi itu adil (bukan orang fasik) maka akad nikah tersebut hukumnya sah.

Pendapat Kedua; Tidak Sah

Sedangkan ulama yang menyatakan tidak sah beralasan bahwa saksi tunanetra tidak dapat melihat kepada apa yang ia persaksikan. Sehingga jika kesaksiannya dihukumi sah, maka hal itu dapat menghanguskan tujuan disyaratkannya kesaksian dalam akad nikah.

Hal ini sebagaimana keterangan dalam Nihayatul Mathlab fii Dirayati al-Mazhab karya Imam Haramain [XII/53];

وفي انعقاد النكاح بحضور أعميين وجهان: أحدهما – ينعقد، لعموم قوله صلى الله عليه وسلم: “وشاهدي عدل” وهما شاهدا عدل. والثاني – لا ينعقد؛ لأنه لا يمكن إثباته بشهادتهما. قال: وأرى القطع بهذا؛ لأن الاكتفاء بهما يبطل مقصود شرط الشهادة في النكاح

Terkait keabsahan akad nikah dengan dihadiri dua saksi tunanetra terdapat dua pendapat; menurut pendapat pertama sah asal dua saksi itu adil karena berdasarkan keumuman hadis nabi “dua saksi yang adil”. Sementara menurut pendapat kedua tidak sah karena tidak mungkin dilakukannya validitas akad nikah dengan kesaksian dua orang tunanetra tersebut. Selain itu, mengabsahkan akad nikah berdasarkan kesaksian mereka berdua dapat menghanguskan tujuan dari persyaratan kesaksian dalam akad nikah.

Hal senada juga disampaikan Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhatu al-Thalibin wa Umdatul Muftin [VII/45];

الرُّكْنُ الثَّالِثُ: الشَّهَادَةُ، فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ إِلَّا بِحَضْرَةِ رَجُلَيْنِ مُسْلِمَيْنِ مُكَلَّفَيْنِ حُرَّيْنِ عَدْلَيْنِ سَمِيعَيْنِ بَصِيرَيْنِ مُتَيَقِّظَيْنِ عَارِفَيْنِ لِسَانَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ. وَقِيلَ: يَصِحُّ بِالْأَعْمَيَيْنِ

Rukun nikah yang ketiga: adanya kesaksian. Oleh karenanya tidak sah suatu pernikahan kecuali disaksikan oleh dua orang laki-laki yang muslim, mukallaf, merdeka, adil, mendengar, melihat, normal, dan memahami ucapan dua orang yang melakukan akad nikah (wali/penghulu dan mempelai pria). Namun menurut suatu pendapat, akad nikah yang disaksikan dua orang tunanetra hukumnya sah.

Demikianlah penjelasan terkait hukum akad nikah dengan dua saksi tunanetra, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.