Membaca Esensi Shalawat

Bulan Rabi’ul Awwal merupakan bulan kelahiran Rasululllah Saw. Tak pelak, semua umat muslim di seluruh dunia ikut bangga dan bergembira menyambut bulan istimewa ini. Cara mereka mengapresiasikan kegembiraan pun amat beragam.

Di Indonesia, Melalui tradisi maulid-nya mereka mencoba menterjemahkan luapan cinta dan rindu yang menggelegak dalam dirinya kepada Rasulullah Saw. lazimnya, pada acara ini diisi dengan shalawat dan tausiyah keagamaan yang mampu menstimulus kecintaan umat Islam kepada role of model-nya, Rasulullah Saw.

Namun, belakangan ini, shalawat terkesan hanya didendangkan semata, lepas dari penghayatan makna. Hanya lantunannya saja yang kita dengar, sepi akan perenungan pesan yang terkandung di dalamnya.

Berangkat dari hal tersebut, pada edisi kali ini, Nabawi mencoba mewawancarai Prof. Nasaruddin Umar, intelektual muslim Indonesia, terkait hakikat shalawat serta pertaliannya dengan dunia tasawuf. Berikut uraiannya,

Shalawat itu memang salah satu fungsinya untuk dilantunkan. Sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku, maka aku akan memberinya syafaat pada hari kiamat. (Hadits riwayat Ibnu Syahiin dalam at-Targhib dan Ibnu Basykawal)” Jadi shalawat itu perlu didendangkan.

Diantara visi dan misi shalawat itu adalah syi’ar. Dimana-mana orang bershlawat, membuat barzanji, dan sebagainya. Hal demikian dilakukan demi pencerahan buat umat manusia seluruhnya. Lebih baik shalawat daripada dibid’ahkan.

Maulid Nabi, salah satu intinya adalah membuat suasana batin bergetar, seperti halnya membaca al-Qur’an, sekalipun kita membacanya tanpa pengamalan, namun membacanya tetap istimewa, daripada tidak membacanya. Jadi, hemat saya, membaca shalawat Nabi itu jangan dilarang. Bershalawat salah satu tujuannya adalah supaya kita lebih mencintai Nabi.

Secara emosional kita mencintai Nabi. Merindukan Nabi dengan dengan cara mendendangkannya jangan dianggap tidak ada manfaatnya. Justru orang mencintai Nabi itu dibuktikan dengan cara shalawat, mau cari apalagi setelah itu? Mencintai Nabi itu puncak dari sebuah prestasi. Jadi, seolah-olah kita ingin merasionalisasikan shalawat, sudahlah tidak perlu, yang penting itu karya nyatanya apa, karya nyatanya itu adalah terciptanya rasa cinta kita yang sangat dalam kepanda Baginda Nabi Saw.

Bagi saya pribadi, melantunkan shalawat Nabi atau mendengarkan lantunan shalawat Nabi, itu merupakan puncak dari kepuasan batin saya. Jadi kalau itu dilarang, mau digantikan dengan apapun, ia tak akan tergantikan.

Apa Esensi Shalawat?

Esensi dari shalawat itu sendiri adalah mengenang, mencintai, serta mencontohkan Nabi, mengidolakannya serta meneladaninya dalam setiap perilaku Nabi. Mengikuti jalan pikiran Nabi, menerima keputusan-keputusannya. Esensi Shalawat itu mencintai Nabi kemudian mengikuti jejaknya. Itu yang paling esensial.

Mengapa Kita Harus Bershalawat? Apakah Rahasia yang Terkandung di Dalamnya?

(إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الاحزاب : 56

Redaksi di atas menggunakan fi’l mudhari, berakna dulu, sekarang, dan akan datang. Allah dan malaikatnya selalu bershalawat kepada Nabi. Dan kalimat “صلوا عليه” fi’l amar kan disana, bershalawatlah kepada Nabi. Itu merupakan perintah al-Qur’an.

Tidak ada yang salah jika kita bershalawat, dan inti dari shalawat itu sendiri adalah membangkitkan cinta kita kepada Nabi Saw. kemudian kita mengikuti seluruh petunjuknya serta menjauhi larangannya.

Jadi jangan dianggap tidak ada manfaatnya. Kita tidak pernah mengatakan almarhum Nabi Muhammad Saw, karena Nabi itu sangat sensitif sampai sekarang. Sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku, maka aku akan memberinya syafaat pada hari kiamat. (Hadits riwayat Ibnu Syahiin dalam at-Targhib dan Ibnu Basykawal)” Berarti sampai sekarang, Nabi itu aktif, memperhatikan siapa-siapa yang bershalawat kepadanya. Dan Allah membenarkan hal itu. Coba lihat redaksi ayat di atas yang memakai bentuk fi’l mudhari yang berfungsi untuk sekarang dan yang akan datang.

Bagi orang tertentu, redaksi hadis صلوا كما رايتمونى اصلى dipahami bahwa kita harus mengikuti Nabi dalam segala aspek kehidupan. Ada juga hadis Nabi “ان تعبد الله كأنك تراه، فان لم تكن تراه فانه يراك” jadi, sembahlah Allah seolah-olah anda melihat-Nya. Allah saja yang Mahaghaib bisa diseolah-olahkan, apalagi Nabi. Wajahnya, ajarannya, manusia biologis kok, bisa dicari jejaknya, genetiknya. Maka dari itu, dalam shalat kita memakai redaksi assalamu alaika, salam sejahtera bagi mu Ya Rasulullah. Menggunakan kata ganti lawan bicara yang hadir. Seakan Nabi hadir di sisi kita.

Bagi saya, nabi itu hidup dan terus hidup. Nabi itu merupakan guru para awliya’.

Imam al-Ghazali, seorang sufi ternama, selalu mengorfimasi tentang keshahihan hadis kepada Nabi Saw. Jika kita lihat biografinya Imam al Ghazali, suatu saat beliau ditanya oleh murid-muridnya, “Mengapa banyak hadis yang terdapat di buku engkau dan tidak kami temukan dalam kitab-kitab muktabar?” Imam Ghazali menjawab, “Saya tidak mengambil suatu hadis melainkan terlebih dahulu konfirmasi ke Rasulullah Saw, apakah ini benar hadis ini dari engkau Rasulullah, kemudian Nabi mengangguk.” Berarti Nabi masih bisa memberikan reaksi intelektual kepada orang yang hidp belakangan. Nabi wafat tahun 631 M. sedang al-Ghazali tahun 1111 M.

Hal yang sama juga terjadi pada Ibnu Arabi, saat ditanya oleh orang, “Sungguh aneh pernyataan dalam kitab ini, saya baca kemarin berbeda isinya dengan yang saya baca esok hari,” Ibnu Arabi menjawab, “Ouh itu bukan buku saya, itu pemberian dari Nabi Saw,” dalam mimpi nya Ibnu Arabi mengelami hal demikian. Nabi Saw berkata kepada Ibnu Arabi, “Khudz hadzal kitab Fushush al-Hikam, ambil kitab ini Fushus al-Hikam,” judulnya pun juga dari Nabi. Padahal Ibnu Arabi itu lebih yunior daripada Imam Ghazali.

Jadi siapa yang percaya pada hadis Bukhari, tentang kealpaan setan meniru wujud Nabi dalam mimpi, ia akan percaya bahwa Nabi akan sering datang pada orang bersangkutan, yang dicintainya. Sabda Nabi Saw., “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka”. [HR Bukhâri dan Muslim]

Bagaimana Pendapat anda Mengenai Shalawat Sebagai Langkah Sufi Meniti Jalan Tasawufnya?

Iya, shalawat itu wirid. Bagi saya itu adalah jembatan agar kita mencintai Nabi. Saya harus menyebut namanya saya harus memanggil namanya. Tanpa shalawat bagaimana saya bisa mencintai Nabi. Wujud cinta saya kepada beliau adalah dengan bershalawat. Shalawat itu penting. Saya tanpa shalawat tampaknya tidak pantas disebut muslim. Apa yang salah kalau saya bershalawat. Jadi shalawat itu benar-benar menyempurnakan jati dri saya sebagai muslim.

Sabda Nabi Saw, ” Orang yang paling bakhil adalah seseorang yang jika namaku disebut ia tidak bersholawat untukku.” (HR. An-Nasa’i, Tirmidzi, dan Thabrani)

 

Reporter :Ja’far Tamam, Asfaril Husna (wawancara ini pernah dimuat di majalah Nabawi edisi 114)

 

Similar Posts