Bangun Peradaban Bukan Kebiadaban
majalahnabawi.com – Maraknya aksi tentang kekerasan yang mengatasnamakan agama kembali menggugah rasa toleransi dan semangat keberagamaan bangsa Indonesia. Baru-baru ini, kejadian yang sangat tidak etis kembali dipertontonkan di hadapan publik. Dikutip dari laman Kompas TV, dua pemuda Katolik dikeroyok dan dibacok ketika didapati melakukan ritual keagamaan di dalam rumah. Menurut data yang didapat, alasan utama mengapa mereka dianiaya dikarenakan ada oknum yang melakukan provokasi agar para warga menghentikan dua pemuda yang menurut mereka melakukan ibadah tidak pada tempatnya.
Berbagai respon negatif bertebaran di media sosial, mengingat tindakan preventif tersebut tidaklah sesuai dengan ajaran agama manapun. Lalu, apa sebenarnya alasan yang mendasari sehingga kedua pemuda tersebut dianggap melakukan perbuatan yang tidak sewajarnya, sehingga mendapat perlakuan tidak menyenangkan? Dan apakah memang Islam (sebagai agama penganiaya) melegalkan hal demikian?
Mayoritarianisme Tanpa Pengetahuan Menambah Keangkuhan
Minimnya wawasan tentang agama serta mindset yang keliru dirasa menjadi faktor utama adanya tindak semena-mena para penganut agama. Ketika sebuah tindakan tidak dibarengi dengan ajaran agama, maka akan muncul tindakan yang didasari hawa nafsu. Di samping itu, mayoritarianisme menambah keangkuhan dan otoritas mereka semakin menjadi-jadi. Mereka merasa bahwa tindakan yang dilakukan dua pemuda tersebut merupakan sebuah penghinaan terhadap agama mayoritas (Islam) di daerah tersebut.
Senada dengan apa yang dikatakan habib Ja’far dalam podcast bersama Deddy Corbuzier, bahwa kebodohan menjadi biang kerok terjadinya segala kerusakan dan kebiadaban di muka bumi. Alasannya, karena orang yang tidak paham rata-rata melakukan suatu perbuatan berlandaskan hawa nafsu.
Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Risalatul Mudzakarah mengatakan: “Orang bodoh jatuh ke dalam pengabaian taat dan perbuatan maksiat dengan kemauan atau ketidakmauannya, tanpa ia ketahui mana perbuatan taat yang diperintah Allah untuk dilakukan dan mana maksiat yang dilarang Allah. Seseorang tidak akan keluar dari kegelapan kebodohan kecuali dengan cahaya ilmu.” Ucapan ini mengindikasikan bahwa orang bodoh akan melakukan apa saja yang menurut pikiran mereka benar, bukan legal menurut ajaran agama. Hal inilah yang mengkhawatirkan semua pihak terutama umat Islam. Karena akan lahir sebuah peradaban yang bukan lagi mementingkan kebersamaan, melainkan tindakan semena-mena.
Meneladani Nilai-Nilai Yang Diajarkan Nabi Muhammad Saw.
Sebagai opsi, perlu rasanya sebagai umat muslim kita harus meneladani kisah-kisah inspiratif yang datang dari junjungan nabi Muhammad, apalagi dalam soal toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan kehidupan semasa beliau menjabat sebagai nabi seluruh alam.
Salah satu momen epik yang terjadi semasa Rasul Saw,. yaitu berhasilnya memasuki Makkah (fathu makkah) dengan gemilang pada tahun delapan Hijriah. Diceritakan oleh al-Baihaqi dalam bukunya Dalail an-Nubuwwah bahwa aneka rombongan dari berbagai daerah berdatangan menemui beliau. Salah satu dari rombongan itu adalah kelompok penganut agama Kristen dari Najran, yang terdiri dari enam puluh orang yang dipimpin uskup mereka. Tujuan mereka menemui nabi ialah untuk berdiskusi perihal agama mereka, sekaligus meminta perlindungan kepada nabi sebagai pemimpin agama adidaya di Jazirah Arab pada saat itu.
Untuk lebih jelasnya, saya akan mengutip sedikit hal-hal penting yang disampaikan nabi terhadap kelompok tersebut: “Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib. Termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan sesuatu yang berada dalam wewenang mereka. Saya juga berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka, di mana pun mereka berada, sebagaimana pembelaan saya kepada diri, keluarga, serta orang-orang yang seagama dengan saya. Bagi penganut agama nasrani, bila mereka membutuhkan bantuan materi terkait kepentingan agama mereka, maka hendaklah kaum muslimin membantunya dan bantuan itu bukanlah berbentuk hutang, melainkan guna kemaslahatan agama mereka dan pemenuhan janji Rasul (Muhammad Saw.)”.
Dari kutipan di atas, sangat jelas bahwa perlindungan nabi kepada penganut agama selain Islam tidak main-main. Ini terlihat dari cara penyampaian nabi yang bahkan menyamakan hak-hak mereka dengan hak-hak orang Islam. Artinya, semua orang memiliki kebebasan melaksanakan agama dan kepercayaannya masing-masing, selama tidak mengganggu penganut agama lain.
Walhasil perbuatan yang dilakukan oknum pada kasus di atas, sangat jauh berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh nabi Muhammad. Ketika nabi sangat toleran dan memperjuangkan hak-hak mereka, sekelompok orang (yang mengatasnamakan agama di atas) sangat intoleran dan menghancurkan keberagamaan yang telah dibangun nabi sejak dulu. Lantas, apakah kita akan membiarkan kebiadaban semacam ini berlanjut begitu saja? Atau sebuah peradaban yang saling merangkul semua dimensilah yang kita inginkan? Tentu jawabannya ada di benak masing-masing.