majalahnabawi.com – Allah swt sebagai sang pencipta sejatinya telah menjadikan makhluknya berpasang-pasangan. Katakanlah siang tak akan ada tanpa malam. Bumi tidaklah menjadi bumi jika tak ada langit. Begitu juga pria dan wanita, keduanya Allah ciptakan untuk saling melengkapi. Pria dan wanita disatukan salah satunya dalam ikatan pernikahan. Selain mempersatukan dua manusia, dalam Islam pernikahan mengandung nilai ibadah. Untuk menegakkan nilai ibadah tersebut, tentu pernikahan harus bersandar pada al-Quran dan sunnah, juga hukum. Pernikahan dihukumi sah setelah ijab kabul antara kedua mempelai. Namun bagaimana hukumnya apabila ijab kabul penyampaiannya melalui surat atau delegasi? Yuk simak artikel ini sampai tuntas!

Pernikahan Jarak Jauh Gus Dur dengan Ibu Sinta Nuriyah

Gus Dur yang kita kenal sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia nan ulama yang cerdas, dahulu melakukan akad nikahnya dengan sang istri melalui delegasi. Kala itu Gus Dur masih melangsungkan studinya di Timur Tengah, tepatnya di Bagdad. Sang istri, Ibu Sinta Nuriyah pun saat itu baru merampungkan pendidikan pesantrennya. Awalnya Gus Dur hendak melangsungkan pernikahan setelah kepulangannya ke Indonesia. Namun karena tidak ingin dilangkahi oleh adiknya, akhirnya kedua belah pihak keluarga mempelai sepakat melangsungkan akad nikah jarak jauh. Kala itu Gus Dur mewakilkan ijab kabulnya kepada sang kakek, Kiai Bisri Syansuri. Akad nikah itu pun terjadi pada 11 Juli 1968. Sementara pesta pernikahan berlangsung setelah kepulangan Gus Dur ke tanah air. 

Akad Nikah Melalui Surat

Bagi yang memandang bahwa adanya wali merupakan syarat sah akad nikah, maka surat pinangan harus ditujukan kepada wali mempelai wanita. Sebab wali tersebut yang harus mengucapkan sigat ijab di hadapan saksi laki-laki setelah isi dari surat tersebut dibacakan kepada para saksi yang hadir. Hukum akad nikah dengan surat atau dengan delegasi adalah sah menurut mazhab Hanafiyah. Adapun surat pada masa kini bisa jadi berupa pesan WhatsApp atau media lainnya.

Imam Ramli dalam kitab Nihayah-nya (juz VI, hal. 208) mengatakan sahnya pernikahan tunawicara dengan surat sebab ia tidak dapat berwakil karena isyaratnya tidak dapat dimengerti. Dengan syarat tunawicara tersebut hadir dalam akad.

Adapun orang normal yang tidak tunawicara, namun tidak hadir dalam majelis akad nikah, maka akadnya dengan surat tidak sah. Sebab surat walaupun mengandung kata-kata sarih, namun statusnya kinayah. Pendapat ini termaktub dalam kitab Hasiyah Nihayah karya syekh Ali Syibramalisi.

Ijab Kabul Melalui Delegasi dalam Pandangan Kiai Ibrahim Hosen

Kiai Ibrahim Hosen berpandangan bahwa ijab atau kabul yang disampaikan oleh delegasi itu sah dengan catatan. Pertama, delegasi tersebut harus berstatus wakil yang telah memenuhi syarat yang diperlukan. Kemudian sigat ijab atau kabul ia ucapkan. Dan ucapan wakil tersebut pada hakikatnya adalah ucapan orang yang berwakil itu sendiri.

Namun apabila delegasi tersebut tidak dipandang sebagai wakil, melainkan hanya sebagai penyampai kata-kata (muballig), maka akad tersebut tidaklah sah. Sebab menurutnya hal tersebut bertentangan dengan syarat yang disepakati, yakni ijab kabul haruslah berlangsung dalam satu majelis. Sementara yang disampaikan oleh delegasi adalah salinan resmi (record). Jadi aslinya diucapkan pada waktu dan tempat yang berlainan, alias tidak dalam satu majelis. (Lihat Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 188.)

Wallahu’alam.

By Laodza Alqan Aisara

Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta sekaligus Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences