Majalahnabawi.com – Hari silih berganti dan zaman terus berkembang sehingga beberapa  jenis permasalahan klasik yang sudah terjadi pada zaman Rasul, kembali terjadi di zaman globalisasi saat ini. Namun muncul dalam bentuk yang beraneka ragam, bahkan kini tidak sedikit permasalahan modern dan kontemporer muncul di tengah umat Islam. Timbulnya permasalahan dan pembahasan yang bersifat baru (tidak pernah terjadi pada masa Nabi) memang sudah menjadi sunnatullah dan tidak dapat kita pungkiri. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana dan kemana orientasi  kita dalam menyikapi permasalahan permasalah modern tersebut? Apakah memilih untuk berijtihad  sesuai kapasitas ilmu yang dimiliki  sehingga ia disebut mujtahid atau taqlid kepada yang ‘alim.

Pengertian dan Syarat Ijtihad

Ijtihad secara etimologi :

الاجتهاد في اللغة بأنّه بذل قُصارى الجهد والوسع في أمرٍ ما

“Berusaha keras/ melakukan yang terbaik dan mengerahkan segenap kemampuan dalam perkara apa saja”.

Ijtihad secara terminologi:

استِفْرَاعُ الوُسْعِ فِي طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهِ يُحِسُ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزَ عَنِ الْمَزِيدِ فِيهِ

“Mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari asumsi (dhann) atas salah satu hukum syara’ dalam bentuk dimana diri (pencarinya) merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu”.

Kaliamat “mencari asumsi atau dhann”, karena hukum-hukum qath’i dan hukum-hukum yang dinyatakan dalam nash tidak membutuhkan ijtihad. Dikatakan “atas salah satu hukum syara”, karena aktivitas ini tidak berlaku untuk konteks ma’qûlât dan penginderaan. Dikatakan “dalam bentuk, dimana diri (pencarinya) merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu”, karena ijtihad orang yang lalai atau malas, sementara dia masih memungkinkan untuk menggunakan kemampuannya yang lebih tinggi lagi, tidak termasuk dalam kategori ijtihad.

Praktik Ijtihad Sudah Dilakukan Sejak Zaman Sahabat, di antara Dalil tentang Ijtihad ialah:

  1. Firman Allah dalam ayat ke-2 surah al-Hasyr  (فَاعْتَبِرُوْايٰٓاُولِى الْاَبْصَار ); “maka, ambillah pelajaran (dari kejadian itu) wahai orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati)”.

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (w. 2016) dalam bukunya Ijtihad, Terorisme, Liberalisme mengatakan bahwan kata i’tibar dalam ayat ini adalah qiyas. Dan qiyas adalah ijtihad. Dengan demikian, ayat ini menjadi dalil adanya ijtihad.

  • Hadis Rasulullah tatkala beliau akan mengutus Muadz bin jabal ke yaman ia ditanya oleh Rasul: “Bagaimana kamu mengadili jika kamu mendapat permasalahan hukum?” Mu’adz menjawab: “Aku akan mengadili hal itu dengan Kitab Allah (Al-Quran)”. “(Apa yang kamu lakukan) jika kamu tidak mendapatinya dalam Kitab Allah?” Tanya beliau. Mu’adz menjawab: “Aku akan adili dengan Sunnah Rasulullah Saw. (Hadis)”. Beliau kembali bertanya: “Lalu jika kamu tidak juga menemukannya dalam Sunnah Rasulullah Saw. dan Kitab Allah?” Mu’adz menjawab: “Aku akan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah Saw. menepuk dada Mu’adz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah”.

Dengan definisi dan dalil di atas, maka ijtihad hanya boleh dilakukan dalam masalah hukum syara’ yang berbentuk fisik dan furu’ (cabang), bukan dalam masalah  aqidah {keyakinan} dan ushul {fundamental}

Syarat Mujtahid (orang yang ingin berijtihad):

  1. Baligh dan berakal
  2. Mengerti seluk beluk Al-Quran (nasikh-mansukh, umum-khusus, mutlaq-muqayyad, dan asbab nuzul)
  3. Memahami ilmu hadis (periwayatannya, para perawi, dan dapat membedakan kualitas hadis)
  4. Menelaah dan memahami ijma’ (consensus ulama)
  5. Mengerti bahasa Arab (nahwu/sintaksis, shorof/morfologi, dan balaghah/sastra)
  6. Mengetahui ilmu ushul fiqh

Jika, dalam diri  seseorang memilki semua klasifikasi di atas, maka dia boleh melakukan ijtihad terhadap masalah masalah yang belum dijelaskan dan disinggung dalam teks-teks agama (Al Quran dan hadis). hal ini dikarenakan sumber hukum Islam yang utama adalah Al Quran dan hadis, dan terdapat  kaidah yang mengatakan;

لاإجتهاد عند ورود الناص

“Tak ada ijtihad hukum Ketika (hukum) dinyatakan dalam nash”.

Lalu, bila seseorang tidak sampai maqam (derajat) dan pengetahuannya seperti mujtahid, maka sikap yang baik untuk dilakukukan nya adalah Taqlid.

Pengertian Taqlid

Secara etimologi;

وضعُ الشَّيءِ في العُنُقِ مع الإحاطةِ به، ويُسَمَّى ذلك قِلادةً

“Meletakkan sesuatu di leher, dan disebutkan juga dengan qiladah (kalung yang disematkan)”.

Secara terminologi;

Ibnu Taimiyah memberikan ta’rif : Menerima suatu pendapat atau perkataan tanpa mengetahui dalil.

Al-Jurjani : mengikuti  pada apa yang orang lain  katakan dan kerjakan dan ia meyakininya, tanpa menelaah dan mengkritisi suatu dalil.

Berdasarkan ijma’ ulama bahwa taqlid dalam masalah furu’iyyah hukumnya boleh. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Ibnu Qudamah dalam kitab “Raudhah Nazir”. Sehingga menurut penulis, Hal ini wajar, karena tidak setiap orang mempunyai kesempatan waktu  dan kemampuan akal dalam mempelajari agama secara mendalam dan detil. Bahkan taqlid tidak hanya terbatas pada orang awam saja, orang-orang alim yang sudah mengetahui dalil pun masih harus taqlid, selama mereka belum sampai pada derajat mujtahid. Sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode, konsep  dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum. Yang tidak tahu mengikuti yang tahu, yang tahu mengikuti yang lebih tahu, hal ini adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan.

Namun meskipun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap dan memasrahkan diri pada taqlid buta. Menerima pendapat mentah-mentah tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sebab hal ini  hanya akan menjadi  keterbelakangan dan rendahnya kualitas personal  umat Islam sehingga esensinya tidak terasa, seakan akan kosong bagaikan cangkir yang tak berisikan air.

Allahu’alam