Majalahnabawi.comShalat merupakan ibadah yang sangat penting dan utama dalam Islam karena shalat dapat mencegah seseorang dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Shalat menjadi cerminan hati seseorang. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al-Ankabut: 45

اتْلُ مَآ أُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ الصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Shalat akan membuat seseorang menjadi taat kepada Allah SWT. Seseorang akan terdorong untuk menjauhi hal-hal yang tidak berguna bahkan perbuatan keji dan mungkar karena sudah dibekali dengan rasa takut kepada Allah SWT. Akan tetapi jika shalat yang dikerjakan tersebut belum membuat seseorang menjadi taat kepada Allah SWT, maka kemungkinan shalat yang dikerjakannya tersebut belum ikhlas karena Allah SWT.

Syarat Hakiki Diterima Shalat

Imam Abul ‘Aliyah pernah berkata,

إِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهَا ثَلاَثُ خِصَالٍ فَكُلُّ صَلاَةٍ لاَ يَكُوْنُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْخَلاَلِ فَلَيْسَتْ بِصَلاَةٍ: الْإِخْلاَصُ، وَالْخَشْيَةُ، وَذِكْرُ اللهِ. فَالْإِخْلاَصُ يَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ، وَالْخَشْيَةُ تَنْهَاهُ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَذِكْرُ الْقُرْآنِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ.

“Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al-Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.”

Untuk mendapatkan rasa ikhlas dan rasa takut tersebut, shalat harus dilakukan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Shalat harus dilakukan dengan khusyu’ agar muncul rasa takut kepada Allah. Bahkan tidak jarang sebagian orang memejamkan matanya untuk mendapatkan rasa khusyu’ dalam shalat. Lalu, bagaimanakah hukum memejamkan mata dalam shalat?

Rasulullah Saw menganjurkan kita untuk mengarahkan pandangan mata ke tempat shalat agar shalat bisa dilakukan dengan fokus dan khusyu’. Untuk itu, sajadah yang yang digunakan untuk tempat shalat dianjurkan tidak bergambar dan polos untuk menghindari ketidak-khusyu’an dalam shalat. Selain itu, kita dimakruhkan untuk menoleh ke kiri dan kanan karena itu dapat merusak kekhusyu’an  dalam shalat.

Hukum Memejamkan Mata Ketika Shalat

Para ulama sepakat bahwa memejamkan mata dalam shalat boleh dan tidak makruh selama tidak membahayakan. Bahkan memejamkan mata hukumnya menjadi sunnah jika dengan demikian dapat membuat seseorang tenang dan khusyu’ dalam mengerjakan shalat. Begitu pula jika memejamkan mata dalam rangka menghayati bacaan Al-Qur’an, memaknai kandungan ayat Al-Qur’an dan zikir kepada Allah.

Di dalam kitab I’anatuth Thalibin, Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syaththa ad-Dimyati menyebutkan empat hukum memejamkan mata dalam shalat, yaitu:

Pertama, memejamkan mata dalam shalat adalah boleh dan tidak makruh selama tidak membahayakan. Kedua, memejamkan mata dalam shalat menjadi wajib jika ada yang tidak menutup aurat di hadapan orang shalat, meskipun hal tersebut jarang terjadi. Ketiga, memejamkan mata disunnahkan jika tempat yang digunakan untuk shalat terdapat gambar atau lukisan yang dapat merusak kekhusukan shalat. Keempat, memejamkan mata menjadi makruh jika shalat di tempat yang membahayakan, seperti saat perang atau ada ular.

Waktu Mengarahkan Mata ke Tempat Sujud

Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in mengatakan bahwa disunnahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyu’, sekalipun tunanetra, sedang shalat di dekat Ka’bah, shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunnahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk terutama ketika mengangkat jari telunjuk saat tasyahud akhir karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.

            Nabi Saw bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُحَرِّكُ الْحَصَى بِيَدِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ لَا تُحَرِّكْ الْحَصَى وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَكِنْ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ وَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا أَوْ نَحْوِهَا ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ

Dari Abdullah bin Umar dia melihat seorang laki-laki menggerak-gerakkan kerikil dengan tangannya saat shalat. Setelah selesai, Abdullah berkata kepadanya: “Janganlah kamu menggerak-gerakkan kerikil saat shalat, sesungguhnya itu perbuatan setan. Berbuatlah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” la berkata: “Bagaimana cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya?” Aku menjawab: “Beliau meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, lalu menunjukkan jari telunjuknya ke kiblat dan mengarahkan pandangan ke jari tersebut-atau ke sekitarnya.” Kemudian ia berkata: “Begitulah cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.”

Selain memejamkan mata, ada beberapa hal yang dimakruhkan di dalam shalat, di antaranya menutup mulut rapat-rapat, bertolak pinggang, memalingkan wajah ke kiri dan kanan, menengadah ke langit, menahan hadats, meludah, dan melakukan hal-hal lain yang dapat mengurangi kekhusyu’an shalat.

By Rini Yulia

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences 2020 dan Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019