Tesis para saintis positivis yang menyatakan kematian agama benar-benar porak-poranda. Dua dasawarsa terakhir, agama kembali hadir menghiasi kehidupan umat manusia setelah sebelumnya diramalkan akan ditinggalkan. Apapun bentuknya, spiritualisme sebagai basis gerakan keagamaan telah lahir kembali dalam sendi-sendi kehidupan. Simbol-simbol agama hadir dalam kontestasi politik, sastra, pemikiran filosofis, gerakan sosial dan seterusnya. Secara umum, hal ini dibaca sementara pihak sebagai kegagalan modernitas dalam mengawal kehidupan manusia.

Di sisi lain, kehadiran semangat keberagamaan dalam ruang publik ini bukan tanpa masalah. Semangat yang begitu tinggi, konteks yang complicated, bukannya membawa (penganut) agama kepada muara samudra kedamaian dan kearifan. Sebaliknya, konteks kontemporer menjadikan agama sebagai pihak yang disalah-salahkan. Dalam internal agama, doktrin tradisional menjadi kacau akibat keinginan sebagian penganutnya dalam memperbarui pandangan-pandangan keagamaannya. Ada kesan, agama di era kontemporer bukanlah agama pada masa-masa sebelumnya, agama-agama tradisional. Di sinilah spiritualisme manusia diterjemahkan dalam kerangka-kerangka yang saling berseberangan. Agama didefinisikan dalam dua kutub ekstrim; fundamental dan liberal.

Internal umat Islam mengalami nasib yang sama, dikotak-kotakkan kemudian ditubruk-tubrukkan. Secara khusus dan tidak kurang, umat Islam yang berbangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan

negara-bangsa yang menginginkan persatuan seluruh elemen masyarakatnya tanpa disekat oleh perbedaan suku dan keyakinan, mereka mengalami distingsi lalu disintegrasi. Hadirnya fundamentalisme agama yang direspon oleh orang-orang liberal dengan memunculkan wacana tandingan yang sama-sama ekstrim, dalam arti tidak menjiwai kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa, tidak menjadikan agama sebagai alat perukun dan pemersatu, sebaliknya agama seakan dicipta sebagai alat memecah belah. Inilah dilema dua pandangan ekstrim di atas. Konsep kesetiaan dan kemurnian (al-wala’ wa al-bara’), tauhid, bidah, khurafat ala fundamentalis [di]berseberang[k]an dengan kemajuan, pluralisme, kebebasan dan rasionalitas kalangan liberalis. Sejatinya, masyarakat awam muslim Indonesia sangat asing dengan konsep-konsep aneh tersebut. Hal ini tentu sebelum kita membaca lebih jauh apa maksud dari konsep-konsep tersebut. Sekalipun bila dilanjutkan membacanya, keanehan lain akan kita temukan.

Kedua pandangan tersebut, secara tidak sadar telah melupakan konteks kenusantaraannya. Mereka melupakan sejarah panjang soal hubungan lintas iman di negeri ini. Silih bergantinya keyakinan yang mendominasi dimensi spiritual bangsa ini tentunya, dan harusnya, dapat menjadi media pembelajaran yang baik. Masing-masing agama dapat hidup berdampingan tanpa konflik. Hidup dengan keyakinannya sendiri namun tidak sungkan untuk berdialog dengan komunitas lain. Kemurnian dan kesetiaan kepada agama tidak hilang tanpa konsep al-wala’ wa al-bara’, tauhid literalis, serta bidah-khurafat kaum fundamental. Begitu pula hubungan yang harmonis dengan pemeluk agama lain, dialog yang simpatik, interaksi yang damai antar iman dapat terwujud tanpa pluralisme, liberalisme, rasionalisme kapital ala kaum liberal.

Di sinilah pentingnya agama tradisional dalam memberikan kedamaian kepada umat manusia. Berdiri di atas asas keyakinannya sendiri, sembari menghormati pihak lain yang bersedia hidup damai berdampingan. Inilah yang diajarkan Rasulullah saw. dalam menjalani kehidupan bersama intra dan antar umat beragama.

Komunitas Agama-Agama era Kenabian

Tuntunan Rasulullah dalam menjalani kehidupan dengan komunitas beda keyakinan dapat ditelusuri dalam banyak hadis. Di sini kita akan menemukan bahwa ternyata Nabi saw.

hidup di tengah keragaman keyakinan dan budaya. Baik pada era Mekah maupun Madinah.

Keragaman keyakinan pada era Mekah dapat dilihat dari bejibunnya berhala-berhala di mana tiap suku memiliki tuhannya sendiri. Seluruhnya berada dalam satu identitas primordial, watsani (penyembah berhala). Keragaman keyakinan ini seperti dapat dilihat dalam hadis riwayat Sahih al-Bukhari (4/1895),

 

أنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ الله الأَنْصَارِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ قاَلَ فِيْ حَدِيْثِهِ : ( بَيْنَا أَنَا أَمْشِي سَمِعْتُ صَوْتًا مِنَ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرَيَّ فَإِذَا المَلَكُ الَّذِيْ جَاءَنِيْ بِحِرَاءَ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَفَرَقْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُوْنِي زَمِّلُوْنِي فَدَثِّرُوْهُ فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى ( يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ . قُمْ فَأَنْذِرْ . وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ . وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ . وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ ) قَالَ أَبُوْ سَلَمَةَ وَهِيَ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَعْبُدُوْنَ – قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ الوَحْيُ (

 

Jabir bin Abdullah al-Anshari berkata bahwa Rasulullah saw. berkisah tentang keterlambatan turunnya wahyu. (Nabi mengatakan) Suatu ketika saya berjalan, lalu saya mendengar suara dari arah atas. Saya mengangkat pandangan, ternyata malaikat yang mendatangiku di gua Hira tempo hari sedang dalam posisi duduk di atas kursi di antara langit dan bumi. Saya lari darinya dan kembali ke rumah. Saya berkata kepada Khadijah, selimuti saya, selimuti saya. Dia kemudian menyelimuti saya. Kemudian Allah menurunkan ayat, (1) Hai orang yang berkemul (berselimut), (2) bangunlah, lalu berilah peringatan!, (3) dan Tuhanmu agungkanlah!, (4) dan pakaianmu bersihkanlah, (5) dan rujza tinggalkanlah. Abu salamah berkata, rujza ialah berhala-berhala yang disembah orang jahiliah. Kemudian wahyu kembali turun secara beruntun.

Autsan merupakan jamak dari watsan. Menurut Lisan al-‘Arab, watsan berbeda dengan shanam. Shanam merupakan berhala yang dibuat dari materi yang diukir sehingga memiliki bentuk yang jelas. Dan tidak demikian dengan watsan, yang tidak memiliki bentuk yang spesifik,

cenderung abstrak dan terbentuk secara alami (12/349). Seperti jamak diketahui, hampir tiap suku mempunyai sesembahannya sendiri. Hal ini mengisyaratkan keragaman pandangan keagamaan masyarakat Arab Mekah. Dalam arti kata, masyarakat Arab terpecah belah sejak dari asas keyakinannya.

Era Madinah mempunyai kondisi yang lebih komplek. Di mana selain penganut watsani, juga ditemukan penganut agama-agama langit seperti Yahudi dan Nasrani. Hadis-hadis yang berbicara tentang kedua komunitas tersebut, umumnya muncul pada era ini. Di sini, hubungan komunitas beda agama mengalami pasang surut. Bahkan pernah berdarah-darah akibat hasutan orang munafik.

Terdapat sekian banyak hadis yang menunjukkan kedekatan Nabi dengan komunitas agama lain. Baik dalam konteks damai maupun hubungan yang dipenuhi ketegangan. Hal ini karena tugas utama Nabi saw. ialah mendakwahkan agama baru di tengah kuatnya pengaruh agama lama. Dan, yang perlu dicatat, tidak melulu hubungan dengan agama-agama lama tersebut dipenuhi ketegangan. Adakalanya hubungan tersebut penuh rasa simpatik, dialogis dan saling belajar. Sekalipun demikian, kita tidak bisa memungkiri adanya hubungan yang penuh ketegangan, kekerasan dan berdarah-darah.

Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’kub dalam bukunya Sejarah dan Metode Dakwah Nabi misalnya, menyebutkan banyak contoh tentang interaksi Nabi dengan non muslim dalam konteks dakwah. Di antaranya melalui dialog dan surat menyurat. Hal ini tentu belum memasukkan konteks lain seperti kegiatan ekonomi dan aktifitas keseharian lainnya. Berikut ini penulis sebutkan beberapa contoh kasus yang menunjukkan interaksi Nabi dengan non muslim.

 

Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya sebuah hadis yang berisikan larangan orang musyrik masuk masjid nabawi dan kebolehan bagi ahli kitab serta tenaga-tenaga ahli mereka (23/18). Riwayat tersebut sebagaimana berikut,

 

لاَ يَدْخُلُ مَسْجَدَنَا هَذَا مُشْرِكٌ بَعْدَ عَامِنَا هَذَا غَيْرَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَخُدَّمِهِمْ

Sekalipun riwayat ini lemah karena diriwayatkan oleh Hasan al-Basri, namun terdapat praktik Nabi yang mengukuhkan kandungan hadis tersebut. Seperti ditulis secara lengkap oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’kub dalam bukunya Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Nabi mengadakan dialog dengan para pembesar Nasrani dan Yahudi. Dikisahkan mereka datang berombongan sebanyak enam puluh orang. Mereka menemui Nabi dan mengadakan dialog di dalam Masjid Nabawi. Saat itu, Nabi bersama para sahabatnya hendak melalukan salat Asar. Ternyata mereka juga hendak mengadakan kebaktian dengan menghadap arah timur. Melihat itu, para sahabat bermaksud melarang. Tapi justru Nabi meminta para sahabat agar membiarkan mereka (hlm. 212). Praktik ini menunjukkan kemurahan Nabi yang tidak ingin mengganggu kekhusukan ibadah mereka.

Sampai di sini, kerukunan beragama dapat dipelajari dari peri kehidupan Nabi saw. Hubungan yang manusiawi antara penganut keyakinan yang berbeda. Terkadang damai, penuh dialog, dan tidak jarang saling curiga.

 

By Admin

Media Keilmuan dan Keislaman