Majalahnabawi.com – Kata tauhid sudah tidak asing lagi bagi setiap pemeluk Islam. Tauhid merupakan kata benda-kerja (verbal noun). Dalam bahasa Arab merupakan derivasi atau tashrif dari kata “wahid” yang artinya satu atau esa. Makna harfiah tauhid adalah menyatukan dan mengesakan. Bahkan dalam makna generiknya juga digunakan untuk arti mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah.

Kata tauhid yang sangat populer digunakan oleh kaum mutakallimin (ahli teologi dialektis Islam). Maksud mereka adalah paham monoteisme, atau lebih sederhananya Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan kata ini menjadi istilah teknis dalam Ilmu Kalam sebagai inti ajaran semua nabi dan rasul Tuhan yang diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi sampai tampilnya Nabi Muhammad Saw., yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam konsekuensinya, ajaran tauhid membawa semangat pembebasan manusia dari belenggu yang mengekang sebagai makhluk merdeka. Pembebasan ini menjadi perbincangan serius akhir-akhir ini. Sebuah pandangan yang mampu membawa kebebasan dari berbagai belenggu zaman modern sangat dibutuhkan. Ini juga menjadi alasan mengapa agama-agama besar dunia diwakili oleh agama-agama yang membawa ajaran tauhid.

Pembebasan diri

Telah disinggung bahwa salah satu “program” paham tauhid adalah membebaskan manusia dari belenggu. Belenggu yang dimaksud adalah kungkungan yang menghalangi seseorang dari kebenaran, yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar. Kungkungan itu timbul dari refleksi agnostik atau keengganan untuk mengetahui kebenaran yang mungkin terjadi dan diperkirakan lebih tinggi nilainya dari pada keadaan yang sudah ada.

Belenggu itu dikenal dengan sebutan “hawa nafsu” atau secara harfiah bermakna keinginan diri sendiri. Inilah sumber pribadi untuk penolakan kebenaran, kesombongan, dan kecongkakan kita dalam menghadapi hal-hal dari luar yang kita rasakan tidak sejalan dengan keinginan. Hawa nafsu itu juga merupakan dasar pemikiran subyektif yang senantiasa menghalangi kita untuk melihat kebenaran.

Al-Qur’an mengatakan bahwa orang yang menuruti hawa nafsunya adalah orang yang sesat secara sadar (al-Jatsiyah/45:23). Seseorang disebut menuhankan keinginan dirinya sendiri jika dia memutlakkan kebenaran kepada pandangan dan pemikirannya sendiri. Biasanya orang seperti ini mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup dan fanatik, tanpa mempedulikan kemungkinan kebenaran dalam apa yeng datang dari luar.

Manfaat Pembebasan Diri

Hal itu harus dilawan dengan semangat pembebasan diri yang mengantarkan seseorang kepada kemampuan menangkap kebenaran. Dengan kemampuan menangkap kebenaran itu seseorang akan dapat berproses dalam pembebasan dirinya. Inilah salah satu esensi kalimat persaksian (syahadat), dipandang dari sudut efeknya kepada peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pembebasan pribadi yang diperoleh menjadikan manusia menjadi merdeka sejati. Dia akan menghilangkan halangan dari dirinya untuk melihat yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah. Oleh karena itu, seseorang yang bertauhid yang dengan bebas mampu menemukan sendiri pandangan dan jalan hidupnya menurut pertimbangan akal sehat dan secara jujur. Karena itu ia tidak terkungkung oleh keangkuhan dirinya dan tidak menjadi tawanan egonya. Ia mengatakan sebenarnya meskipun dalam jangka pendek mungkin merugikan dirinya sendiri.

Itulah makna pokok ajaran tauhid, pembebasan dari belenggu. Kita sering mengatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang disimbolkan dengan kalimat persaiksian (syahadat) لا إله إلا الله. Dan makna dibalik kalimat syahadat yang diawali dengan negasi kemudian konfirmasi, karena seseorang bertauhid berawal dari pembebasan dirinya dari belenggu-belenggu, kemudian disusul kepercayaan kepada Allah, Tuhan sebenar-benarnya.

 

Wallahu A’lam

By Afrian Ulu Millah

Mahasanti Darus-Sunnah International Institute of Hadith Sciences