Poligami merupakan salah satu bahasan menarik yang sejak dahulu mengundang polemik dan perdebatan, terlebih di kalangan aktivis gender. Pembahasan tentang poligami biasanya selalu dikaitkan dengan ketidakadilan yang didapatkan perempuan, karena sejatinya, tidak ada satu hati pun yang mampu mencintai banyak perempuan dengan kadar dan waktu yang sama.

Lalu dengan adanya kebolehan berpoligami dalam Islam, para perempuan yang dimadu akan terluka hatinya sebab menahan sesak dan api cemburu. Karena  pada dasarnya, tak ada satu pun insan yang mau diduakan.

Lalu apakah ajaran Islam “sejahat” itu terhadap perempuan? Apakah ajaran Islam yang membolehkan poligami telah mendiskriminasi para perempuan?

Sebelum terburu-buru menghakimi, kita perlu menilik sejarah agar tidak berburuk sangka terhadap Islam. Berabad-abad sebelum ada aturan Islam tentang poligami, bahkan jauh sebelum Islam datang, banyak masyarakat di berbagai belahan dunia telah mempraktikkan poligami. Bahkan jumlah perempuan yang dinikahi tak dibatasi.

Orang-orang terdahulu menganggap bahwa semakin banyak istri, semakin melambangkan kejantanan seorang lelaki. Misalnya pemimpin-pemimpin suku yang memiliki istri hingga puluhan bahkan ratusan.

Kemudian di tengah-tengah ketidakadilan yang menimpa para perempuan, Islam datang membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi laki-laki, yakni empat perempuan. Ketika aturan ini diturunkan, Rasulullah SAW. memerintahkan para sahabat yang memiliki istri lebih dari empat, agar memilih empat di antara mereka dan menceraikan yang lain.

Dari fakta sejarah ini kita bisa melihat bahwa sebenarnya Islam tidak mengajarkan poligami, apalagi mewajibkan. Ia hanya membolehkan —tidak ada perbedaan pendapat ulama tentangnya— namun dengan batasan dan syarat-syarat yang ketat.

Syarat-Syarat Laki-Laki Boleh Berpoligami

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Nisa ayat 3:

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dari ayat di atas, para ahli fikih menetapkan dua syarat poligami sebagai berikut:

Adil

Suami yang berpoligami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Adil yang dimaksud adalah adil dalam hal-hal material, seperti adil dalam memberi nafkah (tidak harus sama jumlahnya, tapi tergantung kebutuhan), pakaian, tempat tinggal, makanan, berinteraksi dengan baik, dan hal-hal materiel lainnya.

Adapun dalam hal non-materiel (red; rasa cinta dan kecenderungan hati), suami tidak dituntut untuk adil. Karena itu semua adalah murni pemberian Allah yang manusia tidak bisa menolaknya. Mana mungkin Allah membebankan sesuatu kepada manusia (red; kadar cinta yang sama), yang manusia sendiri tidak punya kendali terhadapnya.

Namun Allah telah memastikan bahwa seseorang tak kan bisa berlaku adil dalam mencintai, meski bagaimana pun usahanya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Nisa ayat 129:

وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ وَإِن تُصۡلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ١٢٩

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jadi orang-orang yang menentang poligami dan berdalih dengan ayat ini, mereka telah “salah alamat”. Karena adil dalam bentuk mencintai para istri dengan kadar cinta yang sama adalah tidak disyaratkan dalam Islam, karena manusia tak punya kendali atas rasa di hatinya.

Namun, suami wajib berlaku adil dalam berinteraksi dengan istri-istrinya. Artinya, jangan sampai rasa cintanya yang berlebih kepada satu istrinya itu membuatnya berlaku tidak adil kepada istri yang lain. Karena ketika suami tidak bisa berlaku adil, ia telah berbuat dosa, sebagaimana telah diperingatkan Rasulullah Saw:

إذا كان عند الرجل امرأتان فلم يعدل بينهما، جاء يوم القيامة وشقه ساقط

“Jika seorang lelaki memiliki dua istri namun tidak berbuat adil, niscaya ia akan datang pada hari kiamat dengan keadaan tubuh yang miring” (H.R. Tirmidzi)

Sanggup menafkahi

Seorang suami yang ingin berpoligami harus mampu menafkahi istri-istrinya; baik nafkah sandang, pangan maupun papan. Syarat ini mesti terpenuhi karena memberi nafkah istri hukumnya wajib.

Dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya Islam memberikan syarat ketat terhadap seorang suami yang ingin berpoligami. Ia harus bisa memastikan bahwa ia bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya serta mampu mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka.