Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang
Gambar diunduh dari https://pixabay.com/photos/heart-shape-tree-red-outdoors-1714807/

Majalahnabawi.com – Bagaimana diri ini tak cinta, sedangkan Engkau (Allah) yang kumaksiati tetap saja berbaik kepada hamba fana nan dusta.

Demi Allah, jika anda mengenal Allah. Anda akan benar-benar mencintai-Nya, lebih dari apapun. Itulah ikhtiar yang sedang penulis jalani. Baru sedikit saja penulis membuka lembaran awal dari kitab Asmaul Husna fi Bayani Ma’aniha wa Hikamiha karya Syekh Ahmad bin Asymuni, rasanya nikmat sekali.

Sedikit saja sudah seperti itu, bagaimana para ulama yang mereka benar-benar mengenal Allah. Sungguh nikmat yang tiada tanding. Maka memang sudah jelas dan benar adanya jika melihat Allah nanti di surga adalah sebesar-besarnya kenikmatan. Mendalami sifat-sifat-Nya saja sudah membuat api cinta ini meletup-letup dan rasanya nikmat sekali. Bagaimana ketika langsung menyaksikan langsung wujud-Nya, yaa Allah.

Manusia dicintai karena kebaikannya, ketampanan rupanya, kecantikan parasnya dan seterusnya. Namun seringkali kita mencintai makhluk setengah mati dan mengatakan “aku akan mati jika tak ada engkau di sisiku, karena kaulah belahan jiwaku, aku tak mau terlepas darimu”. Bullshit.

Sungguh Allah jauh lebih dari itu, jika hatimu turut memahami. Kebanyakan kita hanya tahu Allah Maha Penyayang dan Maha Luas rahmat kasih sayang-Nya, tetapi kita tak lantas memahami dengan hati. Sungguh manusia itu banyak memiliki aib, tidak ada manusia yang tidak memiliki aib. Allah-lah Zat yang sama sekali tidak memiliki aib apapun.

Pahamilah bahwa segala sifat kebaikan yang ada dalam diri manusia, derma, tampan, dan seterusnya itu bersumber dari Allah. Sebagai sumber asalnya, Dia-lah yang jauh lebih sifat kebaikan-Nya dibanding manusia. Maka sungguh ketauhilah yang pantas dicintai hanyalah Allah. Dunia, harta, pahala, tidak berarti apa-apa, karena kita mengerjakan segala bentuk kebaikan hanya untuk-Nya, karena mencintai-Nya. Sungguh nikmat sekali hidup jika sudah benar-benar mencintai-Nya, yaa Allah. bitcoin sportsbooks

اللهُ جَلَّ جَلَالُهُ

Demikian sub bab pembuka dalam kitab Asmaul Husna fi Bayani Ma’aniha wa Hikamiha. Sungguh lafaz Allah mengandung banyak sekali kebaikan. Orang yang senantiasa menyebut nama “Allah” dalam hatinya, maka ia akan merasa tenang nan nyaman, lancar segala urusannya, dan banyak kebaikan akan datang kepadanya. Karena ia yakin dalam setiap aktivitas kehidupannya, Allah terlibat di dalamnya. Karena Allah Maha segalanya.

Ia tak punya uang, ada Allah Maha Kaya. Ia kesusahan menyelesaikan masalah, ada Allah Maha Pengasih dan Maha Menghendaki memberi jalan keluar kepadanya. Ia disakiti orang lain dan merasa tidak dihargai, ada Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-Nya.

Pelajaran penting. Ketauhilah bahwa lafaz “Allah” itu tidak berasal dari akar kata manapun. Tidak seperti kebanyakan kata dalam bahasa Arab, yang termnya bisa berakar atau berasal dari suatu kata kerja tertentu. Maka lafazh “Allah” jelas berbeda, karena keagungan-Nya.

Sebagai bukti keagungan lafaz “Allah”, mari kita renungkan bagaimana sebagian ulama tafsir isyari (tafsir sufi) yang mengungkapkan bahwa makna lafaz “Allah” (الله) itu meliputi berbagai ilmu. Huruf “alif”nya yang memisah tersendiri itu bermakna ilmu syari’at. Kemudian huruf “lam” pertama itu bermakna ilmu thariqah, “lam” kedua itu bermakna ilmu hakikat dan terakhir huruf “ha” yang bermakna ma’rifat. Artinya lafazh “Allah” sejatinya memiliki filosofi tersendiri yang sangat dalam maknanya. (Akan dijelaskan pada lain sesi)

Lebih rinci lagi mari kita coba pahami penjelasan dari KH. Maimoen Zubeir yang menyatakan bahwa substansi lafazh “Allah” itu ada pada huruf “ha” di dalamnya. Lafazh “Allah” -ungkap beliau- memiliki keunikan tersendiri. Pertama, tidak ada yang bernama “Allah” kecuali hanya Dia. Kedua, lafazh “Allah” sebagai “a’raful ma’arif“, artinya ia-lah setinggi-tingginya nama. Hal ini terindikasi dengan penjabaran seperti ini; jika huruf “alif”nya dihilangkan, maka akan tampil kemudian lafazh “lillah” (لله), yang bermakna segala apapun di seluruh alam jagat raya adalah kepunyaan Allah secara keseluruhan.

Selanjutnya jika huruf “lam” pertamanya dihilangkan, maka akan tampil lafazh “lahu” (له). Lafazh “lahu” ini dinyatakan lebih tinggi lagi ketimbang lafazh “lillah”. Karena sejatinya “dhamir” untuk mudzakkar di sini langsung mengarah ke dzat-Nya tanpa menyandarkannya lagi kepada nama-Nya. Selanjutnya jika “lam” yang kedua dihilangkan, maka akan tampil huruf “ha”. Huruf “ha” ini jika dimaknai sebagai sebuah “dhamir” untuk mudzakkar, maka maknanya adalah “-Nya”. Term “-Nya” inilah sejatinya substansi ketuhanan dalam lafaz Allah.

Lafazh “hu” di sini merupakan “dhamir Sya`n“. Makna “dhamir” yang menyatakan orang ketiga dan sifat “dhamir” dalam ilmu nahwu yang memang tidak bisa berdiri sendiri ini, menunjukkan bahwa “-Nya” ini haruslah bersandar dengan sebuah kata seperti; alam, makhluk dan lainnya. Ungkapan ini bukan menyatakan bahwa Allah butuh sandaran. Justru pahamilah, bahwa kata-kata itu lah yang harus bersandar kepada term “-Nya”. Lantaran seluruh yang ada di alam jagat raya ini adalah kepunyaan-Nya. Oleh karenanya kata apapun yang bersandar kepada term “-Nya”, dan kemudian term tersebut dimaknai sebagai dzat Tuhan yang maha esa. Maka sudah pasti bermakna bahwa segalanya adalah hanya milik-Nya dan hanya atas kekuasaan-Nya.

Akhirnya penulis berkesimpulan mengambil sebuah pemahaman dari ungkapan sebagian ulama tafsir isyari dan digabungkan dengan penjelasan dari KH. Maimoen Zubair di atas. Penulis berpendapat, makna dari pernyataan beliau adalah bahwa 3 ilmu sebagai makna 3 huruf sebelumnya; syari’at (alif), thariqah (“lam” pertama) dan hakikat (“lam” kedua), -sebagaimana yang diungkapkan sebagian ulama tafsir isyari- sejatinya adalah piranti untuk mencapai huruf “ha” tersebut yang bermakna “ma’rifat” (kenal dengan sepenuh hati) kepada-Nya.

Maksudnya jika anda ingin mencapai huruf “ha” yang merupakan substansi ketuhanan tersebut yakni mengenal Allah dengan sepenuh hati (ma’rifatullah). Maka yang harus anda lakukan adalah mendalami 3 ilmu tersebut. Memulai dengan mendalami ilmu syari’at, kemudian berlanjut ke ilmu thariqah serta hakikat. Jika anda sudah mendalami 3 ilmu tersebut, maka anda kemudian akan mendapatkan kedudukan tinggi yakni “ma’rifattullah”. Jarang orang yang mampu mencapai ma’rifat, karena tingginya kedudukan tersebut.

Syari’at, thariqah, hakikat dan ma’rifat itu ibarat sebuah pohon. Ilmu syari’at sebagai akarnya, bermakna bahwa ilmu syari’at itu sebagai pondasi kuat untuk menuju kepada-Nya. Setelah akar kuat, maka batangnya pun harus kuat, inilah thariqah yakni sebuah jalan yang dalam konteks pohon, ialah sebuah jalan yang menyalurkan sari pati makanan dari akar kepada daun untuk kemudian berfotosintesis. Demikian thariqah yang menjadi jalur untuk seseorang yang sudah dalam ilmu syari’atnya menuju kedudukan yang lebih tinggi. Kemudian hasil dari perjalanan syari’at dan thariqah itu akan menghasilkan buah yang manis rasanya nan banyak kabaikannya, itulah hakikat. Buah ini kemudian dipetik dan dinikmati manis dan kebaikan lainnya oleh seseorang, inilah yang dinamakan “ma’rifatullah”.

Perumpamaan yang menarik juga disampaikan Syeikh Nawawi dalam kitabnya “Maraqil ‘Ubudiyyah“, mengutip perkataan sebagian ulama yang menyatakan bahwa syari’at itu ibarat sebuah perahu, thariqah adalah lautnya dan hakikat adalah mutiara. Anda -tegas beliau- tidak akan bisa mendapatkan mutiara jika tidak ada perahu (syari’at) dan anda tidak akan bisa mendayung perahu untuk mendapatkan mutiara jika tidak ada lautnya atau airnya. Mutiara itu kemudian dinikmati keindahannya dan ia pun lantas mencintainya, inilah perumpamaan “ma’rifatullah”

Maka kesimpulannya ilmu syari’at, thariqah dan hakikat adalah saling melengkapi satu sama lain yang bertujuan agar seseorang mendapatkan puncak tertingggi seorang hamba yakni “ma’rifatullah

Lantas bagaimana itu ilmu syari’at dan seberapa dalam mengkajinya untuk mencapai tahapan selanjutnya (thariqah)? Bagaimana pula ilmu thariqah, cara mendalaminya dan seterusnya? Serta bagaimana detailnya mengenai “ma’rifatullah“. Ini sungguh memiliki penjelasan luas, dan tidak akan cukup jika dijelaskan di sini.

Yang demikian hanya nama-Nya saja. Namun sudah membuat kita terperanga akan begitu dalam makna yang dikandungnya. Lantas bagaimana dengan dzat-Nya yang tidak akan pernah terjangkau oleh akal manusia? Sungguh betapa agungnya.

Allah ialah sesuatu yang sama sekali tidak terdiri dari sesuatu (شيء ليس له بشيء), artinya dzat-Nya itu suci dari segala bentuk dan segala hal yang terlintas oleh akalnya manusia. Ketahuilah jika anda membayangkan Allah sebagai rupa atau sejenisnya yang terlintas di dalam pikiran anda, sungguh itu bukanlah Allah. Karena dzat-Nya Allah tidak akan mampu terjangkau oleh akal.

Maka dari itu pembenaran yang dilakukan oleh banyak kalangan mengenai Syeikh Siti Jenar dengan “manung kaula gusti”-nya yang berasal dari konsepnya Ibnu al-‘Arabi -walaupun di zamannya beliau (Ibnu al-Arabi didebat habis-habisan oleh Ibnu Taimiyah- adalah tidak keliru. Karena keterbatasan akal dalam merasionalitaskan ilmu yang dimiliki Syekh Siti Jenar, Ibnu al-Arabi dan lainnya. Menjadikan berbagai tuduhan sebagai orang sesat dialamatkan kepada mereka.

Secara Syari’at memang tidak bisa dibenarkan. Namun secara hakikat nyatanya maksud dari konsepnya Ibnu al-A’rabi adalah pernyataan cinta teramat dalam kepada Tuhannya. Ia melihat sesuatu, maka yang terbayang dibenaknya adalah Dzat yang dicintainya, yakni Allah.

Sederhananya, ia mengatakan bunga adalah Allah, maknanya bunga itu hidup, harum, indah nan sari patinya bisa diolah oleh lebah hingga menjadi madu yang kaya manfaat adalah beberapa sifat yang dimiliki Allah. Bukan menyatakan bunga itu adalah Allah. Secara lahir itu adalah bunga, namun hakikat sifat yang dimilikinya berasal dari Dzat yang tiada menandingi. Dzat yang maha hidup, maha indah nan maha sempurna. Ia-lah rajanya para raja. Allah subhanahuwata’ala. Bunga dimaknai olehnya sebagai bukti akan adanya Allah.

Pada tulisan sebelumnya, penulis sudah mengungkapkan bahwa salah satu alasan Allah menamai dirinya “Allah” dan dengan “asmaul husna”-Nya yang 99 itu, adalah untuk membantu manusia mengenali hakikat dzat-Nya dengan memahami sifat-sifat mulia-Nya.

“Allah” sebagai sumber dan pusat dari 99 “asmaul husna”-Nya, begitu agung, begitu dalam maknanya dan begitu luas rahasianya. Begitupun 99 asma dalam “asmaul husna” tersebut.

Walaupun 99 asma itu dinyatakan boleh digunakan sebagai nama manusia. Namun nyatanya jelas, hakikat sang pemilik nama adalah Allah. Jika manusia yang bernama “Rahman” adalah orang yang lembut hatinya dan senantiasa mengasihi. Hakikatnya dari Allah-lah sifat itu berasal. Dan yang asal inilah yang jauh lebih lembut dan mengasihi. Karena segala sifat yang dikembalikan kepada Allah, sungguh sifat itu adalah bagian dari-nya. Dan seluruh sifat-sifat yang terliput kepada-Nya, sungguh tiada yang bisa menandinginya. Karena ialah maha segala maha.

Sangat benar dan tidak bisa dibantah bahwa hanya Allah-lah yang pantas dicintai mati-matian. Mengambil ibrah dari kisahnya Imam al-Ghazali, bagaimana beliau sama sekali tidak mau makan di malam hari, karena ia sangat tidak rela jika malam yang seharusnya digunakan untuk berduaan dengan Allah, justru hangus lantaran pulas tertidur karena kenyang makan malam.

Sungguh para ulama benar-benar mewarisi sifat-sifat dan ilmunya Nabi Agung Sayyidina Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, yaa Allah.

Berbeda jauh dengan kita yang juga diberi akal, namun justru seringkali kufur nikmat kepada-Nya. Kita sering berkeluh kesah akan berbagai persoalan hidup, seolah lupa jika Allah senantiasa membersamai hambanya.

Yang kita ingat hanyalah keinginan-keinginan lantaran nafsu, yang jika tidak dipenuhi akan berkeluh kesah disertai perasaan marah. Padahal Allah telah memberi kita berbagai macam nikmat tiada terhitung, tiada tara dan tiada banding.

Kita sering bermaksiat, namun Allah masih berbaik kepada kita. Hidup dalam keadaan iman dan memilik kunci syurga berupa syahadat yang setiap sholat diungkapkan. Hidup dengan anggota tubuh lengkap. Hidup dengan tanpa menerima hukuman apapun dari Allah atas berbagai kebodohan yang kita lakukan.

Betapa mahalnya jika bola mata hancur, menggantinya bisa menghabiskan uang milyaran. Namun saat ini bola mata kita masih dijadikan lengkap oleh Allah. Betapa mahalnya jantung yang memiliki kecacatan jika diobati. Namun Allah masih memberi kita kesehatan dan kebaikan. Sudahkah kita syukuri?

Yaa Allah.

Seringkali kita lupa akan nikmat-nikmat besar yang diberikannya, tidak mensyukurinya. Namun Allah tidak memberikan hukuman apapun kepada kita di dunia. Walaupun hanya dengan luka sebagai hukuman untuk 1 kesalahan. Tidak, Allah justru mengampuni hamba-Nya betapun besarnya dosa yang dilakukannya. Allah hadir dengan rahmat kasih sayang jauh lebih besar dari dosa yang dilakukan hambanya. Allah tetap menyayangi kita dan mengasihi.

Yaa Allah, izinkan diri fana ini memohon ampun kepadamu atas kebodohan-kebodohannya! Kami menujumu, bimbinglah kami, kuatkan iman dan hati kami ya Allah.

Demikian mulia-Nya Sang Pencipta, Tuhan Yang maha esa. Ia-lah yang maha kekal, maha perkasa lagi maha kuasa. Seluruh sesuatu selain dzat-Nya akan binasa! Akan rusak!

Maka sudah sepatutnya sebagai sesuatu fana yang akan binasa, kita dianjurkan oleh Syeikh Ahmad bin Asymuni untuk senantiasa tenggelam (sibuk) untuk mencintai Allah, tidak mencinta kecuali hanya kepada-Nya.

أَلَا كُلُ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهِ بَاطِلٌ

Pahamilah, bahwa setiap sesuatu selain Allah itu binasa. Demikian yang dikutip Syeikh Ahmad bin Asymuni dari kitab “Maqashidul Asna“.

Orang-orang yang istiqomah berdzikir dengan “asma”-Nya Allah, maka Allah akan membukakan baginya rahasia alam ghaib (karena para kekasih Allah itu melihat dengan penglihatan-Nya Allah) dan menjadikannya bagian dari orang-orang “muqarrabin” (yang dekat dengan-Nya). Demikian juga yang dikutip Syekh Ahmad bin Asymuni dari kitab “Syamsul Ma’arif“.

Rabi’atul Adawiyah, Jalaluddin Rumi, Ibnu al-Arabi dan lainnya adalah contoh bagi kita. Betapa cintanya meraka kepada Tuhannya. Sehingga mampu mengatakan “jika aku ditakdirkan masuk ke dalam neraka, maka masukkan-lah aku ke dalamnya”. Ini bukti perkataan cinta yang teramat dalam. Karena mereka hanya ingin keridhaan dari dzat yang dicintainya, bukan kenikmatan lainnya. Karena sebesar-besarnya nikmat adalah dicintai oleh sang kekasih dan melihatnya secara langsung.